Catatan Singkat Kajian Kitab Qimah al-Zaman (Ke-35)

Sore itu, di akhir bulan Februari 2018, jelang waktu Maghrib, saya sudah berada di flat dekat al-Azhar Kairo. Hawa musim dingin yang menusuk sumsum tulang, tak menghalangi ajakan seorang teman. Ikut hadir di majelis pengajian Shahih al-Bukhari yang diampu oleh Syaikh Yusri Rusdi al-Hasani. Salah satu masyayikh al-Azhar yang juga berprofesi sebagai dokter bedah. Sore itu, dengan masih mengenakan jas dan dasi, selepas tugas dari rumah sakit, Syaikh Yusri langsung menuju majelis Shahih al-Bukhari. Menjabarkan kandungan kitab hadis kepada mahasiswa al-Azhar dari berbagai fakultas dan asal negara. 

Dari tokoh ini, saya mendapati contoh nyata seorang agamawan sekaligus ilmuwan. Perpaduan yang sangat diperlukan di setiap zaman, meskipun tidak banyak yang dapat melakukannya. Beberapa hari lalu, saat mengaji kitab “Qimah al-Zaman” karya Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (1927-1997) dengan belasan mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan dan Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya mendapati tokoh Imam Ibnu Nafis (610-687 H). Dalam sejarahnya, ulama kelahiran Damaskus yang kemudian menetap di Kairo ini adalah seorang ilmuwan kedokteran yang pilih tanding di eranya.   

Tahun 1924, di perpustakaan Berlin Jerman, ditemukan manuskrip berjudul “Commentary on the Anatomy of the Canon of Avicenna”, karya Ibnu Nafis yang menjabarkan kitab “al-Qanun” karya Ibnu Sina (370-427 H). Karenanya, Ibnu Nafis dikenal juga dengan sebutan “the second Avicenna”. Karya Ibnu Nafis ini telah dialih bahasakan oleh Andrea Palgago pada tahun 1520. Palgago adalah ilmuwan kebangsaan Italia yang telah bermukim 30 tahun di Jazirah Arab. Dari terjemahan inilah, temuan-temuan Ibnu Nafis banyak menjadi rujukan ilmuwan Barat.

Terlepas dari kepakarannya dalam ilmu kedokteran, Ibnu Nafis juga diakui sebagai pakar bidang ilmu fikih, ushul fikih, bahasa, manthiq (logika), hadis, dan lain sebagainya. Dalam bidang logika, Ibnu Nafis menulis ulasan kitab “al-Hidayah” karya Ibnu Sina. Dalam bidang fikih, Ibnu Nafis juga menulis syarah kitab “al-Tanbih” karya Imam Abu Ishaq al-Syirozi (393-476 H). Keluasan ilmu ini tidak lepas dari managemen waktu Ibnu Nafis. Dalam kesehariannya, Ibnu Nafis menghabiskan waktunya untuk ilmu. 

Alkisah, suatu hari, Ibnu Nafis sedang berada di pemandian. Di tengah segar guyuran air, Ibnu Nafis tiba-tiba menyudahi mandinya. Bergegas menuju ke ruang ganti. Dengan segera menuliskan temuan pengetahuan yang terlintas. Yakni sistem detak nadi dan kinerja jantung. Setelah usai semuanya tertulis, Ibnu Nafis melanjutkan mandi yang belum tuntas. Konon, Archimedes (287-212 H) juga mengalami hal serupa. Pemikir Yunani ini menemukan hukum Archimedes saat menjemburkan diri di bak mandi. Luapan air yang keluar dari bak mandi menginspirasinya untuk merumuskan hukum Archimedes. 

Lantas tertarikah anda?

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *