Tangsel, jaringansantri.com – Menurut Dr. Ahmad Najib Burhani, akar istilah Islam moderat itu sudah ada dalam masyarakat Indonesia, khusus dalam lingkungan NU. Tetapi akan menjadi sangat menonjol ketika dipromosikan oleh KH. Ahmad Shiddiq dalam bukunya, “Khittah Nahdliyyah” terbit tahun 1977 dan “Islam, Pancasila dan ukhuwah Islamiyyah” tahun 1985.
Hal ini dibahas Najib pada kesempatan mengisi kajian Islam dan Kebangsaan di Islam Nusantara Center (INC). Kajian sesi pertama yang dipandu Zainul Milal Bizawie ini, membawakan tema “Al-Tawassuth wal I’tidal : Moderatisme Islam di Indonesia.”
Peneliti LIPI ini menjelaskan bahwa ada tiga kriteria yang dipakai islam moderat dari KH. Ahmad Shiddiq, attawasut, i’tidal, tawazun, dan timbahkan satu lagi tasamuh (toleran). “Konteks maknanya juga menjadi berbeda ketika dilihat dalam konteks melawan PKI dan era sekarang ini yang melihat diantara liberalisme dan Islam kanan,” ungkapnya.
Pada masa Al Ghazali Islam moderat muncul dari dua isu yanh berkembang, yaitu antar kelompok rasionalis dan tradisionalis. Islam moderat ada di tengahnya.
“Tetapi konsep Islam moderat kadang terjebak pada sikap pragmatis dan kompromis. Pilihan-pilhan yang asal kita di tengah,” terang doktor dari Universitas California USA ini.
“Karena itu saya mencoba melihat ummatan wasathan menurut KH Ahmad Shiddiq dengan pendekatan yang disampaikan oleh Michel Foucault. Bahwa yang dimaksud moderat itu bukan hanya ditengah, tapi kemampuan untuk mengontrol sifat nafsu yang berlebihan. Kemampuan mengontrol dua ekstrim nafsu yang ada di dalam jiwa manusia.”
“Inilah mengapa Kiai Ahmad Shiddiq ini menggunakan istilah tawassuth dikombinasikan dengan i’tidal dan tawazun,” imbuhnya.
Dalam konteks ahlussunnah wal jamaahnya NU, moderat islam ini mengacu pada aqidah asy’ariyyah. Di sini moderat islam ada pada doktrin takdir, bahwa ada peran manusia dan ada kontrol Tuhan. “Inilah posisi tengah dalam konteks teologi Asy’ari,” tuturnya.
Kemudian dalam fikih, moderatnya ada pada penekanan attasamuh. Sedangkan dalam tasawuf, penekannya ada pada tasawuf al Ghazali yang berbeda dari Ibnu Taimiyyah, atau tasawuf model Hamka.
Sekarang, menurut Najib, yang digunakan sebagai kriteria apakah seseorang berada dalam moderatisme Islam adalah mengacu pada posisinya terhadap negara Islam, implementasi Syariat Islam, dan terorisme.
“Jika anda tidak setuju dengan hal tersebut, anda bisa dikatakan sebagai moderat. Ini yang terjadi sekarang,” katanya.
Tetapi, lanjut Najib, moderat islam di Indonesia masih ambigu dalam konteks menhikapi isu ahmadiyah, LGBT, dan pornografi. Ia mengatakan “Dalam hal ini kelompok yang sering sebut NKRI harga mati, sering katakan hubbul wathan minal iman, bisa bergabung dengan islam garis keras.”
“Ini seakan menjadi common undestanding pada masyarakat Islam Indonesia bahwa yang moderat itu yang mendukung NKRI” pungkasnya.
Sedangkan Zainul Milal menambahkan dengan mengutip dawuhnya mbah Hasyim Asy’ari yang mengatakan “jangan fanatik”. “..tetapi juga harus militan. Fikih kenegaraannya, ketika dalam kondisi melawan penjajah, kita harus militan berjihad.
Gus Milal, sapaan akranya, menganogikan dengan posisi hadirnya Islam ditengah agama Yahudi yang militan dan nasrani yang lembut kasih sayang. “Islam agama yang penuh kasih sayang, tetapi juga perkasa dan militan,” katanya.
“Yang terpenting adalah bagaimana bisa mengontrol diri dari sikap fanatis, sikap merasa paling benar sendiri. Untuk menjadi seperti ini perlu keterbukaan dan ilmu yang luas”, tegasnya. (Damar).
Comments are closed