Categories:

“Benteng Pendem Ngawi yg menjadi salah satu bukti kejayaan kolonial Belanda itu tidak hanya memiliki bangunan yg megah, tapi juga menyimpan sejarah kelam. Salah seorang tokoh pejuang bernama KH. Muhammad Nursalim dikubur hidup2 di dalam benteng tsb”.

Benteng Pendem

Benteng Van Den Bosch atau yang dikenal dengan sebutan Benteng Pendem di Ngawi semakin tenar di masyarakat. Pesona bangunan klasik itu berhasil memikat masyarakat awam, pencinta fotografi, hingga para calon pengantin untuk melakukan prewedding di tempat bersejarah ini.

Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes Graaf van den Bosch memiliki kedekatan dgn Fort van den Bosch atau lebih dikenal dgn Benteng Pendem Ngawi yg dibangun pada kurun waktu tahun 1839-1845, berdiri diatas lahan seluas satu hektar dan diapit oleh dua Sungai Bengawan. 

Tembok benteng berbentuk persegi panjang dgn tiap ujungnya dilengkapi bastion dan dikelilingi parit yg dilepasi buaya, untuk pertahanan luar dgn timbunan gundukan tanah, ini menjadikan benteng ini sangat kokoh, dari sinilah penamaan setempat meyebut dgn benteng pendem. 

Benteng van den Bosch memang terlihat seperti terpendam, dikarenakan tertutupi gundukan tanah yg sengaja dibangun untuk menghalau luapan air dari dua sungai Bengawan, parit dgn buaya buas, akan mempersulit bagi tanahan yg melarikan diri dan pejuang yg akan menyerang.

Saat itu Ngawi yg semula berstatus Onder-Regentschap ditingkatkan menjadi Regentschap atau kabupaten dalam wilayah Karesidenan Madiun, dikepalai oleh Regent atau Bupati R. Adipati Kertonegoro pada tahun 1834, hal ini disebabkan letak geografisnya strategis dan menguntungkan.

Johannes Graaf van den Bosch lahir di Herwijnen, Belanda tahun 1780 dan tiba di Tanah Jawa tahun 1797 berpangkat Leutnant, karena berselisih paham dgn Herman Willem Daendels tahun 1810, beliau lantas dipulangkan ke Belanda, sampai tahun 1827 beliau kembali ke kota Batavia.

Menjabat sbg Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yg ke-40 pada tahun 1830-1833, saat masa pemerintahannya inilah ditetapkan sistem Cultuurstelsel atau Tanam Paksa. Kebijakan ini sangat menyengsarakan bagi petani pribumi akan tetapi justru membawa kemakmuran di Negeri Belanda.

Makam 

Makam KH. Muhammad Nursalim rahimahullah, letaknya di dalam bangunan kantor bergaya arsitektur Roman-Indische yg berada ditengah benteng pendem Ngawi, Mendiang adalah tokoh penyia’ar Islam dan Pahlawan Bangsa.

KH. Muhammad Nursalim dikenal sbg seorang tokoh agama di Ngawi pada akhir abad-19. Kiai Nursalim diberi tugas oleh Pangeran Diponegoro untuk menggalang kekuatan di wilayah Ngawi. Pasalnya, saat itu Pangeran Diponegoro sudah tertangkap oleh Belanda. Sedangkan, kekalahan pasukannya di Ngawi dinilainya masih terlalu dini.

Dalam buku Jejaring Ulama Diponegoro (2019), Zainul Bilal Bizawie menyatakan bahwasanya KH. Muhammad Nursalim merupakan putra dari Kiai Maktub, seorang Tumenggung Rojo Niti. Bizawie juga menyebut, dulunya kawasan Benteng Pendem adalah sebuah pesantren.

Pengikut Diponegoro yang Gigih

Meskipun Pangeran Diponegoro telah ditangkap, Kiai Nursalim tetap gigih melawan pemerintahan kolonial Belanda. Antara tahun 1830-1839 ia bersama para pengikutnya tetap melakukan pembangkangan terhadap Belanda.

Dalam beberapa kali pertempuran, Kiai Nursalim dikisahkan mampu meloloskan diri dari peluru Belanda. Namun, Belanda tak kalah akal. Melalui sebuah siasat, Belanda berhasil menangkap sang kiai. Ia pun langsung dibawa ke dalam banteng, untuk diinterogasi, karena dianggap berbahaya oleh pemerintah Kolonial Belanda kemudian dijatuhi hukuman mati. Mbah Kyai yg memiliki kewaskitaan dan kesaktian tak mempan saat dibacok, dipukul maupun ditembak dan diberondong dgn peluru, namun, tak satupun yg bersarang di tubuhnya. Ketika disiksa dgn senjata tajam dan pentungan, tubuh Kiai Nursalim juga kebal.

Pada saat itu militer Belanda sempat kebingungan, hingga mendapatkan ide jahat agar mbah Kyai dikuburkan hidup2 serta sekujur tubuhnya diikat dgn rantai sangat kencang, lantas tubuh Mendiang dimasukan dalam lubang dan ditimbun keselurahan dgn tanah dan bebatuan coral. Tidak jauh dari sel tempatnya dipenjara itulah, sang kiai mengembuskan napas terakhirnya.

Benteng Pendem di Ngawi ini istimewa sebab di dalam kompeksnya terdapat makam kusuma bangsa yg gugur sbg seorang pahlawan, kita semua sebagai generasi bangsa agar tetap mendoakan agar Mendiang gugur sbg seorang syuhada serta turut menjaga sejarah bangsa dan negara.

Dua sumur

Tepat disebelah selatan dari bangunan kantor umum, terdapat dua sumur yg dahulunya dipergunakan oleh militer Belanda untuk membuang jenazah korban penangkapan baik tahanan militer atau para pekerja paksa, sehingga menyebakan sumur2 ini selayaknya untuk kuburan masal.

Pada sumur yg terletak di timur (masih terdapat tembok pembatas) dahulunya para korban diceburkan kedalam sumur yg memiliki kedalaman 50-75 meter dalam kondisi sakit, lemah atau meninggal setelah bekerja, kondisinya sangat mengenaskan dan korban ada yg minta disempurnakan. 

Aura pedih dan suasana panas terasa kuat akibat banyaknya jenazah yg masih berada didasar sumur serta sampai dengan sekarang belum diangkat untuk disempurnakan, termasuk jenazah2 para Ulama Kyai setempat lain yg turut menjadi korban kekejaman militer Belanda saat itu.

Sumur berikutnya terletak di barat (sudah tidak ada lagi tembok pembatas dan diratakan dgn tanah, hanya terlihat sisa bata melingkarnya saja) dgn kondisi lebih terasa panas, tanahnya sendiri ambles perlahan dan gembur, hal ini diakibatkan karena jumlah jenazah lebih banyak.

Bangunan ujung selatan dibom oleh Nippon tahun 1942 dan mengalami kerusakan pada struktur atasnya hingga ditumbuhi pohon besar dgn akar2nya menjuntai, bangunan ini pernah terpilih sbg lokasi uji nyali program acara televisi, sebab menyimpan kisah yg lebih kelam.

Source : 

The Lost Book Kisah Tanah Jawa https://today.line.me https://langgar.co dan lainnya, summarized by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim JAMA’AH SARINYALA

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *