Di abad 19, terdapat banyak ulama-ulama besar yang mempunyai dedikasi intelektualisme di Minangkabau. Beberapa di antaranya tercatat dalam buku-buku sejarah, sementara sebahagiannya hanya berupa memori kolektif yang selalu diturunkan dari generasi ke generasi lainnya. Salah satu dari sekian ulama Minangkabau abad 19, dalam terekam dalam ingatan kolektif tersebut ialah Syaikh Muhammad Husain atau dikenal dengan dengan Tuangku Kubu Sanang atau dimasyhurkan dengan gelar Inyiak Gobah atau Angku Marapi.
Makam beliau berada di mihrab Mesjid Usang, Pasia; Mesjid yang sudah berusia lebih satu abad dan telah dipugar. Kedudukan makam di mihrab mesjid (dulu disebut surau) merupakan indikasi bahwa tokoh yang dimakam merupakan sosok penting di tengah masyarakat. Kubahnya merupakan ruangan yang besar. Makamnya ditandai dengan batu alam yang tinggi. Penanda batu alam, tinggi, merupakan tradisi makam tokoh-tokoh penting di Agam. Selain makam ulama, batu alam tinggi akan menjadi penanda makam regent, demang, dan tokoh adat. Posisi makam Tuangku Kubu Sanang ini juga menunjukkan posisi dalam tasawuf. Tradisi di Minangkabau, makam-makam tokoh tasawuf akan ditempatkan arah mihrab surau/ mesjid yang mereka bina, sebagai syi’ar dan ingat bersama.
Nama Tuangku Kubu Sanang tercatat dalam sejarah Paderi. Dalam gerakan Paderi, dikenal istilah Tuangku Kubu Sanang yang merupakan satu dari delapan tokoh yang dikenal dengan istilah Harimau nan Salapan. Saya tidak sempat merujuk “Memori Syaikh Jalaluddin Faqih Shagir”, apakah beliau mempunyai koneksi intelektual dengan Tuangku nan Tuo, sebagai ulama besar dan shufi dari garisan Thariqat Syattariyah di Ampek Angkek. Namun jelas, beliau satu masa dengan Tuan Syaikh tersebut.
Kedudukan makam, dan memori kolektif, memperjelas bahwa apa yang disebut Paderi itu bukan Wahhabi, sebagai mana kita maklumi sekarang; makam-makam dibina, ketokohannya diceritakan sebagai “baliau” yang keramat bertuah, dan haul untuknya diadakan. Ini yang ingin selalu saya tegaskan, bahwa Paderi, ialah gerakan yang berkaitan dengan banyak faktor; ekonomi, agama, dan kolonialisme. Tidak semata-mata apa yang disebut kebanyak penulis, yaitu “pemurnian” dalam artian Wahhabi. Ulama-ulama Paderi sependek pengkajian saya, ialah tetap bertasawuf, memakai ilmu hikmah, beramal dengan Syafi’iyyah, dan lain-lainnya. Cuma soal “ketegasan” terhadap prinsip syari’at itu, yang kemudian membedakan mereka dengan ulama-ulama konservatif seperti Tuangku nan Tuo tersebut.
Naskah Mukhtashar Muharrar
Dalam ziarah saya, hari kamis kemarin, saya diinformasikan sebuah manuskrip kuno, berusia sekitar dua abad atau lebih (cap air pada naskah ialah Propatria). Manuskrip itu berjudul Mukhtashar Muharrar karya Imam Rafi’i, salah satu raksasa Mazhab Syafi’i. Saya menduga, teks ini tentu berkaitan dengan ulama yang kita maksud, dengan beberapa alasan (1) teks ini ditemukan di rumah yang berdekatan dengan surau dan Makam Tuan Syaikh Kubu Sanang ini, (2) usia naskah lebih dari satu abad, (3) teks fiqih ini merupakan kajian ulama abad 19 (belum ditemukan pesantren atau lembaga tradisional saat ini yang menjadikan teks ini sebagai kitab daras Fiqih Syafi’iyyah).
Mansukrip yang ditulis dengan khat Naskhi yang cukup rapi ini dipenuhi catatan pinggir, yang menunjukkan bahwa teks sudah pernah dikaji di depan seorang guru. Catatan-catatan itu dalam bahasa Arab. Jumlah halaman sekitar 400-500 halaman.
Dari teks ini, kita juga mencatat bagaimana perkembangan intelektulisme Islam saat itu. Lazimnya, untuk pembahasan Fiqih Syafi’i di surau-surau abad 18 dan 19 lebih bertumpu pada Syarah Kanzul Raghibin karya Imam Mahalli, sebagai syarah dari Minhajut Thalibin Imam Nawawi. Keberadaan naskah Mukhtashar Muharrar ini menunjukkan bahwa Pasia waktu itu sudah melakukan lompatan dalam kurikulum fiqih, dengan mengkaji karya Imam Rafi’i, salah satu tokoh penting Mazhab Syafi’i yang namanya abadi hingga saat ini.
********
Beberapa tahun yang lalu, Haul Syaikh Kubu Sanang, sudah digagas oleh Buya Abdurrahman al-Fasiri al-Haqqani. Tidak jauh dari surau dan makam terdapat Zawiyah Thariqat Naqsyabandiyah Haqqani, yang berupaya betul menghidupkan tradisi, atau dikenal dengan “mambangkit batang terendam” itu (bukan membuat “batang” baru, kawan!!!). Dengan antusias jama’ah Zawiyah menghidupkan kembali tradisi-tradisi keislaman yang ada, termasuk haul masyaikh yang lama-lama, sebagai bentuk ta’zhim dan syi’ar, serta ingatan bagi yang muda-muda, bahwa Pasia, sejak dahulu ialah lokus keilmuan Islam.
Kamis/ 8 Jumadil Akhir 1442 H – 21 Januari 2021 M.
Lihat keterangan pada masing-masing foto.