Al-Qur’an selalu menjadi magnet luar biasa. Bayangkan, tidak ada satu kitab pun di muka bumi yang dihafal sedemikian rupa dalam sejarah manusia seperti Al-Qur’an, dari anak kecil sampai dewasa. Belum lagi kaligrafinya yang diukir dengan berbagai bentuk. Belum lagi berbagai musabaqat dalam tilawah, tafsir, qira’ah, dan lainnya.

Al-Qur’an tidak hanya dikaji dari aspek maknanya (ilmu dalalah) yang melahirkan berbagai tafsir. Tetapi, ia dikaji dari berbagai aspeknya, lughawi, bayani, adady, ilmy, shauty, adabi dan lainnya. dalam kajian I’jaz Adady (bilangan) misalnya, Ayat yang menyebutkan angka 40 dalam salah satu Ayat, maka jumlah huruf dalam Ayat tersebut berjumlah 40 huruf.

Yang juga menarik perhatian pengkaji Al-Qur’an adalah ashaut (suara, bunyi). Sudah sangat mafhum dan terbukti bahwa al-Qur’an memberikan dampak (pengaruh) pada seseorang walau ia tidak mengerti Al-Qur’an dan belum memahami artinya. Seperti yang diceritakan oleh seorang Nasrani, bahwa suatu hari ia melewati seorang yang lagi melantunkan Al-Qur’an, tiba-tiba ia  berhenti dan menangis sesenggukan, kemudian ia ditanya apa gerangan yang membuat sang nasrani menangis?  Ia menjawab: karena ada syaja’ah  dan nadham (untaian kata-kata) yang indah di dalamnya. Diceritakan oleh Dhiyauddin Ibnu Athir. 

والله إن لقوله الذي يقول حلاوة، وإن عليه لطلاوة، وإنه لمثمر أعلاه مغدق أسفله، وإنه ليعلو وما يعلى، وإنه ليحطم ما تحته

Demi Allah! Apa yang ia ucapkan (Alquran) itu manis. Memiliki thalawatan (kenikmatan, baik, dan ucapan yang diterima jiwa). Bagian atasnya berbuah, sedang bagian bawahnya begitu subur. Perkataannya begitu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta menghantam apa yang ada dibawahnya. Kata walid bin Mughirah, penyair Quraisy yang memiliki ketajaman lidah dan perajut kalimat-kalimat indah. ia sangat takjub pada al-Qur’an, walau sampai meninggalnya tidak mendapatkan hidayah Islam.

I’Jaz Syauti banyak dikaji oleh Al-Baqilani, Al-Khattabi, Al-Rummani, Ibnu Athir, dan beberapa ulama lainnya. Ibnu Athir memebrikan kreteria I’jaz al-Syauti dalam al-Qur’an, di antaranya adalah jumlah huruf dalam kata, berat dan ringannya dalam ucapan, lafal sesuai dengan kalimat, lafal sesuai dengan konteks dan beberapa kreteria lainnya.  sedangkan menurut Al-Rafi’i, I’jaz Syauti dapat dilihat dari segi huruf dan suaranya, kata dan hurufnya, kata-kata dan kalimatnya. Berbeda dengan Sayyid Qutub dalam Al-Taswir al-Fanni fi al-Qur’an, ia menjelaskan tentang harmoni suara, ritme, diksi dan lainnya. 

Pilihan kata yang terkait dengan ritme dan shaut (fonologi), yang juga terkait dengan makna (dalalah) dan konteks; seperti 

وَإِنَّ مِنْكُمْ لَمَنْ لَيُبَطِّئَنَّ فَإِنْ أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَالَ قَدْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيَّ إِذْ لَمْ أَكُنْ مَعَهُمْ شَهِيدًا [النساء:72] 

Perhatikan setiap kata dalam ayat di atas, terutama pada kata لَيُبَطِّئَنَّ . Ia benar-benar menggambarkan keseluruhan makna dari ayat  ini yang berbicara tentang “berlambat-lambat”. Ketika kita membacanya, kita tidak akan bisa mempercepat, kalau kita mempercepat bacaan dalam Ayat ini akan kesulitan, bisa-bisa tergelicir dan tidak sesuai dengan kaindah tajwid. Membaca ayat ini harus bertatih-tatih, pelan-pelan dan membacanya dengan berlahan-lahan. Terutama pada kata لَيُبَطِّئَنَّ yang bermakna “sangat berlambat-lambat”.

Perhatikan beberapa kata, kalimat dan frase dalam Ayat berikut;

(فَكُبْكِبُوا فِيهَا هُمْ وَالْغَاوُونَ (الشعراء/94. 

(يا أيها الذين آمنوا ما لكم إذا قيل لكم انفروا في سبيل الله اثاقلتُم إلى الأرض) التوبة/38 .

(مُذَبْذَبِين بين ذلك لا إلى هؤلاء ولا إلى هؤلاء) الأحزاب/11

 (وزلزلوا زلزالا شديدا ) الأحزاب/11

(فدَمْدَمَ عليهم ربهم ) الشمس/14 

(وهم يَصْطَرِخُون فيها )فاطر/37 .

Beberapa kengerian yang digambarkan dalam neraka, suara-suara gaduh, teriakan-terikan, sesembahan yang dijungkir balikkan dalam kalimat “Fakubkibu”. Dan Al-Qur’an menggambarkan mereka dalam neraka dengan jeritandan teriakan-teriakan yang dahsyat “Yastharikhuna” dengan cukup berat, pada kalimat ini dengan tambahan “tha” yang menunjukkan mubalaghah (sangat).  Dan beberapa huruf yang diulang-ulang seperti “fadam dama”, “wazul zilu zilzalan”, “mudzab dzabina” adalah gambaran dari realitas yang ada, ada keserasian fonem (syaut) dengan makna dalam Ayat tersebut.  

Ketika berbicara tentang “lapang”, baik dilapangkannya rizki atau dada, maka bunyi Ayat-Ayat tersebut seperti memberi gambaran keluasan, lapang, mudah dan ringan. Perhatikan Surat Al-Insyirah; أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

Dan juga dalam Ayat 

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Menurut Sayyid Aly, ada hubungan yang sangat erat antara aspek bayani dan aspek fonetik (shaut) dalam mengungkapkan makna. Pembentukan citra artistik kalimat dalam Al-Qur’an didasarkan pada pencampuran aspek bayani dengan suara (shaut) dan aspek irama (iqa’i).

Malang, 27 Juni 2021

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *