Al-Qur’an dan hadits seharusnya dipahami secara :

  • Pertama, Tekstual (makna yang tersurat/tertulis)  maupun kontekstual (makna yang tersirat, mempertimbangkan latar belakang ayat/haditsnya).

Maka alangkah kurang berkesan dalam hati jika ayat atau hadits dipahami secara tekstual saja, bahkan dalam sebagian ayat/hadits lain sangat berbahaya jika ditafsirkan secara tekstual. 

Contoh surat al-Falaq dan an-Naas yang memiliki latar belakang (asbabun nuzul)  disihirnya Nabi oleh penyihir Yahudi dengan 11 jarum,  maka turunlah malaikat Jibril membawa wahyu surat al-Falaq dan an-Naas sebagai penangkalnya, di mana seluruh jumlah ayatnya persis sebanyak jumlah jarum sihir tersebut. Setiap kali  ayat surat Alfalaq (5 ayat)  dan an-Naas (6 ayat) itu dibaca,  maka terlepaslah jarum sihir itu satu persatu hingga Nabi sembuh seperti sediakala.  Inilah konteks  atau asbabun nuzul surat al-Falaq dan An-Naas. 

Jadi dengan  mengetahui konteks suatu ayat/surat, maka akan kuat kesannya dalam hati pembacanya. Namun jika ayat atau surat al-Qur’an dipahami secara tekstual,  sangat dirasakan bagai kekeringan makna alias kurang berkesan dalam hati pembacanya. 

contoh ayat yang berbahaya jika dipahami secara tekstual adalah ayat 3 surat al-Maidah tentang pengharaman babi. Jika dipahami secara tekstual, seolah-olah yang diharamkan hanya daging babi saja. Sedangkan tulang, taring,  bulu, kulit, atau kukunya itu seolah-olah dianggap halal, karena tidak disebutkan dalam ayat itu. Padahal semua yang berhubungan dengan babi adalah haram.  Menurut ahli Tafsir, penyebutan daging babi pada ayat tersebut, lebih dikarenakan bagian yang sering dituju untuk dikonsumsi dari babi adalah dagingnya.

  • Kedua, Mengambil makna substansi (hakikat/jiwa/semangat”pesan) dari ayat atau haditsnya disamping makna formalitas(makna lahiriyah)nya. 

contoh : perintah berjilbab atau menutup aurat bagi Muslimah (Q. S. An-Nuur: 31 dan al-Ahzab : 59) yang tidak hanya berisi perintah menutup aurat atau menjilbabi tubuh saja, namun juga perintah “menjilbabi hati” setiap muslimah. Sehingga tidak hanya cantik/salehah  lahirnya saja (outer beauty)  tapi juga cantik batinnya (inner beauty) yang merupakan jiwa dari ayat jilbab tersebut.

  • Ketiga, Mentakwil (mengambil makna yang sesuai/layak) dari redaksi ayat/hadits yang mengandung makna majaz (kiasan). Contoh hadits yang menyatakan:

 الجنة تحت اقدام الأمهات “Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.”

Hadits tersebut  jangan  dimaknakan secara tekstual. Kalimat hadits di sini mengandung majaz.  karena tidak mungkin.menjumpai surga di bawah telapak kaki lahiriyah Ibunda kita. Melainkan harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan kalimat majaznya. 

Maka takwil yang sesuai dengan hadits tersebut adalah berbakti kepada orangtua khususnya ibu menjadi sebab seorang anak bisa masuk ke dalam surga. (Bersambung) 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *