Tangerang Selatan, jaringansantri.com – Pada akhir abad 19 dan awal Abad 20, banyak ulama nusantara dari tatar Sunda  telah berkarir secara intelektual di Makkah. Secara genealogi keilmuan, ulama-ulama sunda sangat terkait dengan ulama-ulama nusantara dari wilayah Jawa.

Mereka punya pengaruh besar terhadap setiap gerakan sosial keagamaan, gerakan pemikiran, gerakan kebudayaan yang terjadi di Nusantara. Siapa saja ulama-ulama tersebut ?

Pertanyaan ini dilontarkan oleh A. Ginanjar Sya’ban membuat kajian turats di Islam Nusantara Center (INC). Sabtu, (10/03). Didampingi Zainul Milal Bizawie, kajian kali ini mengangkat tema “Jejak Ulama Sunda di Mekkah Awal Abad 19 dan Akhir Abad 20”.

Menurut Ginanjar, proses Islamisasi di wilayah Sunda tidak semengakar kuat dibandingkan proses Islamisasi di wilayah Jawa. Tapi Ulama-ulama di tatar sunda tidak bisa dilepaskan dari ulama-ulama Jawa. “Mereka punya keterkaitan genealogi keilmuan dengan ulama Jawa,” katanya.

Jaringan ulama Sunda dan Jawa juga banyak terjalin melalui hubungan guru-murid yang terjadi di Makkah. Membahas hal ini, Ginanjar menunjukkan catatan Snouck Hurgronje (1889) berjudul “Mecca in the Latter Part of 19th Century: Daily Life, Customs and Learning the Moslims of The East-Indian Archepilago”.

“Catatan ini memuat sejumlah informasi terkait ulama-ulama Sunda yang berada di
Makkah. Saya membaca catatan tersebut dalam bahasa Arab terjemahan Sobari Muhammad Hasan,” kata santri filolog ini.

“Buku ini penting karena datanya kaya. Tidak hanya tentang ulama-ulama Nusantara, tetapi juga memaparkan sejarah Mekkah di akhir abad 19,” tambahnya.

Hurgronje membagi wilayah Sunda jadi dua, Sunda Banten dan Sunda Priyangan. Dari Banten, lanjut Ginanjar, di antara nama ulamanya yang disebut Hurgronje adalah Syaikh Nawawi, kedua adiknya, juga Syaikh Abdul Karim Banten. Kemudian ada seorang priyayi Aboe Bakar Djajadiningrat, menak Sunda-Banten (anak bupati Pandeglang).

Direktur INC ini mengatakan “Aboe Bakar Djajadiningrat ini lah yang menjadi teman dekat Snouck. Ia bekerja di Konsul Belanda di Jeddah. Djajadiningrat juga yang menjadi aktora dibalik suksesnya Hurgronje masuk ke Makkah dan bertemu dengan beberapa ulama di kota suci itu.”

Hurgronje juga menyebut beberapa nama ulama asal Sunda-Priangan, di antaranya adalah Muhammad Garut, Hasan Mustapa Garut. “Dari Hasan Mustofa inilah Hurgronje mendapatkan banyak data tentang sejarah Aceh,” kata Ginanjar.

Kemudian Hurgronje juga menyinggung pengaruh Raden Muhammad Musa. Seorang kepala penghulu Limbangan dan pembaharu sastra Sunda, kawan dekat KF Holle, penasehat pemerintahan Belanda untuk urusan pribumi. Ia juga menyinggung Raden Yusuf Purwakarta yang menjadi guru Syaikh Nawawi Banten.

Meskipun demikian, lanjut Ginanjar, Hurgronje tidak menyebut dua ulama Sunda ini.  Mereka adalah Ajengan Gentur dan Syekh Siroj Garut, seorang pelantun Al-Qur’an di Masjidil Haram.(Zainal Abidin/Damar).