Umrah secara bahasa berarti berkunjung (ziarah) kepada apa yang dicintai. Ramadlan dari kata Ramdla’ secara bahasa berarti syiddat al-harri (sangat panas). Jadi, secara bahasa berumrah pada bulan Ramadlan berarti berkunjung ke kota Makkah untuk beribadah tertentu pada saat cuaca sangat panas. Wajarlah jika Rasulullah bersabda, “umrah di bulan Ramadlan senilai sebuah haji.” Dalam hadits lainnya dengan redaksi: “senilai haji atau sebuah haji bersamaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Jamaah umrah kami take off pada hari Kamis, 8 Juni 2017 pukul 11.55 WIB dengan pesawat Garuda dari  Bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng, menuju dan landing di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah setelah menempuh jarak 8.048 km dengan waktu tempuh 8 jam 47 menit. Suhu di dalam pesawat yang terbang di ketinggian 11.582 km itu cukup sejuk, sedangkan suhu di luar pesawat sepanjang penerbangan jauh di atas titik beku air, yakni  -42° Celcius. 

Meskipun menempuh perjalanan sangat jauh berjarak ribuan kilo meter pada siang hari,  namun kebanyakan jamaah umrah dari Indonesia itu nampaknya tetap berpuasa. Padahal jarak tersebut telah melampaui jarak minimal kebolehan rukhsah (dispensasi) untuk tidak berpuasa dan (padahal) berarti mereka berpuasa lebih lama dari lama waktu puasa di wilayah Indonesia,  karena selisih waktu sekitar 4 jam dengan waktu di Jeddah, Saudi Arabia. Jadi, jamaah umrah dari Indonesia itu berpuasa  sangat lama, lebih kurang 17 jam.

Tiba di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, pada sore hari sekitar dua jam sebelum Magrib kami langsung mandi sunnah karena hendak Ihram. Jangan pernah membayangkan bahwa Bandara Internasional King Abdul Aziz Jeddah setertib, seindah, dan sebersih Bandara Internasional Soekarno Hatta, Bandara Narita Jepang, Bandara Int. Dubai UEA, atau Bandara Doha Qatar. Bandara di Kota Jeddah yang selalu ramai dan sibuk tersebut tampak tidak terawat, sangat kotor, jorok, dan kamar mandinya menjadi sarang nyamuk. Belum lagi pelayanannya yang relatif sangat tidak memuaskan para pengunjung. Petugas-petugas Bandara Jeddah tersebut terlihat tidak berdisiplin tinggi, dan tidak ramah dan jarang tersenyum.

Menurut madzhab al-Syafi’i rukun umrah itu ada lima: ihram, tawaf, sa’i, tahallul (menggunting sebagian atau mencukur habis rambut kepala), dan  tertib di antara rukun-rukun tersebut. Sedangkan menurut madzhab al-Hanafi fardlu umrah hanya dua, yaitu ihram yang merupakan syarat dan tawaf yang merupakan rukun. Pada ihram untuk umrah disunnahkan apa yang disunnahkan pada ihram untuk haji, demikian halnya larangan-larangan ihram umrah sama dengan larangan dalam berhaji.

Saat di pesawat Garuda menjelang landing di Jeddah terdengar pengumuman bahwa jamaah umrah bersiap untuk berniat ihram dan bertalbiyah, karena pesawat tsb telah sejajar dengan miqat ihram. Kami tidak mengikutinya, karena aku, isteriku Widyasavitri Ishomuddin , dan adik kandungnya (Hamdani Lukman) sepakat untuk berniat ihram setelah pesawat landing di Jeddah. Meski aku paham bahwa  alasan menjadikan Bandara King Abdul Aziz Jeddah sebagai miqat makaniy bagi jamaah umrah dan haji dari Indonesia karena pertimbangan jarak kota Jeddah dengan Makkah telah melampaui 2 marhalah. Hal ini tidak usah lagi dipersoalkan karena termasuk masalah ijtihadi.

Setelah masing-masing dari kami mandi (hukumnya sunnah muakkadah), berpakaian ihram, shalat sunnah dan lalu berniat umrah, selanjutnya ber-talbiyah. Kami bertiga tidak mengikuti rombongan umrah naik bus, melainkan menuju mobil GMC yang sudah agak lama menunggu dan meluncur sangat cepat menuju dan melewati batas Tanah Haram setelah berdoa lalu menuju dan memasuki Kota Makkah sambil berdoa kembali.

Yang dimaksud Tanah Haram adalah wilayah yang mengelilingi Kota Makkah yang agung dan memiliki hukum-hukum yang khusus sejak masa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, seperti wajib berihram (menghormati tanah mulia), diharamkan berburu, haram memotong pohon tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dengan sendirinya, dan sebagainya. 

Kami tiba di hotel dan beristirahat selama satu jam untuk meng-qashar dan menjama’ ta’khir shalat fardlu. Selanjutnya menuju Masjid al-Haram yang begitu terasa sangat sulit dan melelahkan untuk sekedar bisa memasukinya. Terlihat pasukan keamanan umum berjaga-jaga sangat ketat, tidak membebaskan setiap orang boleh memasukinya, karena masjid itu sudah dipadati oleh jamaah shalat Tarawih, kecuali mereka yang berpakaian ihram nampaknya diprioritaskan masuk agar bisa ber-thawaf. Meskipun hari sudah malam, suhu panas yang dihembuskan begitu terasa menyengat, kecuali di seputaran Masjid al-Haram terasa sejuk karena banyaknya kipas angin dan ruangan yang full AC.

Alhamdulillah, dengan susah payah kami berhasil memasuki Masjid al-Haram, kami berdoa ketika memasukinya. Kami sempatkan lebih dahulu minum air Zam-zam. Berjalan sesaat lalu terlihatlah Ka’bah dengan jelas,  maka kami pun berdoa lagi saat melihatnya. Ka’bah terlihat sangat kecil namun tetap mulia, agung dan berwibawa dibandingkan gedung-gedung pencakar langit yang mengelilinginya. Segera kami melakukan thawaf 7 kali putaran  berlawan arah putaran jarum jam di mulai rukun al-Hajar al-Aswad dengan menjadikan Ka’bah selalu di sebelah kiri pundak. Di Masjid al-Haram itu kami tidak shalat sunnah Tahiyyat al-masjid, karena Thawaf di seputar Ka’bah adalah tahiyyat al-masjid bagi Masjid al-Haram.

Saat jamaah Masjid al-Haram disibukkan oleh Shalat Tarawih kami berthawaf karena berasumsi pasti tidak banyak yang berthawaf. Ternyata banyak yang berpikir sama dengan kami, sehingga seputar Ka’bah disesaki dan dipadati oleh jamaah umrah dari seluruh penjuru dunia. Sepanjang thawaf dengan khusyu’ kami membaca doa-doa tertentu. Kami tidak sempat membuka dan menutup thawaf dengan mencium al-Hajar al-Aswad,  karena sangat berdesakan dan takut mencelakai atau dicelakai orang lain, sehingga cukup berisyarat mencium dengan melambaikan tangan saja.  Sebagaimana juga tidak memungkinkan untuk berdoa di Multazam (dinding antara al-Hajar al-Aswad dan pintu Ka’bah) sebagaimana beberapa kali umrahku sebelumnya. Kami hanya sempat mendatangi Maqam Ibrahim (tempat berdiri Nabi Ibrahim) dengan susah payah dan setelah itu melaksanakan shalat sunnah Thawaf dua raka’at dan berdoa setelahnya.

Kemudian kami menuju al-mas’a yang juga penuh sesak oleh jamaah umrah untuk bersa’i 7 kali tempuhan bolak-balik antara bukit al-Shafa dan berakhir di bukit al-Marwah sambil terus berdzikir dan membaca doa-doa khusus. Adapun jarak antara keduanya lebih kurang 420 meter, sehingga total kami menempuh jarak 420 m x 7 tempuhan = 2.940 meter atau dibulatkan menjadi sekitar 3 kilo meter. Berbeda dengan Thawaf yang harus suci dari hadats besar dan hadats kecil, maka Sa’i tidak harus suci dari hadats kecil tetapi harus suci dari hadats besar.

Seusai Sa’i yang melelahkan itu kami segera tahallul (menghalalkan kembali) apa yang dilarang dikerjakan sepanjang ihram dengan menggunting sebagian rambut kepala. Sebagian orang bahkan dengan cara menggunduli rambut kepalanya.

Demikian ibadah umrah  telah kami lakukan dengan tertib, sesuai rukun umrah dalam madzhab al-Syafi’i yang kami ikuti. Semoga umrah pada bulan suci Ramadlan ini menjadi umrah yang mabrurah dan tidak menjadi umrah yang terakhir kalinya bagiku. Insyaallah, hari-hari berikutnya kami akan menuju al-Madinah al-Munawwarah untuk beribadah di al-Masjid al-Nabawi dan yang terpenting berjumpa dengan Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallama untuk memohon doa dan syafa’at beliau. Semoga catatan ini bermanfaat bagi setiap pembacanya yang saya doakan bisa berumrah pada saatnya nanti.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *