Namanya cinta itu memang susah dilihat secara lahir walau bisa dirasakan kehadirannya. Saking senyapnya cinta, perilaku pecinta dan yang bukan itu tampak sama.

Namun hanya cintalah yang membedakan hati seorang munafik dan mukmin, seorang pengecut dan pemberani, seorang influencer dan social climber, seorang santri dan orang kemaki.

Contoh, orang dakwah. Seorang pecinta itu kalo dakwah gak ngurus mau punya jamaah banyak atau tidak, jamaahnya datang atau tidak, mau jamaahnya jadi sholeh atau tidak. Sebab motivasi mereka berdakwah karena suka sekali menyebut-nyebut dan membicarakan Gusti Allah, Kanjeng Nabi, orang sholeh dan syariat-syariat-Nya. Karena itu yang mereka cintai. Dan pecinta suka menyebut yang dicintai.

Mereka cuma senang diperhatikan Gusti Allah, bukan suka perhatian makhluk. Makanya kalo dakwah kok gampang kecewa sama umat hingga suka direncanakan pakai manager segala itu perlu dikoreksi niatnya. Jangan-jangan dakwah cuma butuh perhatian orang. Walau gak salah, tapi kudu sadar itu merusak niat.

Coba simak cerita Mbah Manaf Lirboyo saat mengajar, para santrinya sering kesulitan mengikuti kalimat yang dibaca Mbah Manaf. Mbah Manaf beralasan ya begini kalo Mbah Kholil mengajar. Hal itu dikarenakan cintanya beliau pada Gusti Allah, sehingga mencintai pembawa ilmu-Nya yaitu sang guru.

Ada pula cerita Mbah Abdurrahman Cepoko saat waktunya mengajar kok gak ada santri, beliau tetap saja mengajar seperti biasa. Beliau beralasan bukan manusia saja yang butuh ngaji, dampar, karpet, lampu juga butuh ngaji. Hal ini dikarenakan rasa cintanya pada Gusti Allah, membuat beliau welas beliau pada makhluk Gusti Allah.

Semua bisa kita raih kalo kita punya ihsan dan menisbatkan semua pada Gusti Allah. Ihsan berarti merasa melihat Gusti Allah lewat semua ciptaan-Nya atau merasa dilihat oleh Gusti Allah lewat semua qudroh-Nya. Lalu mengembalikan semua kebaikan dan kemuliaan pada asal-usulnya yang paling puncak yaitu Gusti Allah.

Makanya, kita perlu minimal sekali seumur hidup, pernah sendirian lalu tafakur sampai menangis karena menyadari kekuasaan dan kebaikan Gusti Allah dan menyadari kehambaan diri. Bukan menangisi utang, cem-ceman atau kekerean diri yang tak berujung.

Karena tangis karena sadar kekuasaan Gusti Allah itu bermanfaat untuk melepas semua beban jiwa, melembutkan hati, meredakan stress dan mereset ulang pikiran kita hingga jadi fresh. Selain itu, insya Allah akan mendapat rahmat dari Gusti Allah, karena tafakur sendiri perintah-Nya.

Kalo udah pernah nangis model gitu, bagi jiwa itu nikmatnya luar biada. Dan insya Allah kita bakal mudah tersentuh dengan kebaikan Gusti Allah sekecil apapun. Ini yang nantinya bikin kita makin cinta pada Gusti Allah, walaupun kita bandelnya amit-amit. Beban jiwa atas dunia pun pun rasanya hilang. Berganti beban kerinduan pada Gusti Allah.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *