“Karena status sosial, ilmu, harta, pangkat atau jabatan, banyak terbit orang2 yg lupa. Bahwa apa pun yg ada dan terjadi di dunia adalah kehendak-Nya. Tidak ada jalan hidup manusia yg dirancang oleh otaknya, oleh kecerdasannya, oleh ilmunya dan sebagainya. Lalu merasa dirinya hebat dan lebih mulia. Kadang tampak simbolitas ibadahnya, namun pada akhirnya lupa bila ada Allah subhanahu wa ta’ala dalam hidupnya. Sebab lebih nampak nafsu-egonya atas nama Tuhan.”

Simbolitas prilaku atas nama ibadah dan agamanya, akhirnya tiada sadar melakukan sikap taraffu’ (menonjolkan diri). Jiwanya menyukai ketinggian di atas sesamanya, dan dari sini biasanya muncul takabbur (kesombongan). Sikap taraffu’ tsb jangan disepelekan, karena akan muncul sifat ujub, membanggakan diri. Ujub itu modal dari sifat taraffu (menonjolkan diri). Taraffu’ itu modal dari kibr atau takabur (sombong). Orang yg takabur membesarkan dirinya, melupakan Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalam beragama pun, ibadah misalnya, banyak orang jatuh dalam penonjolan diri dari yg lain, muncul kesombongan, bukan hanya karena harta, kekuasaan atau kecerdasan. Mengapa ?, karena hakikat sombong, sebagaimana ditegaskan Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, adalah menganggap remeh orang lain dan menilai dirinya lebih mulia. Padahal pada hakikatnya, segala kebesaran, keagungan dan kemuliaan hanya pantas dimiliki sang Khalik (pencipta), yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, bukan pada makhluk manusia.

Seseorang yg taraffu’ lagi sombong akan menolak nilai kebaikan atau fakta kebenaran yg disodorkan kepadanya, padahal dia tahu itu adalah benar. Dirinya merasa tidak pantas menerima masukan, tidak mau duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, dia juga tidak mau mencintai manusia padahal dirinya ingin dicintai, gampang menyakiti sesama, tidak bisa menahan emosi, kebencian, selalu berdusta dan menyebarkan kedustaan (hoaks), serta tidak bisa memberi nasehat dgn santun apalagi menerima nasehat.

Ketahuilah wahai hamba yg tunduk kepada Allah subhanahu wa ta’ala , bahwa jika manusia itu menyukai ketinggian di atas sesamanya, dan dari sini muncul kesombongan. Mereka lupa, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman : 

ٱلدَّارُ ٱلْءَاخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَٱلْعَٰقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang2 yg tidak ingin ketinggian (menyombongkan diri ) dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yg baik) itu adalah bagi orang2 yg bertakwa” (QS. Al-Qashash: 83)

Orang yg menyukai ketinggian atas orang lain, terjebak pada sikap kesombongan. Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam memberikan pengertian terhadap orang yg sombong, dgn sabdanya yg diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu (wafat 650 M, Jannatul Baqi’ Madinah)

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR Imam Muslim rahimahullah).

Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i atau Imam Nawawi rahimahullah (wafat 10 Desember 1277 M, Nawa, Suriah) berkata: “Hadist ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran” (Kitab Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi, II/163, cet. Daar Ibnu Haitsam)

Kesombongan ada dua macam, yaitu sombong terhadap Al-Haq dan sombong terhadap makhluk. Hal ini diterangkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadist di atas. Menolak kebenaran adalah dgn menolak dan berpaling darinya serta tidak mau menerimanya. Sedangkan meremehkan manusia yakni merendahkan dan meremehkan orang lain, memandang orang lain tidak ada apa2nya dan melihat dirinya lebih dibandingkan orang lain.

Penyakit taraffu’ yg satu ini, menurut Al-Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i atau Imam Ghazali rahimahullah (wafat 18 Desember 1111 M di Thus, Iran), patut diwaspadai, karena tak hanya menyerang manusia secara umum, tetapi justru lebih banyak menyerang orang2 pandai, para pakar, termasuk para ulama, kecuali sedikit orang dari mereka yg hatinya mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Seandainya, kalau diri kita memang layak untuk dihargai dan dihormati, maka hormati dan hargai orang lain, tidak perlu menyodorkan atau mengangkat diri didepan orang lain, tidak harus disertai dgn meremehkan, apalagi mengeluarkan kata2 dan sikap yg meremehkan orang lain.          

Karena sekali terlanjur melukai hati orang, maka walaupun kemudian disusul dgn  permintaan maaf dan penjelasan bahwa maksudnya bukan begitu, tapi begini, sudah tidak lagi mampu mempertautkan luka yg sudah tertoreh dalam hati orang.

Apalagi yg melakukannya adalah sosok public figure atau sosok orang merasa penting, tentu akan menyebabkan luka yg menganga bagi orang2 yg  merasa dilecehkan martabatnya, sebagai orang kecil, apalagi terhadap orang banyak.

Penyebab semuanya itu adalah akibat dari “over confidence”. Membuat orang merasa bahwa dirinya adalah sosok paling hebat, paling pintar, paling beribadah, paling beramal, paling benar, sehingga secara tanpa sadar telah menjerumuskannya  menjadi sosok yg angkuh. Dan akhirnya melupakan Allah dalam dirinya.

Wallahu a’lam Semoga bermanfaat

Written from various sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik

CHANNEL YOUTUBE SARINYALA

https://youtube.com/channel/UC5jCIZMsF9utJpRVjXRiFlg

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *