FAO (Food and Agriculture Organization) adalah badan pangan dan pertanian dunia yang berfokus pada peningkatan kapasitas petani, nelayan, pembudi daya, dan peternak di dunia serta memberikan advokasi kebijakan pembangunan pertanian. Secara teknis hingga sekarang, badan ini telah bermitra dengan sejumlah kementerian, memiliki kantor perwakilan sejak tahun 1978, serta menjalankan lebih dari 650 program dan proyek di Indonesia.[1] Belum lama ini keluar peringatan dari FAO, bahwa pada April s.d. Mei 2020 pandemi corona telah melumpuhkan sektor-sektor perekonomian hingga dapat memicu terjadinya krisis pangan di berbagai negara dan pasar dunia akan semakin ketat. Oleh sebab itu, ada urgensi pemerintah untuk merancang dan menerapkan strategi yang tepat dalam mengatur pasokan dan distribusi pangan di dalam negeri.[2] Peneliti Agraria LP3ES Iqra Anugrah mengatakan, bahwa dampak COVID-19 berada di level mengkhawatirkan dalam perspektif agraria dan korban pertamanya pasti kelas menengah ke bawah dan kelompok-kelompok minoritas di perkotaan.[3] Berdasarkan data Indeks Ketahanan Pangan 2018, saat ini masih ada 81 dari 416 kabupaten yang dikategorikan rentan pangan prioritas 1-3. Sebagian besar berada di Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur yang dicirikan oleh rasio konsumsi per kapita terhadap produksi bersih per kapita yang amat tinggi, tingginya balita stunting sekitar 33,72%, dan warga miskin sekitar 23,19%. Juga krisis potensial yang terjadi pada 7 dari 98 kota sehingga dikategorikan sebagai kota rentan pangan prioritas 1-3, diantaranya Subulussalam dan Tual (prioritas 1), Gunung Sitoli dan Kota Pagar Alam (prioritas 2), dan Tanjung Balai, Lubuk Linggau dan Tidore Kepuluan (prioritas 3). Kota-kota ini dalam kondisi taraf pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran yang sangat tinggi, akses rumah tangga pada air bersih yang masih rendah yakni sekitar 42,45%, dan tingginya angka balita stunting sekitar 29%.[4] Dari sini tampak bahwa status pangan mempengaruhi aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat.

Uniknya bila meninjau data komposisi sampah tahun 2018, jenis sampah yang paling banyak adalah sampah sisa makanan yakni 44%. Sisanya adalah plastik 15%, kertas 13%, kain atau tekstil 3%, logam 2%, karet atau kulit 2%, kaca 2%, dan lainnya 8%. Sampah-sampah tersebut dihasilkan oleh rumah tangga yang menjadi penyumbang terbesar yakni 62%, lalu pasar traditional 13%, pusat perniagaan 7%, kantor 5%, kawasan 4%, fasilitas publik 3%, dan sisanya 6% berasal dari lainnya.[5] Kemudian data dari Badan Ketahanan Pangan Kementan dan sumber lain, bahwa sampah makanan atau food waste orang Indonesia jika dikumpulkan dalam satu tahun jumlahnya mencapai 1,3 juta ton. Dari total food waste 1,3 juta ton, sebanyak 113 kilogram per tahun dihasilkan dari rumah tangga atau 28 kilogram per tahun per orang. Limbah makanan tertinggi yakni jenis sayuran 7,3 kg, buah-buahan 5 kg, tempe-tahu-oncom 2,8 kg, umbi dan jagung 2,4 kg dan beras 2,7 kg. Sementara yang paling sedikit ditemukan dalam sampah makanan yakni kacang-kacangan 0,4 kg, telur 1 kg, ikan dan seafood 1,5 kg, daging 1,6 kg, susu dan olahannya 1,7 kg serta makanan lainnya 1,8 kg. Bahkan, jumlah sampah makanan pun meningkat selama bulan puasa dan lebaran, yaitu lebih dari 10%.[6] Lalu data The Economist Intelligence Unit tahun 2016 yang menunjukkan bahwa, Indonesia menjadi penyumbang sampah makanan terbesar ke-2 di dunia dengan memproduksi rata-rata 300 kg sampah makanan setiap tahunnya. Tidak hanya itu, dilansir oleh ADB dan IFRI tahun 2016 hingga 2018 terdapat 22 juta penduduk Indonesia mengalami kelaparan dan beberapa dari mereka menderita penyakit kurang gizi alias malnutrition.[7] Apakah sampah makanan itu sudah betul-betul sampah? Atau justru ketidak-pahaman terhadap kondisi yang menghimpit saudara-saudara di wilayah negeri kita?

Memang banyak faktor yang memengaruhi krisis pangan di Indonesia, salah satunya gaya pangan masyarakat kita. Bila menilik sejarah, Indonesia baik dari sebelum dan sesudah kemerdekaan merupakan negara pengimpor beras. Pernah pada pertengahan tahun 1980-an Indonesia mencapai swasembada beras dan sempat mendapat penghargaan dari FAO, namun prestasi tersebut tidak bisa bertahan lama karena memasuki tahun 1990, Indonesia kembali menjadi negara importir beras yang pada puncaknya di tahun 1998-1999, hampir 2 juta ton beras diimpor dari pasar internasional. Lalu pada tahun 2003, konsumsi beras masyarakat Indonesia sekitar 135 Kg tiap orang per tahun dan pada tahun 2009 naik menjadi 139 Kg setiap orang per tahun. Angka konsumsi tersebut meletakan orang Indonesia sebagai konsumen beras tertinggi di dunia. Rata-rata konsumsi beras internasional hanya 60 Kg per orang per tahun, dan Indonesia menjadi negara importir beras kedua terbesar di dunia setelah Nigeria. Semakin meningkat hingga tahun 2010 Indonesia mengimpor 1,2 juta ton beras dan tahun 2011 diproyeksikan mencapai 1,75 juta ton beras.[8] Sebetulnya pada tahun 1967, diterbitkan sebuah buku yang merangkum persoalan kuliner nusantara diberi judul Mustika Rasa: Resep-Resep Masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Buku tersebut mengulas banyak hal, mulai dari resep-resep makanan, informasi gizi, hingga menu makanan unik yang tak umum di masa kini. Buku yang pantas disebut kitab kuliner Nusantara, karena memiliki tebal 1.123 halaman yang memuat sekitar 1.600 resep masakan nusantara dan membutuhkan waktu sekitar 7 tahun untuk menyusunnya. Dibutuhkan penelitian di laboratorium dan melacak pelbagai resep masakan di berbagai pelosok kota dan desa serta tentunya ahli kuliner, ahli gizi, dan pamong praja desa untuk membantu merangkum buku tersebut.[9] Namun ternyata beras masih menjadi makanan pokok kita. Entah karena tak tahu, tak paham, atau enggan mengkonsumsi sumber pangan selain beras yang ada di lingkungan sekitar?

Ditinjau dari sektor agraria, selain soal pembiayaan pertanian, Indonesia ditengarai akan menghadapi krisis petani pada 10 hingga 20 tahun ke depan. Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa jumlah petani pada 2025 nanti hanya berkisar 6 juta orang. Menurut Haning (Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI), kurang minatnya pemuda untuk bekerja di sektor pertanian disebabkan oleh lahan, biaya pertanian, hingga pendapatan yang tidak menentu. Urbanisasi yang tinggi salah satu faktor penyebabnya karena pemuda enggan bersusah payah bekerja di sektor pertanian. Peneliti Pusat Penelitian Ke-pendudukan LIPI Vanda Ningrum menambahkan, dari 71% penduduk Indonesia yang bergantung pada sektor pertanian, hanya 3% saja anak petani yang mau meneruskan pekerjaan orangtuanya di sektor pertanian. Hal ini dipengaruhi oleh modernisasi desa. Menurut Vanda, ancaman krisis regenerasi petani menyebabkan 61% petani di Indonesia usianya di atas 54 tahun dan jumlah petani pun terus menurun. Lebih jauh Vanda menerangkan, masalah yang dihadapi petani diantaranya terkait pasar, pola produksi dan kepastian pendapatan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari idealnya seorang petani harus memiliki lahan sedikitnya 9 Ha. Namun menurut Vanda, kondisi petani Indonesia saat ini hanya memiliki lahan rata-rata 0,6 Ha. Masalah krusial lagi, bahwa 97% petani Indonesia bergantung pada harga tengkulak. Hal ini, disebabkan harga dari Bulog belum menyentuh ke tengah masyarakat petani kita. Tentu saja, ini menyebabkan pendapatan petani di Indonesia menjadi kecil.[10] Lantas, bagaimana bentuk penghargaan kita terhadap jasa para petani?

Setiap masalah ada solusinya, pelbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak terkait, termasuk para peneliti yang melakukan riset dan inovasi, pejuang di sektor agraria yang mencoba mencari alternatif solusi, pemerintah yang melakukan analisis secara komprehensif sehingga dapat membuat kebijakan yang dinilai mampu mengatasi persoalan krisis, dan seterusnya. Pada dasarnya, tiap individu mampu berusaha sesuai kemampuannya masing-masing dalam menghadapi persoalan bersama ini. Dalam Islam misalnya, ibadah puasa hendaknya tidak hanya sekedar membentuk pengendalian diri pada pribadi seorang muslim, melainkan juga harus diaktualisasikan sebagai kekuatan pendorong untuk melawan faktor-faktor penyebab terjadinya krisis pangan, seperti perilaku yang tidak menyia-nyiakan kenikmatan bisa makan minum, berbagi makanan dengan yang membutuhkan, dan lainnya.[11] Selain itu, pernah dicontohkan pada masa Khalifah Umar R.A. saat terjadi krisis, beliau berhemat dan bergaya hidup sederhana, sehingga salah satunya beliau mampu merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum muslimin. Beliau kemudian mengeluarkan kebijakan dengan cepat dan tepat lewat kajian yang komprehensif. Agar kebijakannya bisa berjalan dengan optimal, khalifah mengarahkan seluruh struktur, perangkat negara, dan semua potensi yang ada untuk segera membantu masyarakat yang terdampak. Khalifah Umar R.A. juga tidak pernah berpangku tangan atau sekedar perintah sana perintah sini. Beliau mendirikan posko-posko di berbagai tempat untuk memastikan rakyat benar-benar terkontrol. Di era kekhilafahan beliau juga, Baitul mal dimaksimalkan fungsinya sehingga rakyat bisa mengambil kebutuhan pangan secukupnya. Jika persediaan Baitul mal kosong, maka akan diambilkan pajak yang tidak memberatkan dari para agniya atau orang-orang kaya, semua masyarakat didorong bersedekah untuk membantu sesama.[12] Dan masih ada lagi pelbagai ikhtiar dan do’a yang mampu kita upayakan. Wallahu a’lam bish showab.

Referensi:

[1] Kunjungi https://news.detik.com/berita/d-4999551/anggota-dpr-perlu-badan-pangan-antisipasi-krisis-di-tengah-wabah-corona

[2] Kunjungi https://majalah.tempo.co/read/opini/160223/editorial-krisis-pangan-di-tengah-pandemi-corona

[3] Kunjungi https://nasional.sindonews.com/read/8429/15/wabah-corona-pemerintah-diingatkan-soal-krisis-pangan-1587949469

[4] Kunjungi https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200503093852-93-499500/perang-lawan-corona-dan-benteng-terakhir-krisis-pangan

[5] Kunjungi https://tekno.tempo.co/read/1316095/sampah-terbesar-di-indonesia-sisa-makanan-dari-rumah-tangga/full&view=ok

[6] Kunjungi https://mediaindonesia.com/read/detail/282977-wow-1-orang-indonesia-hasilkan-sampah-makanan-300-kg-per-tahun

[7] Kunjungi https://www.suara.com/yoursay/2020/01/15/150301/indonesia-yuk-intip-fakta-fakta-sampah-makanan

[8] Policy Paper Bina Desa “Krisis Pangan dan Fenomena Negara Gagal”, editor: Sabiq Carebesth dan Syaiful Bahar

[9] Monalisa A. C., Najibah N. K.; 2017; “Kuliner Nusantara Sebagai Jati Diri Bangsa”; Karawang: Universitas Singaperbangsa.

[10] Kunjungi http://lipi.go.id/lipimedia/KRISIS-PANGAN-ANCAM-INDONESIA/19061

[12] Kunjungi http://tegas.co/2020/04/25/berita-video-krisis-pangan-di-tengah-pandemi-islam-solusinya/

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *