Sempat beberapa lama kampung Begau di Kota Banjarmasin sangat identik dengan bisnis prostitusi atau sebagai lokalisasi pemuas nafsu birahi kaum Adam. Berbanding terbalik 180 derajat dengan masa lalunya yang ternyata menyimpan catatan sejarah panjang dan Begau sesungguhnya adalah nama salah satu kampung tua yang menjadi simbol kerja keras dari pemukim awal dari Suku Dayak Ngaju.
Idwar Saleh dalam risetnya dalam buku Banjarmasih, memaparkan Kampung Begau mulai muncul dalam catatan historis sejak Abad ke 19. Pada abad ini, kebiasaan Ngayau dan sebagainya belum dapat dihapuskan di wilayah Borneo. Karena itu, kadang kadang kebiasaan ini menjadi ancaman keamanan bagi kampung-kampung di Karesidenan Borneo bagian selatan dan tengah (sekarang Kalimantan Tengah).
Kondisi tidak aman ini, membuat seorang penduduk Kampung Mandomai di Kalimantan Tengah dengan seluruh keluarganya pindah ke Banjarmasin. Kampung Mandomai yang dimaksud diperkirakan wilayah Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah sekarang.
“Migran” dari Suku Dayak ini dipimpin oleh Rajam. Rajam dan keluarganya memiliki wilayah otonom, yakni sebuah anak sungai yang merupakan bagian dari anak Sungai Martapura. Tepatnya berada di seberang Teluk Tiram. Oleh Rajam, sungai ini diberi nama Sungai Begau. Gau dalam Bahasa Dayak Ngaju artinya ‘cari’ (mencari yang belum ada). Jadi Sungai Begau artinya Sungai Bacari dalam pengertian sungai tempat mencari rezeki untuk hidup dan kehidupan.
Keterangan ini benar adanya. Sumber sezaman, Tijdschrift voor Neerland’s Indie (Jurnal Hindia Timur) tahun 1838 pun mencatat bahwa dalam tiga jam perjalanan melewati sungai akan mencapai wilayah Kampung Banjar. Cuma sebelumnya akan melewati wilayah Kampung Dayak (Daijaksche campongs) yakni Besserie (Basirih), Bagaauw (Bagau) dan Bahauer (Bahaur), yang terletak di tepi sungai.
Pada jurnal tersebut juga dipaparkan, di tahun 1838 kampung-kampung di wilayah ibukota Banjarmasin (Kota Gubernemen) adalah Kampung Cina, Kampung Loji, Antasan Besar, Amarong, dan Dekween yang meliputi Kampung Gayam, Banyiur, Antasan Kecil, Rawa Kween, Binjai, Jawa Baru, Sungai Baru, Pekapuran, Kelayan Besar, Bagau, Bahaur, Basirih dan van Thuijl. Jumlah penduduknya sekitar 3000 jiwa.
Demikian halnya dalam kamus bertitel Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie, tahun 1861 yang direpro VJ Veth tahun 1869, juga memaparkan bahwa wilayah Bagaauw (Bagau) adalah kampung yang menjadi wilayah utama di Banjarmasin.
Diperkirakan Sungai Begau, pada awal abad ke -20, menjadi tempat sakral. Wajar jika pada saat Amir Hasan Kiai Bondan dalam bukunya Suluh Sedjarah Kalimantan, memposisikan Muara Begau sebagai tempat keramat pertama dari 20 tempat khusus yang dihuni orang gaib di wilayah Banjarmasin dan sekitarnya. Dalam Peta “Schetskaart van de Hoofdplaats Bandjermasin en omliggend terrein, 1916” yang dibuat H.P. Loing, nama Begau ditulis dengan Bagao.
Dengan lokasi lumayan strategis, wilayah Begau pada masa Hindia Belanda difungsikan sebagai tempat penyimpanan bahan bakar bensin. Sebelum masuknya Jepang ke Kota Banjarmasin 8 Februari 1942, lokasi ini dibumi hanguskan sehingga menjadi lautan api. Pasar Baru, Ujung Murung, Pasar Sudimampir dan Pasar Lima dibakar. Penyimpanan bensin di Banua Anyar dan Begau pun musnah. Pada kedua wilayah ini memang menjadi tempat penimbunan kaleng-kaleng minyak tanah, minyak pelumas, bensin, serta bahan bakar pesawat. Selain itu, karet di gudang-gudang Mac Laine & Watson di Ujung Murung, bangunan Fort Tatas juga ludes dilalap si jago merah.
Dalam perkembangannya, pasca kemerdekaan, letak geografis Propinsi Kalimantan Selatan yang strategis terhadap akses perdagangan barang dan jasa antar pulau menjadikan pendorong maraknya praktek pelacuran di Kalimantan Selatan, khususnya kota Banjarmasin. wilayah Begau beralih fungsi menjadi lokalisasi. Sayangnya, belum didapatkan data pasti kapan dimulainya bisnis seksual di wilayah ini. Majalah Tempo volume 5 tahun 1975, hanya menuliskan pernyataan pejabat PLN Banjarmasin, Daud, bahwa hampir seluruh kampung di Kodya Banjarmasin sudah bermain dengan kerlap-kerlip cahaya listrik. Bahkan kompleks WTS Begau pun di tahun 1975 bakal dapat giliran pemasangan listrik.
Sementara dari Memori pelaksana tugas Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan tahun 1980, tercatat WTS di Kalimantan Selatan berjumlah 615 orang dan mucikari sekitar 100 orang. Dari jumlah ini yang terbanyak terdapat di Kotamadya Banjarmasin (Lokalisasi Begau) dan Lokalisasi Pembatuan, Kabupaten Banjar. Lokalisasi Begau mengalami kebakaran hebat dalam bulan April 1980.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1990 lokalisasi ini ditutup. Muʾman Nuryana (2003), menuturkan lokalisasi wanita tuna susila Ria Begau dilarang beroperasi mulai tahun 1990, berdasarkan Peraturan Daerah. Dari data tahun 1990, jumlah jumlah WTS adalah 287 orang dengan jumlah germo 18 laki laki dan 7 orang perempuan. Walaupun demikian, lokalisasi ini masih tetap beroperasi dalam senyap. Karena itulah, pada tahun 1991 Lokalisasi Bagau ditutup secara resmi oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Banjarmasin. Sebelumnya sempat menjadi perdebatan publik di kalangan masyarakat atas keberadaannya yang sangat bertentangan dengan masyarakat Banjar yang relijius.
Zulfaisal Putera bertanya, bisakah pelacuran dihapuskan dari bumi Antasari? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Pertanyaan ini begitu penting mengingat banua Banjar, baik secara histori maupun sosial, selama ini dikenal sebagai daerah yang masih menjadikan nilai nilai agama sebagai pijakan dalam tata kehidupan masyarakatnya. Namun, seperti di negara negara yang paling kuat agamanya sekali pun, pelacuran tetap hadir sebagai bagian dari dinamika kehidupannya.
Perbelanjaan Sentra Antasari di Banjarmasin. Kondisinya sekarang sudah semrawut. Salah satunya adalah pertokoan di lantai dua sayap kanan pasar tersebut yang selama ini dikenal sebagai Pasar Kasbah. Selain ada tukang jahit, warung makan, penjual barang bekas, dan layanan pijat tradisional, di sana juga ada praktik prostitusi. Terlihat sejumlah wanita berpakaian minim menyemut di beberapa titik hiburan karaoke. Mereka menjadikan kios-kios takbertuan sebagai kamar praktik. Beberapa dari praktek prostitusi itu kebanyakan jebolan dari Begau yang telah dibubarkan.
Kemudian, banyak pula dari jebolan Begau ini, pindah ke lokasi Pembatuan Banjarbaru dalam waktu yang cukup lama. Pembatuan bisa dikatakan telah menggantikan posisi Begau sebagai lokalisasi prostitusi terbesar di Kalimantan Selatan bahkan lebih besar daripada Begau. Zulfaisal, Desember tahun 2016 lalu di kota Banjarbaru. Saat itu, Pemko Banjarbaru melakukan pemulangan Pekerja Seks Komersial atau PSK yang selama ini berpraktik di wilayahnya ke daerah asalnya. Ada 100 PSK dari Jawa, 225 asal Kal-Sel, dan beberapa dari Kal-Teng dan Kaltara penghuni lokalisasi Pal 18, Pembatuan, dan Batu Besi yang dipulangkan dengan bantuan dana 5 juta lebih per orang untuk transport dan dana jaminan hidup. Tentu perlu kita apresiasi ikhtiar untuk membebaskan Banjarbaru dari prostitusi.
Apakah ini sudah menyelesaikan masalah? Secara kasat mata, iya. Paling tidak, sudah tidak ada lagi tempat lokalisasi di sana. Namun, apakah para PSK yang dipulangkan itu benar pulang dan pensiun. Itu soal lain. Para PSK yang praktik di Pasar Kasbah ternyata sebagian besar adalah limpahan dari penutupan beberapa tempat prostitusi di Banjarmasin, seperti komplek lokalisai Pembatuan, Ria Begau di Gang Ganda Magfirah, Tembus Mantuil, dan Losmen Sinar Dodo di Kolonel Sugiono. Belum lagi PSK pelarian dari kejaran Satpol PP di Taman Sari seberang Mahligai Pancasila.
Zulfaisal menegaskan masalah pelacuran di banua ini sama seperti yang terjadi di daerah lain di Indonesia, atau di negara mana pun, yaitu bukan sekadar masalah sosial, tetapi juga budaya. Kebanyakan wanita, atau pun pria – jangan lupa ada juga pelacur pria atau disebut gigolo – memasuki dunia prostitusi bukanlah soal kemiskinan semata, tetapi juga gaya hidup. Ada juga wanita kaya, seperti artis, yang menjalani profesi ini. Sudah sejak dulu, budaya (sex) menyimpang ini menjadi tradisi di beberapa suku dan tempat, bahkan, sekarang malah menjadi bagian dari industri jasa.
Konon, prostitusi adalah profesi tertua di dunia. Manusia (wanita) telah ditukar dengan uang dan barang untuk seks selama ribuan tahun yang lalu. Beberapa catatan dapat dibaca pada artikel yang ditulis Rudyard Kipling (1888), William Josephus Robinson pada “The Oldest Profession in the World: Prostitution” (1929), dan Joseph McCabe “The Story of the World’s Oldest Profession” (1932). Jauh sebelumnya, dalam Alkitab digambarkan tentang orang Israel yang memiliki banyak selir, bisa dianggap sebagai pelacur atau istri yang lebih rendah.
Lantas bagaimana sejarah prostitusi di Banua Banjar? Belum ditemukan hasil riset tentang ini. Jika melihat gurita pelacuran itu mulai menyebar, pada umumnya disebabkan adanya ‘permintaan’ dari para lelaki yang jauh dari keluarganya, baik karena alasan pekerjaan atau pun perjalanan, maka tentu kedatangan para penjajah Belanda pada masa lalu turut mempelopori hal ini. Dalam sebuah catatan disebutkan, tahun 1876, Pemerintahan Belanda pernah mendirikan rumah rakit khusus Pelacur di Banjarmasin karena mewajibkan para pelacur memeriksa kesehatannya ke dokter setiap pekan.
Kita boleh menyatakan bahwa prostitusi itu perbuatan terkutuk, penyakit masyarakat (Pekat), bahkan dengan usaha mengganti beberapa kali istilah pelacur, menjadi Wanita Tuna Susila (WTS), Pramunikmat, sampai PSK, maka selama ada demand, supply pelacur masih ada. Yang perlu dipulangkan sebenarnya bukan hanya fisik para PSK itu, tetapi sifat ‘lacur’, atau buruk laku, manusia, pemakai atau pun penyedia. Dan ini bukan pekerjaan mudah. Bisa jadi sampai kiamat pun tak akan bisa. Tersebab, yang bisa mengubah sesuatu yang sudah menjadi budaya itu hanya satu, yaitu hijrah atau kematian.
No responses yet