Tersebutlah di dalam manuskrip Salasilah Raja-Raja Kutai bahwa Islam masuk ke Kutai sekitar tahun 1604 M, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Makota. Manuskrip berhuruf Arab itu ditulis oleh Tuan Chatib Muhammad Tahir dari Banjar (Kalimantan Selatan) dan selesai pada hari Jumat tarikh 30 Rabiul Awal 1265 H. Di dalam manuskrip itu tertera nama Tuan Tunggang Parangan sebagai ulama yang berhasil mengislamkan raja Kutai yang berkuasa saat itu.
Kitab Salasilah Raja-Raja Kutai menyebutkan bahwa selang beberapa waktu setelah naik tahta, Maharaja Makota kedatangan dua orang ulama, yakni Tuan Tunggang Parangan dan Tuan Ri Bandang Mangkasar. Mereka berdua berhijrah ke Kutai seusai mengislamkan orang-orang di Makasar. Setelah beberapa waktu berada di Kutai, tersiar kabar bahwa orang-orang Makasar kembali kufur, maka Tuan Ri Bandang Mangkasar bergegas balik ke Makasar untuk mengajak kembali orang-orang memeluk Islam dengan meninggalkan Tuan Tunggang Parangan seorang diri di Kutai.
Nama asli Tuan Tunggang Larangan adalah Habib Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya lahir di Tarim Hadramaut Yaman Selatan. Ia dikenal memiliki pendirian kuat dan keras dalam menegakkan syariat Islam. Berbekal ilmu yang luas, ia kemudian keluar dari Hadramaut dan mengembara ke pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Di Sulawesi Habib Hasyim bertemu dengan seorang ulama berasal dari Kota Tengah Kampar, Riau yang telah lama menetap di Sulawesi bernama Khotib Tunggal Abdul Makmur atau yang lebih tersohor dengan gelarnya Dato Ri Bandang. Dari Sulawesi Habib Hasyim lalu menuju negeri Matan (Ketapang) Kalimantan Barat. Disini Habib Hasyim dikenal dengan gelar Habibi Tunggang Parangan dan mendapatkan sebutan Tuan Janggut Merah.
Habib Hasyim bin Musyayikh bin Abdullah bin Yahya, dinamakan Tuan Tunggang Parangan sebab tatkala datang ke tanah Kutai di Tepian Batu Jahitan Layar, ia menunggang Jukut Parangan (Hiu Parangan) yang membuat orang banyak terheran-heran. Saat itu, Tuan Tunggang Parangan langsung masuk ke dalam istana menemui Raja Makota dan berseru:”Aku datang kemari hendak membawa Baginda kepada jalan yang suci, menjadi raja yang diridhoi Allah Ta’ala dalam memerintah para hamba Allah. Raja adalah bayang-bayang Allah Ta’ala di muka bumi. Jadilah baginda sebagai raja di dunia dan raja di akhirat kelak!”
“Hendaknya baginda masuk Islam, karena orang Islam kalau mati mendapatkan surga, apalagi kalau ia adalah raja yang adil seperti Baginda. Adapun orang kafir yang makan babi, bila mati ia dijebloskan ke dalam neraka dan menjadi bahan bakar api neraka.”
Raja Makota menjawab:”Tuan itu katanya orang Islam, lalu apa kesaktian tuan? Jika kesaktian saya kalah oleh kesaktian tuan, maulah saya menurut perkataan tuan. Namun jika saya tidak kalah, maka saya takkan mau menurut.”
’’Baiklah, apa kesaktian Baginda? Keluarkanlah!’’ tantang Tuan Tunggang Parangan.
Raja Makota berkata, ’’Saya hendak menghilang. Cobalah tuan cari saya!’’ Kemudian Raja Makota tiba-tiba menghilang dari pandangan mata. ’’Ayo, carilah saya tuan!’’ terdengar suara Raja Makota. Segera Tuan Tunggang Parangan bergeser tiga belas langkah dan berkata, ’’ Aku sekarang berada di belakang Baginda.’’ Raja Makota menoleh ke belakang, dilihatnya memang benar Tuan Tunggang Parangan berada tepat di belakangnya. “Ada satu lagi kesaktian saya. Jika kali ini saya kalah, maka saya benar-benar akan mengikuti ajaran tuan,” kata Raja Makota. “Silakan baginda kerahkan,” jawab Tuan Tunggang Parangan.
Kemudian di hadapan rakyatnya, Raja Makota berdiri tegap sembari bersedekap tangan. Ia kemudian mengambil sesuatu dan menutup sesuatu itu dengan telapak tangannya. Ajaib, dari telapak tangan Raja Makota keluarlah bara api. Api itu terus membesar hingga membuat rakyat Kutai yang menyaksikan menjadi ketakutan. “Bisakah tuan membawa api saya ini?” Kali ini Raja Makota menantang Tuan Tunggang Parangan dengan kepercayaan diri tinggi. Ia yakin bahwa kesaktiannya yang satu ini takkan bisa dikalahkan.
Tuan Tunggang Parangan bersikap tenang-tenang saja. Ia turun ke sungai, mengambil air wudhu, lalu melakukan salat dua rakaat. Tiba-tiba turunlah hujan yang tiada terkira lebatnya dan nyaris menenggelamkan kerajaan Kutai. Rakyat Kutai panik dan tunggang langgang berlarian. Mereka segera mencari tempat yang tinggi untuk berlindung. “Keluarlah engkau wahai Tuan Tunggang Parangan!” Raja Makota berteriak. Maka muncullah Tuan Tunggang Parangan dari dalam air kemudian berenang dari hulu menuju hilir.
Ia menghampiri Raja Makota dan api yang tadinya menyala-nyala itu kini telah padam. “Bagaimana baginda? Jadi ikut saya atau tidak?” bisik Tuan Tunggang Parangan. Raja Makota mulai bimbang. “Bila tidak menuruti permintaannya, niscaya aku beserta rakyatku bakal binasa,” pikir Raja Makota. “Baiklah, saya menuruti tuan, akan tetapi saya mohon diberi waktu sampai saya selesai menghabiskan daging babi yang tersimpan di tempayan beserta seluruh babi saya yang ada di dalam kandang.”
Dengan penuh kearifan, Tuan Tunggang Parangan menerima permintaan penangguhan dari Raja Makota. Pada saat yang sama, ia minta dibangunkan sebuah Langgar. Raja Makota segera menitahkan para bawahannya untuk mendirikan langgar bagi Tuan Tunggang Parangan. Setelah bangunan langgar itu selesai, Tuan Tunggang Parangan pun bermukim di sekitarnya. Ternyata membutuhkan waktu yang lama bagi Raja Makota untuk menghabiskan seluruh persediaan babinya. Meski begitu, janji raja yang satu ini tak meleset.
Ia segera menemui Tuan Tunggang Parangan ketika babi-babinya telah habis dilahapnya. Tuan Tunggang Parangan membimbing Raja Makota mengikrarkan dua kalimat syahadat dan mengajarinya Rukun Islam beserta Rukun Iman dengan lemah lembut. Kemudian Tuan Tunggang Parangan mendoakan raja dengan keberkahan dan keselamatan dari segala mara bahaya.
Setelah memeluk Islam, Raja Makota kemudian menyebarkan Islam kepada seluruh rakyatnya. Ia juga mengajak negeri-negeri di sekitar Kutai untuk memeluk Islam. Ia tak canggung untuk memerangi negeri yang menampik ajakannya. Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (1635-1650), salah seorang cucu Raja Makota, meneruskan perjuangan sang kakek dalam menyiarkan ajaran-ajaran Islam. Belakangan ia berhasil menaklukan Martapura, sebuah kerajaan Hindu kuno yang sangat kuat dan tangguh ketika itu.
Pengaruh Islam di bumi Kutai mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Raja Kutai yang kedelapan. Ia menjadikan Kesultanan Kutai sebagai negara monarki berkonstitusi dengan lahirnya Undang-Undang Dasar Panji Selaten dan Undang-Undang Beraja Nanti. Menurut Undang-Undang Dasar Panji Selaten, kesultanan Kutai menerapkan hukum Islam dan seorang raja yang hendak naik tahta akan bersumpah terlebih dahulu sesuai syariat Islam.
Diceritakan pula bahwa sebelum kedatangan Habib Hasyim di tanah Kutai pada abad ke-16, Islam pernah masuk ke pedalaman Kutai dibawa oleh saudagar-saudagar Arab, di antaranya Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar Al-Marzak, seorang ulama dari Minangkabau. Ulama-ulama tersebut belum berhasil membujuk Raja yang bertahta ketika itu untuk memeluk agama Islam.
Habib Hasyim bin Musyayakh wafat sekitar tahun 1157 H, bertepatan dengan 1736 M. Ia dimakamkan di Tepian Batu negeri Jahitan Layar atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Kutai Lama di pemakaman Raja-raja Kutai Kartanegara. Allah Yarham.

No responses yet