Secara sederhana ekspresi adalah tampilan luar dari refresentasi dari kombinasi kehendak dalam yakni rasa, pikiran dan hati nurani. Dalam konteks NU kultural di sini, ia merupakan wujud dari pemikiran teologi Aswaja yang sudah berdialektika dengan khazanah lokal dan keadaan lingkungan tempatan. Tak terhitung ekspresi NU kultural di Kalimantan Selatan yang mengejewantah dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Di sini, kiranya aku hanya menggelarkan 4 hal saja yang kuanggap penting karena sebagai pilar-pilar penyangga seluruh bangunan ekspresi yang ada.
1. Tradisi Belajar Kitab Kuning
Kitab Kuning adalah kitab yang terkadang lembaran kertasnya kebanyakan memang berwarna kuning. Ia juga sering disebut sebagai Kitab Gundul karena tulisan di dalamnya tanpa harakat (tidak ada baris) sama sekali. Menurut Martin van Bruinessen Kitab Kuning bisa berbahasa Arab atau termasuk juga Arab Melayu, tapi tidak sembarangan kitab melainkan kitab yang tergolong mu’tabarah semisal Al’Um, Ar-Risalah (Imam Syafi’i), Al-_Ibanah, Al-Maqalat (Imam Abul Hasan Al-Asy’ari), Minhajul Abidin, Bidayah wal Hidayah, Ihya Ulumuddin (Imam Ghazali), Sabilal Muhtadin, Luqthatul Ajlan, Kitabun Nikah, Risalatul Faraid wal Ishlah, Risalah Fatwa Syekh Athaillah, Risalah Fatwa Syekh Sulaiman Kurdi, Risalah Ilmu Falak, Kitab Hasyiyah Fathul Jawad, Risalah Bulughul Maram, Risalah Tuhfah Al-Ahbab, Risalah Ushuluddin, Risalah Tuhfatur Raghibin, Risalah Qawlul Mukhtasyar, Risalah fi Bayan Al-Qadla wal Qadr, Risalah Majmu’, Risalah Fathurrahman, Risalah Kanzul Ma’rifah, Risalah Al-Mubtadi wa Umdah Al-Awlad, Risalah Arkanut Ta’lim, Mushaf Alqur’anul Karim (Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari), Hidayatus Salikin, Siyarus Salikin (Syekh Abdussamad Al-Palembani), Amal Ma’rifah, Asrarus Salah (Syekh Abdurrahman Siddiq), Durrun Nafis (Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari) dan lain-lain.
Untuk mendalami Kitab Kuning ini, masyarakat Kalimantan Selatan harus menempuhnya pada tiga pilihan jalur lembaga pendidikan yakni pertama, lembaga pendidikan non-formal Mangaji Baduduk, Pangajian Langgar Baloteng dan Majelis yang biasanya tanpa kurikulum, jenjang dan ijazah. Kedua, lembaga pendidikan semi-formal Pondok Pesantren yang sudah punya kurikulum, jenjang dan ijazah. Ketiga, lembaga pendidikan formal Sekolah Arab atau Madrasah yang Kitab Kuningnya sudah banyak diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan sudah bercampur Kitab Putih. Ulama atau Tuan Guru atau Mu’allim yang menjadi benteng Aswaja di Kalimantan Selatan kebanyakan lahir dari Mangaji Baduduk dan Pondok Pesantren atau gabungan keduanya. Seperti Pondok Pesantren Dalam Pagar, Darussalam (Martapura), Rakha (Amuntai), Ibnul Amin (Pamangkih), Al-Falah (Landasan Ulin), Ubudiyah (Bati-Bati) telah banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama Banjar yang menjadi pemimpin informal di masyarakat. Demikian juga Majelis Guru Sakumpul telah juga menelorkan ulama-ulama Banjar yang hebat seperti Guru Zuhdi (alm, Banjarmasin), Guru Danau (Amuntai), Guru Sa’dudin (Martapura), Guru Saifuddin (Banjar Indah), Guru Kapuh, Guru Syairazi (Kandangan), Guru Kulur (Rantau), Guru Udin (Samarinda). Jarang sekali terjadi Tuan Guru lahir dari Madrasah, kecuali ia menambah ilmu lewat Mengaji Baduduk atau mengaji di Pondok Pesantren. Kalau tidak, paling ia akan jadi ustadz dan cendikiawan muslim.
2. Tradisi Khalwat
Konon, daerah Kalampayan yang sekarang menjadi kawasan kubah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, dahulu menjadi tempat pendidikan takhassus bagi murid-murid Dalam Pagar yang punya bakat istimewa dalam bidang ruhani. Di sini dibangun pondok-pondok menjadi semacam Ribath atau Zawiyah untuk melakukan riyadlah (latihan ruhani), tirakat, uzlah (pengasingan diri), suluk dan khalwat terutama menyelami ilmu tasawuf untuk mengalami ma’rifat dan merasakan hakikat kebenaran. Hampir semua orang yang menjadi Wali, Ulama dan Salihin menempuh jalan khalwat ini. Apalagi bagi penganut tarekat bisa dikatakan sebagai suatu kewajiban dilakukan. Bagaimana tidak, seorang salik harus melakukan perjalanan suluk hingga mencapai tingkat washil. Guru H. Bakran ayah Tuan Guru H. Zainal Aqli, Jl. Dahlia Gg. Budaya melakukan khalwat di kubah Syekh Abdul Hamid (Datu Abulung) Sungai Batang, Martapura selama 40 hari untuk mendapat limpahan ilmu secara langsung di alam ruhani. Kata Guru Sakumpul paman beliau yakni Tuan Guru Samman Mulia hampir separu hidupnya selalu berpuasa yang sahur dan berbukanya masing-masing hanya memakan tiga buah pisang mauli. Kemudian, dalam Tarekat Sammaniyah dari Guru Sakumpul, mendawamkan amaliyah sehari-hari sehabis salat Subuh dengan tata cara khusus, membaca Astagfirullah Innallaha Ghafurur Rahim 70 atau 100 kali, Lailaha Illallah, 177 kali, Allahu Allah (satu nafas), 33 kali, Huu Huu (satu nafas), 70 kali, Sholawat Ummi, 70 atau 100 kali. Berikutnya dalam Tarekat Tuan Guru H. Muhammad Nur, Takisung, sebelum memasuki suluk dari murid-murid yang terpilih harus tirakat dulu selama 3 tahun dengan puasa mutih, yakni sahur dan berbukanya hanya makan nasi putih dan air tawar (banyu putih). Sesudah itu, baru bisa mulai melakukan suluk yang berjumlah 7 tingkat. Pada suluk 1, jumlah zikir yang dibaca laa Ilaha illallah 5000 kali, suluk 2, 10.000 kali, suluk 3, 20.000 kali, suluk 4, 40.000 kali, suluk 5, 80.000 kali, suluk 6, 160.000 kali dan suluk 7, 320.000 kali dengan tata cara duduk kebalikan posisi duduk tahiyyat akhir. Banyak lagi, kalau direnteng, ulama Banjar yang melakukan khalwat ini. Mereka ini menjadi tokoh-tokoh NU kultural bahkan menjadi barisan poros langit atau pelindung spiritual NU yang sebenar-benarnya menjaga dan merawat NU dari balik layar. Lebih dari itu, mereka-mereka ini di malam gelap sepi selalu berdoa kepada Allah untuk kejayaan NU.
Khalwat tidak selalu bertahun-tahun dan bertentu 40 hari, bisa 30, 25, 21, 15, 10, 7. dan 3 hari, tapi Hadis Nabi menyatakan sempurnanya khalwat itu 40 hari. Kemudian, khalwat ini, tak semata-mata menyelami kedalaman ilmu tasawuf, tapi juga untuk memperoleh kedigjayaan (termasuk rajah, wifiq, hizib, ratib dan wirid) dan kesaktian yang putih, ilmu pengobatan herbal dan banyu tawar, ilmu bela diri dan keindahan seni serta menemukan berbagai ilmu ilhami/ladunni dan menembus berbagai lapisan alam gaib.
3. Tradisi Dakwah yang Ramah
Da’i atau Muballig dalam masyarakat Banjar disebut sebagai Penceramah atau Pembacaan yang isi materinya ceramah atau bacaan. Sejak dahulu Penceramah yang ada di Kalimantan Selatan ini, pada umumnya menceramahkan ajaran Islam yang ramah dengan cara santun. Nyaris tidak ditemukan dalam masyarakat Banjar, Penceramah Islam garis keras, baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Mereka rupanya sangat menghayati firman Allah :
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظةالحسنةوجادالهم بالتى هي احسن ان ربك هو اعلم بمن ضل عن سبيله وهو اعلم بالمهتدين (النحل.١٢٥ )
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang dan bantahlah mereka dengan cara terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(Q.S. An-Nahl 125).
Untuk menjaga keramahan dan kesantunan dalam berdakwah terkadang penceramah Banjar menggunakan dan memanfaatkan kearifan lokal Banjar. Dalam catatan sejarah Islam Banjar, Datu Sanggul dikenal sebagai penceramah atau pendakwah yang menyebarkan Islam di daerah Tatakan, Rantau, yang banyak menggunakan seni pantun/syair Banjar. Sebagai contoh, misalnya aku cuplikan dua bait pantun atau syair Saraba Ampat, “Mani manikam mani wan mazi//Titis-manitis jadi-manjadi//Si anak Adam balaksa hati//Hanya nang tahu Allahu Rabbi//Ka ampat-ampatnya kada tapisah//Datang wan bulik kepada Allah//Asalnya awak daripada tanah//Asalnya tanah sudah disyarah//. Datu Kalampayan (Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari) yang terkenal sebagai ulama tingkat internasional dari Martapura, dalam dakwah bil kitabah (tulisannya)-nya terutama pada Kitab Sabilal Muhtadin dan Risalah Tuhfatur Raghibin, banyak mengapresiasi dan memuat kebudayaan Banjar dan lingkungan masyarakatnya. Hal ini dikemudian hari diikuti oleh generasi penceramah lebih belakangan semisal Guru Sakumpul (alm) yang dalam ceramahnya sering menggunakan dialek Bahasa Banjar Muara (Kuala) khas Martapura, sedikit kisah dan lawakan cerdas, dicampur acara Maulid Habsyi yang diiringi seni Tarbang. Demikian juga dengan Guru Bakry (alm), penceramah sangat kondang pada zamannya banyak menggunakan dialek berbagai dialek Banjar Hulu yang berbumbu mahalabiu, pander mawarung, plesetan dan banyak lawakan terkadang sedikit porno yang membuat jamaah tertawa terpingkal-pingkal dan senyum dikulum.
Generasi berikutnya atau generasi sekarang ini, para penceramah masih bisa mempertahankan dakwah yang ramah, tapi tetap mengikuti isyarat zaman yang selalu berubah dan berkembang. Seperti Guru Zuhdi (alm) di Banjarmasin, ceramahnya banyak dihadiri generasi muda milenial yang mengidolakannya, karena ia bisa menangkap bahasa dan kejiwaan anak muda yang senang terbuka, terus terang, sederhana, simpel tak sampai bapicik kapala, ada sedikit humor dan mahalabiunya dan lain-lain. Lebih dari itu, ia sangat menyelaminya jiwa anak muda dengan ikut terlibat dalam kepanitiaan Haul Guru Sakumpul, pada bagian pangawahan dan aktif di kegiatan pemadam kebakaran. Sementara Guru Bakhiet di Barabai dengan bahasa Indonesia ala Banjar telah merebut hati kaum menengah ke atas masyarakat Banjar, bahkan menembus kancah masyarakat Nusantara. Sedangkan, Guru Danau yang terkenal sebagai ulama yang kaya-raya dari Amuntai sampai Tanjung, ceramahnya yang banyak menggunakan bahasa arkais Banjar Hulu ditambah humornya yang lucu banyak diminati kelas menengah ke bawah dan kelas akar rumput. Demikian juga, dengan Guru Kapuh, Guru Syairazi di Kandangan dan Guru Kulur, di Rantau mirip-mirip tiga tokoh di atasnya. Selain itu, banyak lagi penceramah lain yang tidak mungkin di renteng di sini, yang jelas mereka semua bisa dianggap sebagai penceramah yang mendakwahkan Islam yang ramah dan dengan cara santun.
Hal ini tergelar, di samping karena ayat dakwah di atas, juga berbasis pada kitab kuning. Namun bukan sama sekali tidak menggunakan dan mengabaikan Alqur’an dan Alhadis, justru dengan kitab kuning pemahaman terhadap keduanya, sangat mendalam, luas dan konperehensif. Bukankah kitab kuning itu merupakan akumulasi dari warisan pemahaman Alqur’an dan Alhadis dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi ? Hebatnya lagi yang merujuk kepada kitab kuning itu tidak hanya para penceramah yang kondang disebutkan di atas, penceramah kelas kampung saja juga sudah menggunakannya, meskipun hanya kitab kuning tingkat elementer (mubtadi). Aku pernah melakukan penelitian pada penceramah-penceramah di kampung Teluk Tiram Banjarmasin. Dalam penelitian itu, aku memperoleh temuan, pada umumnya mereka dalam isi ceramahnya menggali dan bersandar dari Kitab Irsyadul ‘Ibad, Durrotun Nashihin, Hidayatus Salikin, Parukunan Basar, Parukunan Natsar, Al-Adzkar, Tuhfatur Raghibin dan semacamnya.
4. Tradisi Amaliyah Kaum Tuha
Ada amaliyah Kaum Tuha yang khas, dan bukan suatu yang baru, sudah terjadi sejak dahulu yang disebut sebagai “khilafiyah furu’iyah”, yakni perbedaan pada cabang, tidak pada ushul yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Kalau dipersoalkan sungguh akan membuang-buang waktu dan energi serta akan membuat perpecahan saja. Karena antara yang mempertahankan dan yang mempersoalkan tidak akan mencapai titik temu, sebab masing-masing punya dalil, alasan dan pendirian sendiri yang sama kuat dan kokoh. KH. Siradjuddin Abbas dari Padang, Sumatera Barat, seorang tokoh Islam PERTI pernah mengumpulkan persoalan sejumlah 40 masalah yang menjadi khilafiyah furu’iyah antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Di antaranya, Bersyair dalam Peringatan Maulid Nabi, Ziarah Kubur, Tahlilan, Haul, Qunut Salat Subuh, Adzan Dua Kali dalam Salat Jum’at, Tarawih 20 rakaat, Selamatan, Wirid ba’da Salat Wajib Lima Waktu, Azimat, Rajah, Wifik, Wali Berkeramat, Tarekat, Batarbang dan semacamnya.
Demikianlah ekspresi dari wajah NU Kultural di Kalimantan Selatan yang mungkin masih kurang lengkap. Bisa jadi sebenarnya, lebih dari empat dengan adanya perkembangan baru yang belum teragendakan. Aku mengumpulkan empat hal ini saja nampak atau terkesan kekurangan bahan dan seperti kekeringan sumur ide. Namun paling tidak ini sudah bisa sedikit memotret ekspresi wajah NU Kultural Kalimantan Selatan, kendatipun tidak pada spektrum yang luas. Perlu aku tegaskan, empat tradisi ini merupakan satu kesatuan sistem yang tak terpisahkan satu sama lain. Suatu ekosistem yang mempunyai hubungan mutual-simbiotik yang saling menghidupi, mengisi, memperkuat dan memperkaya sekaligus bisa saling merugikan, melemahkan, menafikan dan mematikan. Sebagai entitas ia bisa dibedakan, tapi tak bisa dicerai-beraikan, karena ia merupakan satu kesatuan mata rantai yang bersambungan satu sama lain.
No responses yet