Tangeran Selatan, jaringansantri.com – Faktor terbesar dari intoleransi adalah kebencian.  Terutama kebencian terhadap kelompok lain yang tidak disuka. Ini adalah bagian dari kesimpulan isi buku berjudul “[In]toleransi – Memahami Kebencian & Kekerasan Atas Nama Agama” yang ditulis oleh Alamsyah M. Djafar.

Bersama Zainul Milal Bizawie, Alamsyah M. Djafar mendiskusikan buku tersebut di Sekertariat Islam Nusantara Center (INC), Sabtu 11 Agustus 2018.

Alamsyah mengatakan bahwa buku ini berisi kumpulan dari tulisan panjang yang ia tulis. “Menyangkut tema-tema yang tidak jauh dengan apa yang saya geluti di Wahid Foundation ß dan lembaga lainnya yang terkait,” katanya.

“Yaitu tentang toleransi, sosial keagamaan, kekerasan agama, juga termasuk di dalamnya tulisan saya mengenai Gus Dur, ekstrimisme kekerasan dan faktor-faktornya,” imbuhnya.

Menurut alumni Pesantren Ash-Shiddiqiyah ini, “toleransi yang kita baca dalam kajian-kajian kita bisa menemukan suatu definisi yang umum. Yaitu Sikap yang menghargai hak-hak dasar kepada kelompok lain, terutama kelompok yang tidak disukai,” jelasnya.

Toleransi berhubungan dua hal, yaitu pertama, perbedaan di tengah masyarakat, kedua tentang ketidaksetujuan. “Kalau tidak ada dua hal tersebut,maka toleransi tidak relevan lagi. Karena toleransi itu ada setelah itu diuji dengan dua hal tersebut,” katanya.

Selain menghargai hak-hak dasar, kata kunci yang kedua dalam toleransi adalah perluasan terhadap hak-hak dasar. Alamsyah mencontohkan, mengenai hak sipil politik yang didalamnya ada hak beragama dan berkeyakinan. Kemudian hak ekonomi sosial budaya, hak atas tanah adat dll.

Orang di luar sana, menganggap NU itu toleran. Tapi mengapa beberapa kasus mereka intoleran terhadap isu Ahmadiyah, Syiah dll. “Dari sini apakah kita bisa katakan NU intoleran? Tidak juga. Karena toleransi itu bergradasi,” katanya.

Ia melanjutkan “Kalau selama ini orang memahami intolerani ini negatif. Tetapi dalam kacamata yang berbeda, intoleransi itu seperti konflik. Yaitu suatu fase dimana orang mau masuk menjadi yang lebih toleran.”

Dosen UIN Jakarta ini mencontohkah, bahwa untuk menjadi toleran kadang perlu melewati konflik-konfik tertentu untuk menuju perubahan. Ketika masih nyantri di Jakarta Alamsyah mengalami sendiri fase-fase sikap intoleran. Tapi kemudian ada perkembangan sikap setelah banyak bergaul lebih luas.

Ada studi yang menarik tentang intoleransi yang dilakukan oleh warga Palestina pada Israel. Di sini diuji  kasus intoleransi kelompok dengan tiga kata kunci, yaitu kebencian, perasaan khawatir dan perasaan terancam.

Setelah diuji, bahwa faktor utama dari intoleransi adalah kebencian terhadap kelompok tertentu. Apakah level keberagamaan mempengaruhi terhadap sikap intoleransi. Level keberagamaan itu berpengaruh dalam meningkatnya kebencian, lalu lahir tindakan intoleransi.

“Dari membaca ini, saya mempunyai analisis, terhadap kasus Ahok. Kira-kira saya mungkin bisa marah terhadap Ahok, tapi tidak melakukan tindakan intoleransi karena tidak ada perasaan kebencian,” ujarnya.

Selanjutnya, kenapa sekarang banyak orang yang benci terhadap Komunis atau PKI, terhadap etnis china. Padahal mereka belum pernah tatap muka dan bertemu. “Jika mereka sudah bertemu, mungkin kebencian berkurang,”

Alamsyah menyimpulkan disebut ujaran kebencian karena menyangkut identitas sebagai entitas yang dilindungi oleh negara. Seperti agama, etnis,dll.

Intoleransi dan Radikalisme

Perbedaan intoleransi dengan radikalisme atau kekerasan agama, adalah kekerasan, ini kata kuncinya. Alamsyah mengatakan “intoleransi itu jauh lebih sulit, karena ia bergerak dalam situasi yang kadang-kadang samar.”

Ini membuat jadi lebih rumit, berbeda dengan radikalisme atau ektrimisme kekerasan jelas ada fakta kekerasannya. Tidak setiap orang intoleran itu akan menjadi radikal. Tapi hampir dipastikan orang-orang yang melakukan tindakan radikalisme atau kekerasa itu diawali oleh sikap intoleransi.

Faktor yang menjadikan ada kekerasan agama di banyak tempat, ada du level. Level pertama, struktural yaitu kebijakan negara terhadap pengelolaan konflik. Kedua, respon masyarakat sipil terhadap perbedaan yang terjadi di tengah mereka.

Contoh Ahmadiyah, terjadi karena diendors oleh kebijakan yang menyebabkan kekerasan, misalnya SKB Tiga menteri, fatwa MUI, dll. Kemudia di Jawa Timur ada surat tentang kewaspadaan terhadap aliran sesat. Belum lagi ada terjadi karena deskriminasi aparat negara, dan lain sebagainya.

Di level masyarakat terjadi kedewasaan masyarakat menyikapi perbedaan. Misalnya, “bagi saya pidato Ahok di Pulau seribu bukan penodaan agama. Tapi penafsiran terhadap ayat. Tapi kalau pidatonya membuat marah orang Islam itu iya. Tapi tidak setiap yang membuat marah bisa dikatakan penodaan agama.” Kata Alamsyah yang sudah tiga kali mengisi kajian di INC ini.

Menjadi pembanding, Zainul Milal Bizawie atau Gus Milal  berkomenter “buku ini penting sekali dalam membahas toleransi. Berbeda dengan buku-buku yang lain, karena berisi mendasarkan pada data-data dan riset yang valid.”

Bahwa ada tingkatan dalam intoleransi dan hubungannya dengan kekersan atas nama agama itu benar. Lalu faktor “kebencian” yang tadi diungkap menjadi faktor utama radikalisme. Karena faktor kebencian ini, menurut Gus Milal, bisa disebut doktrin yang sangat cepat dalam melahirkan ekstrimisme bahkan tindakan terorisme.

Gus Milal setuju, otoritas pemerintah perlu mengurangi kebijakan yang memicu kebencian antara kelompok masyarakat. Dan faktor lain yang juga penting dalam melahirkan kebencian adalah keadilan. “Di sini konsep ar-rahmah dalam islam penting untuk diterapkan,” pungkasnya.(Aditia Wibisono).