Tangerang Selatan, jaringansantri.com – Ada tiga faktor yang memicu perdebatan tentang Islam Nusantara di media sosial. Hal ini disampaikan oleh M. Ghozi Alfatih dalam diskusi Islam dan Kebangsaan di Islam Nusantara Center (INC) pagi ini. Sabtu, 11 Agustus 2018.

“Jika saya amati ada tiga faktor yang saya amati, yang menjadi pemicu perdebatan Islam Nusantara di Media Sosial,” ujar Ghozi.

Tiga faktor tersebut antara lain, pertama, perbedaan isltilah yang sifatnya semantik. Kedua, perbedaan yang sifatnya ideologis, perbedaan nilai-nilai ideologi. Ketiga, perbedaan kepentingan.

Sayangnya, lanjut Ghozi, perdebatan di media sosial, yang sifatnya semantik itu sedekit. Termasuk perbedaan yang bersifat ilmiah itu sedikit. Perbedaan ideologi dan kepentinga lebih mendominasi.

Perbedaan yang bersifat ideologis lebih penting, karena perbedaan semantik hanya masalah bahasa saja. Kenapa kok pake istilah Islam Nusantara, tidak Islam Rahmantan lil alamin atau Islam aswaja, Islam moderat.

“Ini sangat mudah untuk dibantah. Perdebatan akan mengeras ketika mengarah pada sisi ideologis,” kata asisten alm. KH. Hasyim Muzadi ini.

Secara ideologis, penentang konsep Islam Nusantara salah satunya banyak datang dari kelompok Islam yang mengusung ideologi transnasional. Dan Islam nusantara muncul salah satunya untuk menghadapi ideologi transnasional ini.

“Biasanya polemik ini tidak berujung. Berbeda jika pemicunya lebih pragmatis. Anda bisa cermati para bazer atau akun-akun tidas jelas,” tandasnya.

Ghozi menambahkan “Saya kadang cermati, akun-akun yang menyerang Islam Nusantara secara pragmatis. Saya buka profilnya, satu jam setelah bicara Islam Nusantara. Mereka bicara ngelantur, berbicara hubgan asmara tidak jelas. Ini akun abal-abal bazer.”

Bagaimana menyikapi perbedaan yang sifatnya ideologis. Tapi sebenarnya hanya kepentingan pragmatis. “Bazer ini memang pekerjaan, ya kita maklumi. Mereka datang mengacak-acak lalu pergi,” katanya.

70 % perdebatan di media sosial kebanyakan berisi hujatan dan caci maki. Jika kita masuk dengan cara yang sama, mencaci, menghujat, maka akan membuang-buang waktu dan tidak bermanfaat.

Panen Kebencian

Masalahnya, kelompok yang menyerang konsep Islam Nusantara terorganisir secara rapi.  Menurut Zainul Milal, mereka lebih militan, semangat kelompoknya lebih kompak. Ketika diserang mereka saling membantu. Militansi ini terbentuk karena tekanan yang kuat. Seperti NU zaman orde baru.

“Karena itu diperlukan, suatu tim yang militan untuk mengcover gerakan mereka. Jika dibiarkan propaganda mereka mengarah atau memicu perbenturan antara kelompok Islam. Ini bisa menjadi panen kebencian,” kata Gus Milal.

Sekarang, konteknya adalah politik. Polarisasi yang terbentuk mengarah pada dukung mendukung politik. Ini harus diwaspadai.

Penulis buku Masterpiece Islam Nusantara ini mengatakan “Kita harus menggeser, wacana Islam Nusantara ini menjadi wacana akademik yang ilmiah. Islam Nusantara perlu dikemas dengan lebih baik dengan tujuan yang baik,”ujarnya.

Perdebatan di media sosial, jika kita belum mampu secara ilmu atau hanya perdebatan istilah saling mencaci yang tidak penting. Tidak perlu ditanggapi. Jika memandang perlu, lakukan dengan cara persuasif dan santun.

“Kenapa Islam Nusantara diserang, karena Islam Nusantara membawa kebangsaan. Membawa kampanye kembali pada peradaban Nusantara dan menguatkan nasionalisme,” pungkasnya.

Islam Nusantara Center, sedang berupaya menggali khazanah keilmuan Nusantara. Dan turut membangun metodologi yang lebih kokoh. Agar Islam Nusantara bisa diterima oleh berbagai kalangan dengan baik. (Damar Pamungkas)