Nikita Mirzani menjual selangkangan, Firaun menjual kekuasaan, Haman menjual ilmu dan Bal’am jual agamanya : kelimanya sama : pelacur. 

Dan Tuhan pun mengirim nasehat dengan bahasa kaumnya—

*^^^^*

Politik, kekuasaan dan uang. Jangan mimpi jadi politisi kalau tak punya uang. Dengannya kekuasaan berkelindan saling menguatkan. Uang, kekuasan dan ilmu (ideologi) saling menyokong dan menguatkan dan menjadi lebih mengerikan ketika agama dimasukkan. 

Tidak boleh kah jual agama ? Satu pertanyaan klise. Tapi dengan apa seseorang menjual agama— mungkin agama seperti pedang, jadi bergantung siapa yang pegang. Agama jadi bahan bakar yang menggerakkan sebab itu lantas dipertaruhkan. Bahkan semakin kabur siapa yang sedang dibela: agama atau Bal’am yang butuh pembelaan? Jadi sebenarnya bukan Islam atau agama yang dibela tapi Bal’am. 

Godaan kekuasan memang menggiurkan. Maka banyak yang tak perduli dengan cara apa kekuasaan diraih. Yang penting berkuasa dan bisa bertahan lama. Sampai kemudian ambruk dan dihinakan. Kongsi antara uang, kekuasaan dan ideologi adalah niscaya. 

*^^^^*

Saya bukan tak suka dengan kekuasaan — tapi Kyai Dahlan menggariskan bahawa pergerakan yang didirikannya ini bukan di disain untuk mendapat kekuasaan politik. 

Prediksi Marcus Mietzner cukup menarik: uang, kekuasaan dan ideologi adalah tiga hal yang tak bisa dipisah, sisi lainnya partai Islam selesai sejak difusi kan dalam satu partai politik masa rezim orba. Jadi tak ada lagi gunanya partai baru didirikan tanpa uang cukup. Pembiayaan partai cukup besar. 

Islam kosmopolit yang ditawarkan adalah gagasan ideal untuk tegakkan syariat dengan cara berpikir maju. Gagasan Kyai Dahlan tak pernah kehilangan relevansi. Sebab itu Kyai Dahlan mengganyang kebodohan dan jumud berpikir. Pemodernan dan pemajuan adalah tesis Kyai Dahlan untuk tegakkan syariat Islam kaffah. Jadi bukan pedang, resolusi jihad atau takbir keras. 

Kyai Dahlan langsung bersetuju ketika Kyai Sudja’ santrinya mengajukan proposal membangun rumah sakit dikalangan pribumi santri— meski sebagian kader mudanya ada yang keras menolak dan menyerahkan kartu keoanggotaan sebagai bentuk protes dan perlawanan. Tahun 1920 bukan tahun yang ramah untuk mewujudkan gagasan pemajuan dan pemodernan. Masih terbayang bagaimana penolakan para ulama saat itu. 

Berbagai persoalan mengemuka salah satunya pertanyaan tentang : Apakah hukumnya mendirikan rumah sakit itu halal atau haram ? Jangankan rumah sakit, mengubah kebiasaan minum kapsul ke puyer saja adalah sebuah tantangan yang amat berat. Karena dianggap tasyabuh menyerupai kompeni Belanda. Jadi Kyai Dahlan adalah pelopor berpikir maju. 

*^^^^*

Jadi benarkah Muhammadiyah tak butuh kekuasaan ? Atau tepatnya kenapa Kyai Dahlan tak butuh kekuasan untuk jalankan amar ma`ruf nahy munkarnya (saat itu)? Sayangnya belum ada kajian komprehensif tentang tema ini. Prof Nakamura atau Dr Alfian sekalipun tak ada penjelasan dalam berbagai risetnya.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *