Official Islam dan Oppositional Islam berebut dominan. Dan bagian paling sulitnya adalah merawat ghirah pergerakan Islam mapan yang terjebak rutinitas dan beku— Prof M Amin Abdullah meminjam term Ibrahim Abu Rabi’ dua kategori terminologis: untuk menjelaskan fenomena FPI sebagai kanal gerakan Islam alternatif.
*^^^*
Pilihan diksi aksi bela Islam, 212 dan revolusi akhlaq cukup cerdas, merisaukan rezim dan gerakan Islam mapan lainnya meski secara empirik masih harus dibuktikan sebagai kekuatan massa rakyat yang legimate.
Official Islam saya sebut Islam mapan selalu dikaitkan dengan Muhammadiyah, NU Persis, Nahdhatul Ummah dan gerakan moderat lainnya yang memberi corak wajah Islam di Indoenesia. Opostional Islam diwakili FPI merubah wajah pergerakan Islam yang tidak di dapatkan pada Islam mapan.
Gerakan FPI merevisi Official Islam yang dikesankan damai atau dingin yang kemudian lebih dikenal term moderat—FPI bisa saja menjadi arus utama pergerakan Islam konservatif yang memposisikan sebagai lawan—Opositional Islam dalam arti positif.
Arus utama pegerakan Islam bisa berubah—dan 212 cukup siginifikan memberi corak dan warna dari yang semula moderat menjadi progresif meski dengan potensi dasar konservatif. Bagaimanapun 212 masih punya daya pikat meski tak sebesar menjelang Pilpres karena pilihan diksi yang mudah dan sesuai kebutuhan.
*^^^*
Pikiran progresif konservatif inilah yang kemudian menjadi perekat meski bermula dari pergerakan primordial—konservatifisme ini pulalah yang kemudian menjadi tenaga yang menggerakkan. Saya memang belum tahu bakal seperti apa gerakan ini ke depan apakah sukses mendapat bentuk baru atau malah gagal dan ditepikan karena dianggap enemy politik.
Sebagai sebuah pergerakan, 212 masih sangat menarik dan relevan meski mengalami banyak masalah dan perubahan baik internal maupun eksternal. Sebut saja, kepulangan imam besar HRS bisa mengubah peta politik dan arus utama pergerakan Islam yang inovatif, rekreatif melawan mapan, berikut semua masalah yang melekat adalah soal krusial di internal yang terus melemahkan. Pun dengan perubahan peta politik pasca Pilpres 2019 adalah ujian berat terhadap kekokoh-an soliditas ideologi yang di usung.
Tidak sedikit yang mempersepsi 212 sebagai kanal alternatif ditengah buntu—sebab gerakan Official Islam mengalami kebekuan dan terjebak rutinitas—pikiran subyektif saya mengatakan demikian meski harus diuji. Pada titik tertentu kekuatan ideologi Islam mengemuka dan menemukan ruang pada pikiran dan gerakan konservatif progresif 212.
*^^^*
Titik lemah 212 adalah pada aktifitas politik praktis nya yang menurut saya kebablasan—sekaligus emosional meski dibungkus ghirah. Mestinya 212 menjadi milik umat Islam dengan tidak membedakan golongan atau manhaj dan bukan gerakan partisan dan berpihak pada partai politik tertentu.
Bagaimanapun ini adalah tantangan sekaligus ihtiar membangun model gerakan Islam natural dan generik dan melepas diri dari kepentingan politik kekuasaan yang melelahkan. Saya tetap berharap 212 menjadi episentrum pergerakan Islam
yang melampaui —selamat berevolusi …
No responses yet