Guru Mansur adalah pendidik yang teliti dan tegas, setiap selesai sholat subuh beliau mengajarkan santri santrinya, cara beliau mengajar, beliau menyerahkan tanggung jawab pengajaran kepada santri senior untuk mengajarkan yang lebih yunior, kemudian beliau periksa langsung hasil pengajaran kepada santri yunior itu, apabila ada kekurangan atau tidak hafal, beliau menanyakan siapa yang mengajar, maka yang akan menerima sangsi pukulan rotan adalah yang mengajarnya. Setelah mengajar biasanya beliau minta dibacakan beberapa surat kabar kepada santrinya atau setelah makan malam, beliau memanggil santrinya untuk berdialog dan menanggapi berita-berita yang terjadi baik dalam maupun luar negeri. Adapun santri-santri beliau berasal dari Jawa Barat, Lampung, Madura, Kalimantan. Dalam memberikan pelajaran kepada santri-santrinya tidak pernah dihentikan walaupun dalam keadaan apapun. Setiap Jumat pagi beliau membuka pengajian umum, pada masa itu banyak berdatangan kaum muslimin dari berbagai daerah dan tingkatan sosial masyarakat, dari kyai, ustadz dan awam. Di Majlisnya beliau sering membahas berbagai masalah dan memberikan pelajaran tafsir dan hadist. Pada masa Revolusi sedang berkecamuk di Tanah air tidak sedikit jasa dan pengorbanan Guru Mansur, karena kepada beliaulah tempat orang meminta fatwa dan bekal dalam menghadapi perjuangan kemerdekaan, bahkan rumah, pesantren dan masjidnya pernah dijadikan markas para pejuang.

Jalinan komunikasi dan sillaturahim juga beliau lakukan dengan tokoh-tokoh seperti HOS Cokroaminoto (Keturunan Raden Fattah Azmatkhan), KH Ahmad Dahlan (Keturunan Sunan Giri Azmatkhan), KH Hasyim Asy’ari (Keturunan Jaka Tingkir Azmatkhan), KH Mas Mansur, Syekh Ahmad Surkati (Pendiri Al Irsyad) dll. Sehingga kelahiran organisasi Islam yang ada di Indonesia tidak lepas dari andil Guru Mansur baik itu lewat pikiran dan pendapatnya,tidak heran pribadi Guru Mansur dikenal dan dihargai oleh semua lapisan masyarakat Islam Indonesia. Beliau bahkan pernah menjabat sebagai Rais Aam Nahdatul Ulama Cabang Betawi ketika masa KH Hasyim Asy’ari (Kakek Gus Dur).

Terus terang saat membaca kisah-kisah ini, saya sangat takjub, sikap kerasnya itu mengingatkan saya akan seorang tokoh betawi yang dicari-cari Belanda yaitu KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma. KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma sendiri terkenal keras dan tegas terhadap Penjajah Belanda, haram hukumnya bagi beliau dan keluarga besar Jayakarta bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun. Kekerasan kedua tokoh ini banyak kemiripannya, sehingga mengundang saya untuk meneliti, apakah kedua tokoh mempunyai hubungan?

Dari penelitian yang saya lakukan tentang Nasab dari Guru Mansur, memang ditemukan fakta jika Guru Mansur merupakan keturunan asli Jayakarta. Leluhur Guru Mansur adalah Mujahidin Jayakarta. Salah satu leluhurnya yang cukup menonjol adalah Pangeran Cakrajaya Adiningrat. 

Pangeran Cakrajaya naik menjadi Pangeran Adiningrat setelah sebelumnya Pejabat Adiningrat yang terdahulu wafat. Nama gelar Pangeran Cakrajaya itu sendiri adalah Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV. Pangeran Cakrajaya adalah tokoh berpengaruh di Jayakarta pada masa itu. Beliau merupakan Panglima Perang Mujahidin Jayakarta. Pangeran Cakrajaya sendiri mempunyai banyak jaringan di Kesultanan Mataram pada masa itu, bolak-balik beliau ini dari Mataram dan Jayakarta untuk mengadakan konsolidasi dalam rangka perjuangan jihad fisabillah di bumi Jayakarta. Pangeran Cakrajaya sendiri di mataram sempat menjabat sebagai Tumenggung disalah satu wilayah Mataram. Hubungan Jayakarta dan Mataram pada masa Pangeran Cakrajaya sangatlah baik, sehingga tidak heran diwilayah tempat tinggal Pangeran Cakrajaya, khususnya Kampung Pekojan dan Sawan Lio dahulunya banyak dihuni oleh para keturunan Mataram dan Juga Jayakarta. Namun untuk masa sekarang sudah banyak dari mereka yang hijrah keberbagai wilayah Jabodetabek.

Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV inilah yang kelak menurunkan Guru Mansur termasuk juga Syekh Junaid Al Batawi, bahkan Syekh Mujtaba Al Batawi yang juga merupakan ulama besar di Mekkah dan Betawi dan hidupnya bersamaan dengan  masa Syekh Junaid Al Batawi menurut KH Fattahillah juga masih satu rumpun nasab.

Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV sendiri berdasarkan data yang saya pelajari adalah merupakan Pangeran Adiningrat Jayakarta yang ke 8. Pangeran Adiningrat di Jayakarta setingkat dengan Sultan atau Raja di beberapa wilayah, hanya saja karena Jayakarta sebuah daerah yang sering bergejolak baik secara politik, sejarah ataupun militer, maka keberadaan para Pangeran Adiningrat ini selalu dirahasiakan keberadaanya. Pusat dan lokasi pemerintahannya juga dirahasiakan. Khusus mengenai Pangeran Cakrajaya ini, posisi beliau sangatlah unik, karena beliau menetap disebuah wilayah yang justru berdekatan dengan pusat kekuasaan pemerintahan penjajah. Bisa dibayangkan bagaimana bahayanya posisi beliau itu. Saya sendiri berfikir, bisa saja beliau menetap ditempat itu untuk mencari sebanyak-banyaknya celah kelemahan dari fihak penjajah serta memperbanyak informasi tentang penjajah untuk kemudian diteruskan kepada para Mujahidin Jayakarta dan juga Mujahidin Kesultanan Mataram. Lagipula dalam sebuah strategi milter terkadang musuh yang berada dekat di jantung kekuasaan musuhnya sering tidak diduga.

Walaupun demikian pada akhirnya Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV akhirnya gugur syahid dalam perjuangannya dan kemudian akhirnya beliau dikuburkan dihalaman Masjid Al Mansur Kampung Sawah Lio Jakarta Barat. Setelah gugurnya Pangeran Cakrajaya ini strategi perjuangan, khususnya diwilayah Pekojan mulai dirubah, sudah tentu dengan gugurnya Pangeran Cakrajaya Nitukusuma IV mengakibatkan kecurigaan fihak Belanda terhadap wilayah Pekojan. Sudah tentu sedikit banyak data tentang Pekojan termasuk keluarga besar Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV mulai tercium dan inilah yang kemudian disikapi secara seksama oleh keluarga besar keturunan Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV.

Paska wafatnya Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV ini strategi perjuangan keluarga besar Jayakarta dirubah, khusus untuk wilayah Pekojan dan sekitarnya, strategi perjuangannya difokuskan pada bidang pendidikan agama. Pekojan dijadikan kawasan pendidikan yang seolah-olah jauh dari politik dan perlawanan. Sedangkan keluarga besar Nitikusuma yang berada di luar Pekojan seperti daerah Rawa Belong, Kayu Putih Tanah Tinggi, Jelambar, Cengkareng Bambu Larangan, Angke, dan daerah-daerah lain tetap difokuskan pada perang gerilya. Sengaja bidang pendidikan agama ini dikuatkan agar Belanda tidak terlalu curiga, mereka tahunya bahwa Pekojan dan sekitarnya hanya merupakan tempat ngaji biasa. Bahkan untuk mengelabuhi Belanda, salah seorang anak dari Pangeran Cakrajaya yang bernama Raden Abdul Muhit diangkat menjadi Kapiten di wilayah Pekojan. Kapiten sendiri semacam kepala kampung atau kepala suku pada koloni-koloni Penjajah. Mereka semua bertugas mengkoordinir masyarakatnya. Dengan menjadi Kapiten ini pada akhirnya keluarga besar Raden Abdul Muhit tidak lagi dicurigai oleh Belanda karena dianggap loyal, padahal dengan beliau menjadi Kapiten, justru telah memudahkan semua akses dan informasi yang beliau dapat untuk kemudian diberikan dan disikapi oleh keluarga besar Pejuang Jayakarta. Kapiten Abdul Muhit ini sepertinya mengikuti jejak Kapiten Jongker yang pura-pura menurut tapi ternyata diam-diam melakukan perlawanan. Memang terkesan agak riskan dan bertabrakan dengan konsep perjuangan keluarga besar Jayakarta yang sama sekali selalu ingin memutus mata rantai hubungan dengan penjajah. Namun untuk kali ini sepertinya keluarga besar Jayakarta yang ada Pekojan harus berfikir matang dan bijak kembali, bagaimana caranya agar perjuangan didaerah Pekojan ini bisa bertahan tanpa harus dicurigai terus menerus oleh Belanda sebab posisi dan keberadaan mereka sangat dekat dengan pusat kekuasaan.

Dan itu terbukti, dengan memakai cara seperti ini, Pekojan kemudian menjadi ramai dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, banyak ulama-ulama besar berdatangan ke Pekojan seperti Syekh Arsad Al Banjari, Syekh Nawawi Al Bantani, Sayyid Usman Bin Yahya, Habib Hamzah Al Attas, dll. Dan itu tercatat didalam sejarah Guru Mansur, Masjid-masjid bersejarah bahkan banyak yang berdiri didaerah Pekojan seperti Masjid Al Munawir Pekojan, Langgar Tinggidi Pekojan, Masjid Al Mansur Pekojan. Pada masa lalu luas daerah Pekojan tidak seperti sekarang, menurut KH Fattahillah, Sawah Lio juga termasuk Pekojan. Strategi cerdas leluhur Guru Mansur benar-benar tepat, bahkan pada masa Kapiten Abdul Muhit banyak jamaah haji yang bisa berangkat atas rekomendasi beliau,termasuk cucu beliau yang bernama Syekh Junaid Al Batawi, bahkan Syekh Nawawi Al Bantani sebelum berangkat ke Mekkah beliau ke Pekojan dulu untuk bertemu keluarga besar Syekh Junaid Al Batawi. Posisi Pekojan yang dekat dengan pusat kekuasaan, jelas menguntungkan, apalagi lalu lintas utama adalah Kapal Laut yang lokasinya di pelabuhan Sunda Kelapa dan itu berdekatan dengan Pekojan.Tentu untuk memasuki pelabuhan Sunda Kelapa yang dijaga Belanda tidak mudah, mereka akan diperiksa tentang tujuan perjalanannya. Namun dengan adanya rekomendasi dari Kapiten Abdul Muhit banyaklah jamaah haji yang saat itu bisa berangkat.

Disinilah menurut saya  kecerdasan politik keluarga besar Guru Mansur. Dengan cara seperti ini tanpa dicurigai dan dideteksi Belanda mereka akhirnya mampu menjalin hubungan dan jaringan komunikasi dengan ulama Mekkah dan Madinah, tentu dengan adanya jaringan seperti ini telah mampu merubah pola fikir masyakarat Nusantara saat itu, terutama mereka yang dari Jayakarta yang sedang melaksanakan ibadah haji. Pada masa itu untuk naik haji tidaklah semudah seperti sekarang. Diperlukan sebuah rekomendasi dan jaminan seorang yang berpengaruh untuk keberangkatan haji. Keberangkatan haji bagi penjajah Belanda selalu dicurigai, karena biasanya setelah pulang haji, masyarakat Jayakarta semakin militan dan benci kepada penjajah, hal ini masuk akal karena selama mereka mukim atau melaksanakan haji di Mekkah, tidak bosan-bosannya ulama Mekkah yang berasal dari Nusantara selalu menanamkan Jihad Fisabilllah dalam melawan penjajahan yang dilakukan kafir Belanda maupun para penjajah dari bangsa lain. Belanda sendiri baru sadar betapa bahayanya pengaruh haji dalam pemerintahan mereka pada akhir akhir abad ke 19, sehingga pada masa akhir akhir abad ke 19  tersebut mereka kemudian mengutus Snouck Horgronje untuk mengetahui seberapa besar pengaruh haji terhadap militansi umat Islam di Nusantara termasuk Jayakarta.

Strategi politik keluarga Guru Mansur yang ada di Pekojan kemudian mulai bergeser ketika munculnya GURU MANSUR. Pada masa Guru Mansur, perlawanan beliau bersikap terbuka. Dan hebatnya perjuangan beliau ini juga didukung oleh masyarakat Betawi pada masa itu.

Berkaca dari sikap perjuangan, karya-karya, serta idiologi yang beliau miliki itu maka pada akhirnya kita harus tahu, siapa sebenarnya leluhur utama atau leluhur yang paling terkenal dari Guru Mansur ini? Sebab bukan tidak mungkin ada darah tokoh besar yang mengalir pada diri ulama yang karismatik ini. Faktor nasab bagi saya adalah hal yang tidak boleh dianggap remeh, orang boleh saja menganggap remeh terhadap hal yang satu ini, namun kalau kita mau jujur terhadap dunia seperti ini, buktinya sampai sekarang Inggris, Belanda, Amerika Serikat dan lebih khusus lagi bangsa  Yahudi masih kuat menjaga tradisi silsilah yang mereka miliki, silahkan anda pelajari garis silsilah Presiden AS. Sampai sekarang semua Presiden AS saling sambung menyambung dalam geneologinya itu, artinya buat mereka silsilah adalah hal yang penting dalam kehidupan mereka, bahkan di Negara Amerika Serikat sendiri ada sebuah perpustakaan silsilah terbesar didunia. Bagi bangsa arab garis keturunan adalah hal yang wajib dijaga, sampai sekarang kalau anda tanyakan nasab-nasab yang dimiliki orang arab, banyak dari mereka yang hafal diluar kepala, jangan ditanya bila itu berkaitan para nasabnya para Sayyid, sampai saat ini catatan nasab mereka begitu terpelihara bahkan ada lembaga nasab dimasing masing negara yang mereka tempati.

Dari data kitab Al Fatawi dan juga Wangsa Aria Jipang Jayakarta, serta Kitab Al Mausuuah LI Ansaabi Al Imam Al Husaini diketahui bahwa Pangeran Cakrajaya adalah keturunan Aria Jipang Jayakarta. Aria Jipang Jayakarta (As-Sayyid Husein) adalah anak Pangeran Sekar Seda Ing Lepen atau Raden Bagus Surawiyata atau Raden Kikin (As-Sayyid Ali) bin Raden Fattah atau Sayyid Hasan Azmatkhan Al Husaini atau Sultan Demak I. Keberadaan Aria Jipang di Jayakarta mungkin banyak yang belum tahu, namun jika mereka membaca secara utuh sejarah Fattahillah dan hubungannya dengan Kesultanan Demak, keberadaan Aria Jipang di Jayakarta bukanlah hal yang aneh, bahkan menurut saya wajib hukumnya beliau ada di Jayakarta, kenapa demikian? Karena direbutnya Pelabuhan Sunda Kelapa oleh Fattahillah, itu karena  berkat pemimpin tertinggi dalam operasi tersebut, yaitu  Sultan Trenggono atau SULTAN AHMAD ABDUL ARIFIN atau SAYYID ABDURRAHMAN AZMATKHAN dari Kesultanan Demak yang merupakan kerabat dekat Aria Jipang atau Aria Penangsang ini. Sosok Aria Penangsang atau Aria Jipang sendiri dalam sejarah Kesultanan Demak sering digambarkan negatif, terutama kalau anda baca Buku Babad Tanah Jawi, sebuah buku yang isinya banyak menghancurkan karakter Walisongo dan juga Raden Fattah. Padahal sejatinya Aria Penangsang adalah seorang yang handal dalam bidang militer, handal dalam bidang pemerintahan bahkan ahli dalam bidang beladiri, beliau juga sangat agamis (beliau bahkan seorang Mursyid pada sebuahThariqoh), beliau juga hafal qur’an. Sejarah buruk tentang Aria Jipang atau Aria Penangsang patutlah dicurigai siapa penulis Babad Tanah Jawi ini. Sebab dalam sejarahnya Aria Jipang justru hidupnya banyak berdakwah, bahkan keturunannyapun banyak yang menjadi ulama dan juga pejuang-pejuang militan. Dari sisi kematiannya, beliau juga wafat dengan sangat  wajar (tidak terbunuh seperti cerita Babad Tanah Jawi) dalam usia lebih dari 100 tahun di Palembang (Ogan Ilir Indralaya) Sumatra Selatan.

Pada masa tahun 1527 M, saat direbutnya Pelabuhan Sunda Kelapa, posisi Kesultanan Demak sedang mencapai puncak kejayaannya, bahkan pada tahun ini pula Kesultanan Demak berhasil meruntuhkan Kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Prabu Udara atau Brawijaya VII. Setelah direbutnya Sunda Kelapa dan tumbangnya Majapahit oleh Kesultanan Demak dengan jenderal perangnya Fattahillah, maka kemudian Sultan Trenggonopun mengutus orang-orang terbaiknya untuk membantu Fattahillah dalam mengembangkan kota Jayakarta yang baru, maka kemudian terpilihlah nama Aria Jipang atau Aria Penangsang. Terpilihnya Aria Penangsang atau Aria Jipang ke Jayakarta, karena track record beliau dikenal handal dalam bidang pemerintahan maupun militer, berapa kali terjadinya pertempuran antara Demak dan Majapahit, maka panglima perang yang sering tampil adalah Aria Penangsang ini seperti pada saat di Surabaya, Jipang, Gresik, Pasuruan, Blambangan dan juga beberapa daerah lainnya. Aria Penangsang sendiri adalah keponakan Sultan Trenggono, karena Sultan Trenggono adalah adik dari ayah Aria Penangsang. Adapun Fattahillah sendiri adalah adik ipar dari Sultan Trenggono, karena Fattahillah menikah dengan Ratu Mas Nyawa binti RadenFattah. Ratu Mas Nyawa ini satu bapak satu ibu dengan ayah Aria Penangsang yang bernama Raden Bagus Surawiyata yang kelak terkenal dengan gelar Pangeran Sekar Seda Ing Lepen. Disamping sebagai Paman Aria Penangsang, Fattahillah juga sekaligus sebagai mertua Aria Penangsang, karena anaknya telah dinikahi Aria Penangsang. Jadi dari keterangan ini bukanlah hal yang aneh jika keturunan Kesultanan Demak banyak terdapat di Jayakarta bahkan hingga saat ini. Dalam perkembangannya keturunan dari Aria Penangsang atau Aria Jipang banyak yang berkiprah dipemerintahan Jayakarta, mereka bahkan banyak yang menjadi pemimpin perlawanan dalam melawan penjajah kafir belanda.

Kesimpulannya  jika dilihat dari data di atas ini memang antara Guru Mansur, Syekh Junaid Al Batawi, Syekh Mujtaba Al Batawi dan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma satu keturunan. KH Ratu Bagus Ahmad Syar’’i sendiri nasabnya berasal dari cabang lain, namun ujungnya tetap berasal dari Aria Jipang Jayakarta. Jika KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i itu memiliki Marga atau FAM MERTAKUSUMA, maka Guru Mansur, Syekh Junaid Al Batawi, Syekh Mujtaba Al Batawi memiliki marga atau FAM NITIKUSUMA. Perlu diketahui pemakaian nama marga pada keturunan Aria Jipang Jayakarta ini sudah lama terjadi. Marga ini fungsinya adalah untuk menyatukan tali silaturahim antar keturunan Aria Jipang Jayakarta. Marga yang digunakan ini bukan untuk gagah gagahan atau feodalisme. Marga-marga tersebut mempunyai arti dan makna filosofis yang mendalam dan menjaga orang yang memakainya untuk berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku.

Didalam sejarah keluarga besar Guru Mansur sendiri memang jarang yang menggunakan nama FAM NITIKUSUMA, hal ini dilakukan agar keberadaan keluarga besar Jayakarta yang ada di Pekojan tidak terlacak, nama NITIKUSUMA, MERTAKUSUMA merupakan daftar hitam yang paling dicari oleh para penjajah belanda dengan intelnya yang berkeliaran, tentu cepat atau lambat jati diri nama tersebut akan mudah terlacak, justru kebanyakan keluarga besar Guru Mansur banyak yang menggunakan nama-nama gelar Al Batawi. Pemakaian gelar Al Batawi bahkan lebih familier dibandingkan dengan nama Fam Nitikusuma. Disamping itu nama-nama gelar ruhani sering dipakai oleh keluarga Guru Mansur seperti nama Imam. Saat itu nama Imam menunjukkan dirinya seorang ulama, khususnya pada kawasan Pekojan. Nama Imam ini muncul setelah era Kapitan Abdul Muhit yang merupakan leluhurnya Guru Mansur.  Disamping itu demi keamaan dan kepentingan politik  keluarga Guru Mansur yang ada di Pekojan menghindari pemakaian gelar-gelar bangsawan Jayakarta seperti yang digunakan saudara-saudara dan kerabatnya yang berada di Rawa Belong, Tanah Tinggi Kayu Putih Pulo Mas, Jelambar dan wilayah wilayah lainnya. Gelar-gelar seperti Ratu Bagus, Radin tidak mereka tonjolkan, pemakaian gelar bangsawan lebih banyak dipakai di Pekojan pada masa Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV.

Sekalipun keluarga besar Guru Mansur lebih menggunakan nama Al Batawi namun catatan nasab dan sejarah leluhurnya tetap tercatat dengan baik didalam kitab Al Fatawi maupun Kitab Wangsa Aria Jipang diJayakarta.  Hubungan persaudaraanpun masih terjalin dengan baik, terutama dengan keluarga Wangsa Aria Jipang yang berada di daerah Rawa Belong, Jelambar, Tanah Tinggi Kayu Putih Pulo Mas. Yang juga tidak kalah mengejutkan, ibudari Guru Mansur ternyata nasabnya juga bersambung kepada Keluarga besar Kesultanan Banten. Berdasarkan catatan yang disusun oleh KH Fattahillah ibu Guru Mansur adalah Syarifah Rofiah Binti Marghan bin Uyut Kunten sampai terus kepada Maulana Hasanuddin Banten. Ini menandakan jika ikatan kekerabatan antar keluarga besar Jayakarta, Banten dan Demak masih terus terjalin dengan baik.

Guru Mansur jelas merupakan trah asli Jayakarta, sehingga sudah tentu beliau mempunyai banyak keterkaitan, baik dari sisi nasab maupun perjuangan. Salah satu keterkaitan beliau dengan perjuangan Jayakarta adalah hubungan  beliau dengan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma. Dalam biografi KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang ditulis oleh cucunya, hubungan antara Guru Mansur dengan penulis kitab Al Fatawi ini adalah Murid dan Guru. KH Ratu Bagus Ahmad Syar’I Mertakusuma ternyata pernah belajar dan mengaji langsung kepada Guru Mansur ditahun 1905 Masehi. Tidak itu saja, bahkan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma ini diajarkan langsung oleh Guru Mansur tentang cara penulisan bahasa arab gundul dengan seni kaligrafi (Khot). Guru Mansur  sendiri memiliki tulisan arab yang cukup indah, beberapa tulisan beliau yang terdapat pada kitab kitab tua tempo dulu pernah saya lihat di kediaman KH Fattahillah, dan memang tulisan beliau rapi, indah dan bernilai seni tinggi. Tulisan beliau sangat rapi dan tertata, beberapa catatan pinggir di kitab-kitab beliau betul-betul mencerminkan bahwa beliau ini menguasai tehnik menulis arab yang tinggi. Pantaslah kiranya KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma belajar tulisan khot kepada Guru Mansur, apalagi dahulunya Guru Mansur memang sudah terkenal akan tulisannya yang rapi dan tertib sehingga akhirnya dijadikan sekretaris pribadi Tuan Umar Sumbawa saat di Mekkah.

Sekalipun usia mereka tidakterlalu jauh (Guru Mansur lebih tua dua tahun), namun Guru Mansur banyak memberikan masukan kepada KH Ahmad Syar’i Mertakusuma. Guru Mansurlah yang menganjurkan atau mengusulkan agar dokumentasi kitab Al Fatawi yang lama segera ditulis ulang dengan penulisan arab melayu, agar kedepannya kitab tersebut bisa dibaca oleh generasi selanjutnya. Sengaja dalam penulisan kitab Al Fatawi menggunakan arab melayu gundul, Karena pada masa itu, penulisan arab gundul melayu menjadi alternativ dari huruf latin yang lebih banyak digunakan oleh Belanda, bahkan beberapa ulama pada masa itu lebih senang menulis karyanya dengan tulisan arab melayu gundul ketimbang latin. Lagipula pada masa itu masih banyak ulama yang “alergi” menulis karyanya dengan tulisan latin, apalagi mereka yang lulusan dari Timur Tengah seperti Mekkah dan Mesir, akan sangat aneh jika mereka yang lulusan Mekkah menggunakan huruf latin. Kelebihan arab melayu gundul sendiri, tata bahasanya tidak serumit penulisan bahasa arab standard yang harus menggunakan gramar bahasa arab seperti adanya Nahwu dan Sharaf serta tata bahasa arab lainnya.  Sehingga bahasa yang digunakan pada masa itu adalah bahasa arab melayu gundul standard, karena itu  lebih mudah dibaca oleh kalangan santri dan juga sebagian masyarakat Islam termasuk Betawi, kondisi juga terjadi didaerah lain, seperti tulisan arab pegon (tulisan arab berbahasa jawa).

Adanya pengaruh ilmu tulis menulis bahasa arab (khot) dari Guru Mansur ini telah menjadikan kualitas tulisan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i tidak jauh berbeda dengan gurunya. Kitab AlFatawi yang beliau susun cukup rapi. Bahkan dipinggir-pinggir kitab tersebut banyak ornament-ornamen seni gambar yang unik. Kelihatan sekali antara tulisan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’I dengan Guru Mansur terlihat unik dan nyeni.

Adanya hubungan antara Guru Mansur dan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’I Mertakusuma telah mengungkap fakta jika Guru Mansur telah memberikan andil dalam penyusunan kitab Al Fatawi. KH RATU BAGUS Ahmad Syar’i Mertakusuma memang yang menulis kitab tersebut, namun tokoh dibalik penulisan kitab Al Fatawi jelas adalah Guru Mansur yang juga merupakan kerabat dan keluarga besar dari KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma. Tentu sebagai ketua lembaga adat jayakarta pada masa itu, Guru Mansur berharap agar KH Ahmad Syar’i bisa kiranya  mengislamisasikan kembali Jayakarta lewat Kitab Al Fatawi. Sudah tentu digunakan kembali arab melayu pada penulisan kitab Al fatawi agar isi dan kandungan kitab Al Fatawi tidak disalah gunakan oleh fihak-fihak yang tidak bertanggung jawab, dengan menggunakan penulisan ini agar terlihat jelas  penulisnya asli atau palsu. Langkah KH Ahmad Syar’I Mertakusuma adalah sebuah langkah cerdas karena beliau langsung belajar kepada pakarnya tulisan arab yaitu Guru Mansur, saya sendiri yakin Guru Mansur mengajarkan ilmu ini secara total, karena tentu beliau tahu kedudukan seorang KH Ratu Bagus Ahmad Syar’I Mertakusuma di Jayakarta pada masa itu. Melalui cara seperti inilah akhirnya kItab Al Fatawi bisa terdokumentasikan dan bisa dibaca sebagian orang yang mengerti bahasa arab melayu gundul.

Jelaslah antara Guru Mansur dan KH Ratu Bagus Ahmad Syar’I Mertakusuma mempunyai ikatan hubungan yang kuat, baik dari sisi Silsilah Kekerabatan, Silsilah Keilmuan dan juga karakter. Guru Mansur bukan saja Guru, beliau juga sahabat bagi KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i, Guru Mansur juga motivator munculnya kitab Al Fatawi dalam bahasa arab. Keduanya seperti mempunyai banyak persamaan, dapat dikatakan bahwa keduanya nyaris sama dalam hal apapun, “LIKE TEACHER LIKE STUDENT” buat mereka, begitu bunyi perkataan yang sering saya dengar.

Sumber : FB LDNU Jaksel

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *