KH. Abdurrahman Wahid adalah sosok guru bangsa paling fenomental yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh sepak terjang manuver politiknya yang penuh kontroversial terhadap muka publik yang terkenal dengan “orang yabg konsisten dalam ketidakkonsistennya”.
Pada sisi yang lain, Gus Dur juga terkenal dengan ide pemikirannya yang sangat brilian dan progresif dalam menata konsep dan sistem kehidupan umat, baik dalam konteks beragama ataupun bernegara.
Salah satu pemikiran brilian yang pernah ditorehkan oleh Gus Dur adalah pernyataan sikap penolakannya terhadap pendirian negara berdasarkan konsepsi hukum Islam (teokrasi), dan lebih memilih untuk tetap mempertahankan ideologi negara Pancasila. Bahkan, dalam salah satu pernyataannya, beliau menyatakan kesiapannya untuk mempertahankan NKRI dan memperjuangkan Pancasila dengan mati-matian.
Sebagaimana maklum diketahui, pergolakan dalam membangun negara dengan segala sistemnya telah mewarnai perjalanan panjang bangsa Indonesia. Hal itu terlihat ketika sejumlah kelompok berupaya melakukan pemberontakan agar sistem yang menjadi cita-citanya diterapkan di Indonesia. Namun, berkat briliannya para pendiri yang bangsa yang pemikiran moderat dan terbuka membuat masyarakat Indonesia tetap bersatu sebagai sebuah negara bangsa dengan pondasi kokoh Pancasila.
Buku yang ditulis Nur Khalik Ridwan ini berusaha mengulas prisma pemikiran Gus Dur tentang negara bangsa yang berlandaskan Pancasila. Penguatan negara bangsa terus dilakukan oleh Gus Dur karena secara kultur dan kemajemukan, rakyat Indonesia lebih tepat untuk hidup bersama yang diikat oleh konsensus kebangsaan. Bukan negara agama, bukan juga negara yang memisahkan diri dari agama (sekuler). Karena Indonesia bukanlah negara agama tetapi negara orang-orang beragama dan bukan pula negara sekuler, Almarhum KH Ahmad Hasyim Muzadi pernah melontarkan guyonan bahwa negara Indonesia adalah ‘negara yang bukan-bukan’.
Dari humor menggelitik tapi penuh makna tersebut, Nur Khalik Ridwan berupaya melacaknya lewat pemikiran-pemikiran Gus Dur tentang negara Pancasila. Secara amat sederhana, relasi itu dibangun dalam format “negara bukan-bukan” yang berarti bukan Negara agama dan bukan Negara sekular.
Pertama, bukan Negara agama. Model relasi ini mengafirmasi bahwa struktur ideologis serta prinsip kebangsaan tidak dibangun atas doktrin komprehensif agama tertentu. Negara pancasila tidak jatuh dalam tendensi mengadopsi kerangka teologis ajaran tertentu sebagai acuan atas konsep hidup baik.
Kedua, bukan Negara sekular. Negara pancasila tidak menganggap sepi eksistensi serta peran agama untuk turut serta berpartisipasi dalam pencapaian tujuan berdirinya Negara yakni kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, agama tidak didepak sebagai soal privat yang eksklusif terhadap proyek kebaikan bersama. Sebaliknya, dialog atau kemungkinan komunikasi yang rasional antar Negara dan agama dimungkinkan.
Demikian, paradigma relasi agama dan Negara dalam terang filsafat pancasila sesuai dengan cita-cita masyarakat postsekular di mana agama dan politik dapat sekaligus berkiprah dalam ruang publik. Dalam artian, nukilan prinsip cinta kepada Tuhan sebagai basis penentu format Negara bukan-bukan telah sekaligus mengaburkan fenomen pluralitas, terutama dalam penyikapan atas kelompok minoritas seperti kaum atheis dan penganut paham komunis. Format Negara bukan-bukan sebenarnya totaliter dengan kelompok-kelompok -yang diasumsi tidak menghargai prinsip ketuhanan- seperti kaum atheis dan komunis.
Sebagai dasar negara dan filosofi kebangsaan, pancasila bukanlah sistem filosofi yang operasional dan final. Ia harus senantiasa dikonfrontasikan dengan kenyataan dan problem praksis yang ada dalam masyarakat. Kemunculan kelompok-kelompok fundamental dan radikal atas nama agama yang kerap memakai kekerasan akhir-akhir ini menjadi bukti bumerang bagi ideal pancasila. Ada imperatif yang timbul bahwa pancasila perlu dipertahankan dan diperjuangkan demi NKRI yang utuh. Tugas ini menjadi keprihatinan dan gerakan bersama seluruh manusia Indonesia.
Dalam Buku ini, Ridwan mengutip alasan-alasan konkret yang pernah dikemukakan oleh Gus Dur, dan kemudian dijabarkan melalui pemahamannya. Buku ini mengupas secara holistik dan komprehensif pemikiran-pemikiran Gus Dur tentang pentingnya negara Pancasila bagi bangsa Indonesia.
Bagi Gus Dur, Pancasila adalah sistem final bagi eksistensi keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dapat di otak-atik kembali, apalagi dirubah oleh sistem yang lain. Tanpa Pancasila negara ini akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas, dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki, dan kita perjuangkan. Oleh karenanya, mempertahankan negara Pancasila adalah kewajiban bagi segenap elemen bangsa. Pemikiran Gus Dur ini sejalan dengan pandangan Nahdlatul Ulama’ yang dihasilkan oleh Muktamar NU ke-27 pada tahun 1984 di Situbondo atau lebih tepatnya di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo.
“Secara organisatoris, karena Muktamar NU itu telah memutuskan di dalam komisi organisasi bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah bentuk final, sebagai ikhtiar atau upaya mendirikan negara bagi kaum muslimin di Indonesia” (hal. 62).
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Gus Dur melihat perlunya dikembangkan pemikiran untuk mencari nilai-nilai dasar bagi kehidupan bangsa. Nilai-nilai dasar itu bisa ditarik dari dua arah. Pertama, nilia-nilai agama dan kepercayaan, karena ajaran agama akan tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila. Kedua, bisa juga dilihat dengan cara bahwa agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai ‘polisi lalu lintas’ yang akan menjamin semua pihak bisa menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali.
Jika hidup berdampingan dengan penuh damai itu indah, kenapa kita mesti ontran-ontran untuk ngotak-atik ideologi negara yang sudah final ini? Sebuah pekerjaan yang nirfaidah, bukan?
No responses yet