“Bila engkau menganggap Allah itu ada, hanya karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau telah kafir. Allah tak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita, juga tak perlu dibela jika orang-orang menyerang hakikatNya.”
Al-Hujwiri, dalam Tuhan Tak Perlu Dibela (KH.Abdurrahman Wahid)
Tokoh pluralis kelahiran Jombang ini adalah sumber gerakan kemanusiaan dan ragam penghormatan terhadap lian. Tidak sedikit yang salah sangka, bahkan salah tafsir terhadap apa yang ia ucap – tuliskan. Ragam pernyataannya selalu menjadi pusat perhatian, khususnya golongan yang menginginkan islam menjadi sistem keseluruhan. Gus Dur pernah menuliskan bahwa ia pernah dihujat selama berbulan-bulan ketika pendeklarasian PKB dan – tanpa menyebutkan bahwa partai tersebut adalah partai islam.
Artinya tidak sedikit kaum muslim yang oleh Martin van Bruinessen dipilah menjadi tiga golongan; Santri, Priyai, dan Abangan membentuk batasan-batasan terhadap muslim yang lain, apalagi terhadap lian. Hal ini tentu menjadi sebuah paradoks, di satu sisi muslim harus menjalankan keislamannya secara total, namun harus menghormati ragam corak golongan yang muaranya ada pada kemanusiaan di sisi yang lain.
Gus Dur pernah menyinggung dalam sebuah tulisan “Bahwa untuk menjadi muslim yang baik sebenarnya sudah dituliskan di dalam kitab suci al-Quran, yaitu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum papa, dan sebagaianya) menegakkan profesionalisme dan bersikab sabar dalam menghadapi cobaan.” Abdurrahman Wahid (2006:4)
Sehingga, menjadi muslim yang baik tidak hanya menunjukkan keislamannya saja, ketika ia menjaga aib sesama, membantu kaum papa, menjaga profesionalisme, bertanggung jawab atas apa yang dikerjakan dan lain sebagainya, adalah wujud dari islam itu sendiri. Gus Dur memang menjadi manusia ruang yang sangat luas. Artinya, ibarat stoisme, Gus Dur adalah pengetahuan atas filsafat Stoa. Ia adalah praktek atas manunggaling kawula kalian Gusti.
Ia menjungjung tinggi sikap untuk menghargai perbedaan, pun dalam aspek pendapat. Tentu hal ini berakar pada tirakat intelektual dan pengalaman yang dalam. Seperti halnya Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir(1549-1582) yang berhenti di Paciran setelah dari Sumenep, ia tidak meneruskan perjalanan ke Pajang setelah bermimpi gurunya; Sunan Kalijaga. Di sana Jaka Tingkir justru mendirikan pesantren dan mendidik masyarakat untuk berdaulat, baik pola pikir pun pola sikap sosial keberagamaan dan keberagaman. Hal ini juga terjadi kepada Gus Dur. Satu hal yang paling tampak adalah ketika ia dilengser – keprabonkan, diejek dan dicecar sumpah serapah. Ia tidak membalas, justru santai saja; kalau sudah selesai pasti dia(yang mengejek) mandeg dengan sendirinya, gitu aja kog repot.
Gus Dur mengajak kepada kita semua untuk membangun kemanusiaan, dalam tradisi NU dikenal dengan Aswaja sebagai metode berpikir dan bergerak. Di antaranya adalah Tawazzun, tasammuh, ta’addul dan tawassut, di lain sisi ditambah dengan presisi. Sehingga tidak hanya Gus Dur, kyai-kyai NU juga pasti memiliki kesadaran yang sama, yaitu membangun kemanusiaan lebih diutamakan. Karena dari sana bisa melahirkan kepekaan sosial dan kepedulian sesama manusia.
Jika Jaka Tingkir diwedar agar tidak membalas dendam, lebih baik membangun daya pikir dan pola sikap kemanusiaan di awali dengan di Paciran. Gus Dur melestarikannya melalui ragam gerakan kemanusiaan dan toleransi beragama. Sampai hari ini dapat kita jumpai dengan munculnya gerakan-gerakan komunitas yang membawa semangat Gus Dur tumbuh kembang dan mekar wangi semerbak. Tujuan akhirnya adalah kemanusiaan dan kedaulatan rakyat (Ukhuwah Insaniah dan Ukhuwah wathaniah).
Kedaulatan Rakyat memiliki ragam makna dan sudut pandang. Ia bisa berarti kemandirian sosial, kedewasaan beragama dan keluasan pikiran. Cak Nun sering menyinggung tentang manusia merdeka, di mana setiap manusia memiliki ragam potensi yang diberikan oleh Tuhan. Bukan untuk menyakiti sesama manusia, melainkan untuk saling menjunjung dan menggandeng tangannya. Pada dasarnya adalah kepekaan. Manusia tidak dibatasi oleh status apapun, ketika harus menolong, ya menolong saja. sing penting nandur, perkara cukul lan hasil opo jare Pengéranê.
Dari sana dapat dilihat bahwa islam adalah agama kasih sayang. Nilai-nilai saling mengasihi satu sama lain tergambar dari sikap Nabi ketika dihina dan dicaci maki, namun Nabi masih mendoakan dan menjenguknya ketika sakit. Dengan demikian bukan lagi masalah siapa yang paling benar, tetapi seberapa besar pengayoman dan moral terhadap liyan. Jika memang mereka salah maka mengingatkan dan menerima maafnya. Tetapi jika mereka meberikan pengetahuan dan kebenaran, maka kita terima dengan gembira.
Ketika kebanyakan orang menjadi api, maka tidak salah ketika kita menjadi air yang menyejukkan, ketika semua orang menjadi air, maka tidak salah ketika kita menjadi angin yang menyelinap di antara dedaunan sehingga segarnya tersampaikan. Karena yang terpenting adalah kemanfaatan dan kemaslahatan. Apa yang dibangun oleh Gus Dur, pun Jaka Tingkir adalah semangat untuk berbagi kemanfaatan dan menuia kemaslahatan.
Apa yang dilihat Gus Dur adalah manusia itu sama. Dari manapun asalanya, suku dan bangsanya, manusia tetap sama. Yang ia lihat adalah niat baiknya seperti apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad, bahwa “Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan amal dan niat tulus dalam hatimu.” Sehingga wajar ketika Gus Dur membela kemanusiaan, yang salah dan kaprah adalah cara pendang atas pembelaannya. Karena membela orang di luar islam misalnya, maka ia juga dicap sebagai golongan orang di luar islam. Padahal perihal keyakinan adalah ruang privasi yang seharusnya tiada satupun orang yang tahu bahkan ikut campur, kecuali ia dan Tuhannya.
Semangat kemanusiaan inilah yang mejadi tumpuan gerakan Gus Dur. Ketika islam muncul menjadi singa yang garang, maka Gus Dur menjadi pawangnya. Seperti halnya kanjeng Nabi, mau ditaruh pada urutan nomor berapapun, Kanjeng Nabi tetap menjadi penghulunya para nabi-nabi dan rasul yang lain. Begitu juga Gus Dur, karena kemanusiaan yang ia usung, maka ia akan selalu ada di dalam hati siapapun, baik islam pun di luar islam, baik suku jawa pun di luar suku jawa. Apa yang kita petik dari Gus Dur adalah kepekaan sosial yang seharusnya ditumbuh – kembangkan di dalam hati dan pikiran generasi penerus. Semoga di Haul Gus Dur tahun 2020 ini membawa suasana yang adem tentrem bagi negara dan bangsa ke depan.[]
No responses yet