Gus Ghofur adalah salah satu alumni Al-Azhar yang mengusung Islam Moderat, dan sebagai representasi peranan Azhariyyin di Indonesia. Bersama Gus Dur, Gus Mus, dan Prof. Quraish Shihab, Gus Ghofur adalah contoh lain bagaimana Azhariyyin Indonesia berturut serta memberi sumbangsih pemikiran dan keteladanan dalam rangka membangun masa depan agama, bangsa dan negara Indonesia.

Gus Ghofur Maimoen ini adalah putra ke-5 KH. Maimoen Zubair dari istri kedua beliau, Ibu Nyai Hajjah Masthi’ah. Sementara Mbah Moen sendiri adalah turunan ke-13 Sunan Giri Gresik (Rd. Muhammad Ainul Yaqin) dari garis ayah Kiai Zubeir bin Dahlan, atau keturunan ke-11 Prabu Geusan Ulun Sumedang yang beristikan Ratu Harisbaya Madura dari jalur ibu. Menurut TB. M. Nurfadhil Satya Tirtayasa al-Husaini al-Bantani, Mbah Moen itu keturunan ke-34 Rasulullah saw.

Pendidikan Dasar hingga Menengah Gus Ghofur diselesaikan di Madrasah Ghazaliyah Syfi’iyah, Rembang. Tahun 1993, ia melanjutkan Pendidikan Tinggi ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Prestasi sudah tampak sejak S1 hingga S2 di program Ushuluddin Jurusan Tafsir. Nilainya selalu “Jayyid Jiddan”. Tahun 2002, gelar doktor pun disabet dengan nilai “Summa Cumlaude.”

Sepengetahuan penulis, Gus Ghofur lebih banyak diam dan berbicara hanya ketika diperlukan. Sebaliknya, beliau lebih banyak berpikir dan berkarya. Jangan heran bila ketebalan disertasinya mencapai 1.700 halaman. Disertasi berjudul “Hasyiyah al-Shaykh Zakariya al-Anshari’ala Tafsir al-Baidlowi min Awwal Surah Yusuf ila Akhir Surah Sajdah” memang mengundang decak kagum tim penguji, serta mahasiswa Indonesia di Al-Azhar yang kenal beliau. Jika tim penguji mengatakan, “syarah dan komentar yang ditulis Syeikh Abdul Ghofur ini lebih baik dari yang ditulis Syaikhul Islam Syeikh Zakariya al-Anshari sendiri.” Hal itu masuk akal dan tidak berlebihan.

Penulis mengamini bila Gus Ghofur dinobatkan sebagai kader terbaik Pengurus Cabang Istimewa Nadhlatul Ulama (PCINU), Mesir. Sebagaimana Dr. Fadlolan Musyaffa (Rais Syuriah PCINU Mesir) kala itu berkomentar, “andai saja ada nilai di atas Summa Cumlaude, mungkin nilai itu yang akan diberikan pada sidang disertasi Gus Ghofur.”

Prestasi yang diukir sejak dari Mesir terus dikembangkannya ke Indonesia. Gus Ghofur Maimoen memberi contoh keteladanam bagi para santri dan mahasantri yang kuliah di Sekolah Tinggi Al-Anwar (STAI), Sarang, Rembang. Beliau juga teladan bagi masyarakat sebagai sosok yang berilmu tinggi, tekun, santun, dan disiplin. Sudah jamak jadi perbincangan di tengah masyarakat sosok Gus Ghofur yang disiplin waktu. Misal kala beliau mendatangi undangan, selalu saja “On Time” (tepat waktu), tetapi bahkan “In Time” (datang lebih awal).

Disiplin waktu ini dipraktikkan juga dalam disiplin belajar. Sekalipun sibuk mengurus pesantren dan menjabat Ketua STAI Al-Anwar, Gus Ghofur istiqomah menjalankan riyadhah belajarnya sejak jam 03.00 dini hari. Ia sudah pasti masuk ke perpustakaan pribadinya untuk menimba ilmu pengetahuan seluas-luasnya. Prinsip ini juga tercantum dalam disertasinya. “jika kamu ingin mengubah nasibmu maka belajarlah!” Gus Ghofur mengutip pesan Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari.

Sebagai seorang gus yang pembelajar, pantaslah beliau memimpin jabatan tertinggi di perguruan tinggi al-Anwar. Namun, yang lebih esensial dari itu adalah konsepnya tentang keseimbangan (tawazun) antara nasionalisme dan agamisme. Dengan kerangka paradigmatik yang tawazun ini, makna Islam Nusantara menjadi lebih segar.

Kiprah Gus Ghofur ini sudah malang melintang bukan hanya di Indonesia, tapi sering diundang pula untuk mengisi seminar dan dakwah di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

salah satu sikap beliau untuk meluruskan kesalahpahaman sebagian orang tentang Islam Nusantara, patut diacungi jempol. Banyak orang menganggap Islam Nusantara adalah Islamnya orang Jawa, sehingga sentimen kesukuan dimunculkan untuk menolak konsep Islam Nusantara ini.

Namun, ketika mengisi pengajian di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, Riau, Gus Ghofur dengan tegas dan jelas mengoreksi salah paham itu. Bagi beliau, Islam Nusantara berasal dari Melayu. Bahkan, Mbah Moen (ayahanda Gus Ghofur) belajar Islam pada orang Sumatera. Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi juga gurunya pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari. Jadi, Jawa belajar ke Sumatera, atau sebaliknya, hal wajar di kala itu. Dari kebersamaan harmonis macam inilah, Islam Nusantara dibangun.

Islam Nusantara bukan Islam Jawa. Tapi, Islam yang sudah dikembangkan oleh leluhur kita di tanah Nusantara, yang sudah mendarah daging, menjelma nilai-nilai hidup secara harmonis, berpilin sangat indah antara Islam dan lokalitas.

Sebenarnya, Gus Ghofur dalam memperjuangkan Islam Moderat, Islam rahmatan lil alamin semacam ini, adalah fenomena “gunung es”. Jauh sebelum Gus Ghofur sudah ada kiai-kiai kaliber internasional, seperti Gus Mus (KH. Mustofa Bisri), Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), dan Profesor Quraish Shihab. Sedangkan Gus Ghofur adalah pelanjut dari tiga tokoh besar ini, walau kecenderungan intelektualnya lebih condong pada disiplin profesor Quraish Shihab.

Gus Ghofur pernah mengatakan, “kecintaan pada negara tidak boleh melebihi kecintaan pada agama. Begitu pun sebaliknya.” Dengan kata lain, keseimbangan harus dijaga. Nasionalisme tidak boleh mengorbankan agama. Ketaatan dalam beragama juga tidak boleh mengorbankan nasionalisme. Agama dan negara bukan perkara yang bertentangan.

Moderatisme Gus Ghofur berlandaskan sejarah. Beliau mencontohkan Nabi Muhammad saw yang sangat mencintai bangsa dan tanah Arab. Jangan heran, menurut Gus Ghofur, salah satu perjuangan Nabi adalah membebaskan tanah Arab dari pengaruh-pengaruh bangsa asing seperti Romawi dan Persia, atau Habasyah di Yaman.

Tahun 2011, sepulang dari Al-Azhar, Gus Ghofur diminta bergabung dalam Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor oleh sang Ketua Umum Nusron Wahid. Beliau dipercaya sebagai Ketua Bidang Kajian Islam, Dakwah dan Pengembangan Pesantren. Tuduhan miring sempat dilayangkan pada organisasi Banser sebagai organisasi murtad karena telah menjaga gereja. Gus Ghofur menjawab dengan merujuk pada sejarah, “jika Banser murtad, sama saja menganggap Khalifah Umar bin Khattab murtad.”

Islam di tangan Gus Ghofur menjadi rahmatan lil alamin. Menghargai keragaman keyakinan tanpa mengorbankan keyakinan diri sendiri. Ruchman Basori (Ketua Bidang Kaderisasi Pimpinan Pusat GP Ansor) mengatakan, “semula organisasi GP Ansor diisi oleh para aktivis murni, jebolan aktivis organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan seperti PMII, HMI, IPNU. Kini berubah. Dengan masuknya lapisan intelektual muda pesantren, (mereka akan menjadi) calon PBNU di masa depan”. Gus Ghofur akan mewarnai PBNU di masa depan ini.

Di lingkungan PBNU sendiri, Gus Ghofur berperan sebagai Katib Syuriyah. Gus Ghofur sangat dikagumi oleh banyak nahdiyyin dan digadang-gadang akan menjadi Ketua Umum PBNU kedepan. Bukan hanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi pengurus NU luar Jawa juga mengaguminya. Salah satu peranya yang cukup menonjol, disaat PBNU menolak menyebut kafir kepada orang non-muslim, termasuk mengharamkan Multi Level Marketing (MLM) yang mencekik orang kecil dan melanggengkan kapitalisme kelas, gus Ghofur terlibat secara aktif dalam merumuskan itu.

Terakhir, pengalaman persahabatan penulis di Mesir maupun Indonesia dengan Dr. KH. Abdul Ghofur, M.A., atau Gus Ghofur, adalah saksi keteladanan figur-figur ulama NU. Walau sebagai putra seorang Waliyullah, Mbah Moen Zoebair, guru Gus Baha’ itu, Gus Ghofur sangat tawadhu’ dan rendah hati. Wallahu a’lam bis shawab.

Pernah dimuat di tribunnews 19 Mei 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *