Saya sering kali memantau pekerjaan finishing masjid di pondok. Saya senang melihat semangat kerja para tukang, tak pernah kenal lelah demi mencari nafkah anak istri yang ada di rumah. Badan mereka sehat-sehat, barangkali karena selalu bergerak, keringatnya mengucur keras, tapi terus bekerja sambil mendengarkan suara radio atau hape yang menghibur mereka. Saya senang melihat mereka. Lebih senang lagi saat melihat mereka menerima bayaran mingguan. Wajahnya sumringah, walau uang yang diterima tak sebanyak yang diterima para pengusaha dan pejabat. Sumringah bukan masalah jumlah pendapatan, melainkan masalah kesyukuran hati.
Teringatlah saya pada kisah seorang tukang yang menjadi tokoh atau lakon dalam kisah kali ini, Pak Lupin, namanya. Setiap bulan beliau menerima bayaran 4 juta rupiah. Saat menerima uang, langsung uangnya dipilah-pilah: 250.000 untuk kontakan, 1.750.000 untuk makan keluarga, 750.000 untuk kebutuhan sekolah dan jajan 3 anaknya, 250.000 untuk arisan dan cicilan hutang, 250.000 untuk uang saku dirinya sendiri, 250.000 untuk bapaknya dan 250.000 untuk ibunya, serta 250.000 sebagai simpanan atau cadangan uang tak terduga.
Ada teman-teman sekerjanya yang bertanya: “Lho, bapak dan ibumu kan sudah menjbggal dunia? Mengapa masih mendapatkan jatah bulanan?” Dengan tersenyum sambil sedikit berlinang air mata Pak Lupin menjawab: “Iya, beliau memang sudah mati dan jasadnya ada di dalam tanah. Namun, ruhnya, semangatnya, cintanya, sungguh masih tetua hidup di dalam hati saya. Saya bisa hidup dan bekerja serta mendapatkan hasil kerja seperti ini adalah karena buah cinta dan doa beliau berdua. Mungkinkah saya melupakan mereka? Maka sebagian penghasilan saya, saya shadaqahkan atas nama mereka. Keinginan saya, beliau berdua tersenyum dan bangga memiliki anak seperti saya.”
Saya terenyuh mengetahui kisah ini, tak terasa menetes haru atas kebaikan hati sang peketja bangunan ini. Bagaimana dengan kita? Berbaktikah kita kepada kedua orang tua kita? Kalau orang tua kita sudah meninggal, masihkah kita mengingat mereka dengan mempersembahkan yang terbaik kepada mereka? Lakukan yang terbaik untuk mereka. Jangan hanya merebut dan memakan warisan beliau tanpa mempersembahkan kebahagiaan untuk mereka. Salam, AIM, Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya
No responses yet