Tanggal 1 Februari 2020 menandai gerakan perempuan dunia. Mereka merancang sebuah gerakan yang disebut “World Hijab Day”, yang sifatnya mendunia. Hijab diartikan tidak sebagai fashion, pakaian, melainkan diabstraksikan sebagai simbol gerakan kaum perempuan sedunia. Nazma Khan, perempuan berhijab asal Amerika, menyerukan agar perempuan yang mengenakan hijab dihormati.
“World Hijab Day” merupakan gagasan besar kaum perempuan muslim sedunia, dan karenanya jangan sampai disempitkan ke dalam ranah agama semata. Pada tahun 1979, hijab di Iran mengantarkan rezim monarki yang otoriter jatuh tumbang. Shah Reza Pahlevi terlalu mengagumi budaya Barat, sehingga melepas jilbab, burqa, dan hijab diwajibkan oleh negara.
Saat itu di Iran, memakai dan melepas jilbab/hijab bukan lagi perdebatan agama melainkan perang simbolik antara westernisasi versus nasionalisme. Kelompok nasionalis Islam Iran menggunakan hijab sebagai media perlawanan terhadap rezim. Itu terbukti berhasil. Setelah rezim Pahlevi tumbang beserta budaya Amerikanya, muslim Iran kembali bebas memilih: hendak memakai atau melepas hijab.
Tema hijab memang bukan persoalan agama semata. Karena itulah, ketika publik Perancis yang hijab-phobia, takut pada para pengguna hijab, muncul seorang perempuan bernama Fatima yang membela. Muncul juga the Collective Againts Islamphobia in France (CCIF), yang membela penggunaan hijab dan melawan hukum Prancis yang diskriminatif. Pembelaan lain datang dari Rachid Nekkaz, seorang pengusaha Al-Jazair, yang membayar uang denda ribuan wanita berburqa di Eropa.
World Hijab Day
World Hijab Day (Istimewa)
“World Hijab Day” patut diapresiasi. Ketika dunia Barat terlalu hegemonik dalam ekonomi dan politik melalui sistem kapitalisme yang digembar-gemborkannya, perempuan berhijab menjadi salah satu instrumen perjuangan untuk lepas dari neo-kolonialisme kultural itu. Masyarakat dunia ketiga pada umumnya, dan umat muslim pada khususnya, memang harus keluar dari jebakan neo-kolonialisme ini, setidaknya dengan bangga pada pilihan dan budaya diri sendiri.
Perempuan-perempuan muslim Eropa memang layak diacungi jempol dalam konteks kemampuan mereka memakai nilai-nilai Barat untuk menyerang sisi-sisi gelap peradaban Barat itu sendiri. Selama ini, demokrasi menjadi contoh yang tepat. Ketika Barat memperkenalkan sistem demokrasi dan spirit feminisme, lantas kenapa hari ini mereka phobia pada hijab? Bukankah memakai hijab adalah pilihan subjektif kaum perempuan?
Tekanan hukum, politik, dan mental yang dilakukan oleh masyarakat Eropa kepada kaum perempuan muslim bagaikan menjilat lidah sendiri. Mereka tidak sadar bahwa setiap perempuan memiliki hak yang setara. Memilih bertelanjang bebas di pantai-pantai, memakai pakaian yang mempamerkan buah dada dan paha, itu setara dengan perempuan muslim yang memilih memakai hijab dan menutup aurat. Tidak ada budaya yang lebih baik.
Inkonsistensi masyarakat Eropa dalam memperjuang feminisme sejati memang layak ditentang, salah satunya ditandai kemunculan CCIF di tas. Hari ini, World Hijab Day adalah simbol perlawanan massif yang berskala internasional. Dengan begitu, Hari Hijab Dunia tersebut harus dimengerti bahwa “budaya telanjang” yang dipopulerkan oleh perempuan Eropa tidak jauh lebih baik dibanding “budaya menutup badan” yang diperjuangkan oleh perempuan muslim.
World Hijab Day
World Hijab Day (Istimewa)
Perempuan muslim Indonesia memang memiliki nilai-nilai ketimuran yang jauh lebih luhur dibanding perempuan mana pun. Sebab, cara pandang dan sentuhan perempuan Indonesia pada urusan hijab ini adalah persoalan estetika dan seni. Karenanya, banyak sekali perempuan Indonesia menjadi pioner dalam memperkenalkan desain-desain hijab terbaru.
Di Indonesia, persoalan hijab tidak sekeras di Timur Tengah (Iran) yang mengarah pada gerakan revolusi, juga tidak sejahat Eropa yang ditarik ke urusan politik dan hukum. Hijab di Indonesia masih berputar di persoalan perdebatan kebudayaan dan teologi. Karena itulah, dengan kemunculan kaum perempuan yang bergerak di bidang seni desain, hijab Indonesia akan menjadi satu alternatif wacana internasioal di kemudian hari.
“World Hijab Day” bagi perempuan muslim Indonesia dapat menjadi ajang untuk berkolaborasi dengan perempuan-perempuan sedunia, untuk menyuarakan kebangkitan kaum perempuan sedunia, membela hak-hak mereka atas nama kebenaran dan nilai-nilai universal. Memakai hijab dapat jadi ajang perlawanan untuk tidak tunduk pada mereka yang represif di jalur kebudayaan. Tetapi, batas-batas pun harus dijaga. Ketika suatu saat penggunaan hijab semakin diterima, jangan sampai mengulangi kaum represif yang dilawan dengan menjadi pihak yang ikut represif pada siapapun di luar kelompoknya. Pernah dimuat di tribunnews
No responses yet