Basis teoretik kajian-kajian Islam Nusantara (“Is-Nus”), yang tepat, adalah studi-studi pascakolonial (“post-colonial studies”). Sedangkan salah satu basis teoretik studi-studi pascakolonial adalah Marxisme.
Itu berarti, ada kaitan tak langsung antara kajian Islam Nusantara dan Marxisme.
Tanpa didasarkan pada studi pascakolonial, kajian Islam Nusantara dapat menjadi domain sejarah murni yang deskriptif, sejarah yang “netral”, padahal tak ada (penulisan) sejarah yang netral. Risiko terjauhnya, kajian ini menjadi Orientalisme dengan tangan sendiri, di kampung halaman sendiri.
Ahmad Baso, pada beberapa tulisan awalnya, sudah memberi preseden dan contoh bagaimana mengerjakan kajian “Is-Nus” dengan pendekatan pascakolonial. Namun, pendekatan ini mulai ditinggalkan oleh generasi peneliti “Is-Nus” pada beberapa kurun tahun terakhir. Ia mulai digantikan oleh perhatian yang lebih besar pada filologi, sejarah biografi, atau hermeneutika.
Baso pun, yang awalnya cukup kental dengan beberapa rujukan Marxis-nya, juga meninggalkan rujukan ini dalam beberapa pemikiran akhirnya (bahkan terkadang fobi-Kiri), walaupun konstruksi pascakolonialnya masih kental — dan pada tataran abstraksi teoretiknya, lebih maju tinimbang beberapa penulis/peneliti kajian “Is-Nus” sesudahnya.
Apa arti dari pergeseran ini? Mungkin banyak, dan butuh refleksi yang lebih dalam dari sekadar status FB. Yang jelas, mungkin dua hal:
- sinyal bahwa para peneliti/pengkaji “Is-Nus” ini cenderung menghindari abstraksi yang rumit, epistemik, dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan menantang — lebih senang bergumul dengan fakta-fakta atau temuan data yang empiris. Abstraksi memang lebih sulit, karena membutuhkan upaya bernalar yang minimalnya mensyaratkan filsafat dan epistemologi kritis (termasuk Marxisme). Diam-diam, kajian “Is-Nus” dihinggapi positivisme.
- sinyal bahwa kajian-kajian “Is-Nus” ke depan akan semakin kehilangan watak kritis dan emansipatorisnya, lebih mudah untuk dikooptasi dan di-“market”-isasi untuk kepentingan-kepentingan, misalnya kepentingan Negara yang membutuhkan legitimasi untuk proyek deradikalisasi agama, atau kepentingan pasar secara umum (dalam kepentingan “men-transaksional-kan” Islam Nusantara agar menjadi “bargaining commodity” dalam dunia internasional yang makin dihantui oleh problem “security”, terorisme, dan sebagainya).
Ini memang membuat Is-Nus menjadi “seksi”. Namun, ini juga mencerabut Is-Nus dari kemungkinannya menjadi sarana artikulasi suara “disiden” dan vokal kaum-kaum (Muslim) “pribumi” melawan suara-suara yang lebih dominan (yang berafiliasi pada kekuatan pemodal, pemilik media arus utama, dan elite yang berkuasa).
Mau tak mau, kajian pascakolonial — metode dan teorinya — perlu kembali digalakkan di lingkar-lingkar kajian “Is-Nus”, dan mau tak mau kawan-kawan pengkaji “Is-Nus” perlu menggalakkan juga kajian Marxisme, jika tak mau melihat kedua gejala itu semakin berkembang.
Jika ingin membela “Islam Nusantara”, belalah kaum tani yang tanahnya digusur, bukan mencemooh Mama Dedeh atau mengolok-olok mereka yang belum mengerti.
“Islam Nusantara” sebenarnya adalah pembingkaian akademis dari keberislaman “orang desa”, yang guyub dan komunal. Tapi kalau desa-desa mengalami penghancuran dan kemerosotan kualitas kehidupan — tanahnya dialihfungsi, ditambang, digusur atas nama “pembangunan” (lagu lama era Soeharto), infrastruktur, dan modernisasi, kaum mudanya migrasi ke kota karena miskin dan menganggur, dan kesenian-budaya kaum tani hilang karena kaum tani harus bekerja lebih keras dan tak punya waktu luang, dan sederet krisis kehidupan desa yang lain — tidak ada substansinya membela “Islam Nusantara”. Karena kelak, 10-20 tahun lagi, corak kebudayaan yang hendak digambarkan oleh gagasan itu sudah musnah atau mungkin punah jika kita tak segera membendung semua arus merusak yang hari ini mengepung desa. Yang terkadang oleh sebagian kaum Nahdliyin didiamkan atau kurang disuarakan.
Belalah kaum tani dan bersuaralah lebih vokal terhadap pemerintah, dengan niat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Insya Allah para Wali Songo akan tersenyum di ‘sana’ dan Sunan Kalijaga tak sia-sia membuat tembang Ijo Royo-royo.
Ada salam untuk Sampeyan dari petani Kulonprogo, kapan bisa ke sana. Mereka sedang butuh Sampeyan.
Kaum Islamis garis Kanan itu tidak dapat mengerti mengapa di NU, orang dapat saling mengkritik tanpa membenci. Juga mengapa orang tetap dicintai, walaupun langkahnya dianggap keliru atau menyimpang dari konsensus (“syadz”, “nyleneh”).
Karena “metode kritik” di kalangan Nahdliyin itu sederhana: kritik apa saja, tapi jangan “ad hominem”! Sekali “ad hominem”, bukan lagi kritik yang lahir tapi kebencian. Dan orang Nahdliyin orang yang paling benci kebencian (oksimoron kedengarannya, tapi kira-kira begitu…). Sekali kebencian diudar, maka tujuh turunan Nahdliyin akan terus mengingat. Ambigu: Nahdliyin bisa menjadi sangat pemaaf, tapi terhadap pengudar kebencian, ia memaafkan tapi tak melupakan. Antropologi pemaafan semacam ini khas Nahdliyin, tapi bukan tanpa masalah, meski terbukti cukup kuat merekatkan persaudaraan di tengah pertentangan-pertentangan internal.
Paling praktis soal polemik Gus Yahya ke Israel itu, anggap saja itu langkah “nyleneh”, “khoriqul ‘adah”, atau “qaul syadz”. Kalau mereka tidak mengerti istilah-istilah ini, berarti mereka tidak pernah belajar Fiqh dan Ushul Fiqh.
Sedikit pengamatan. Peta diskursus Nahdliyin belakangan boleh dibilang “Rembang-sentris”, selain “Jombang-sentris” dan “Jakarta-sentris”. Ini otokritik. Padahal di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan lain-lain juga ada Nahdliyin dan ulama Nahdliyin. Tapi entah mereka tak mendapat perhatian sebesar kiai-kiai di simpul-simpul ang tadi disebut. Mengapa terjadi ketimpangan perhatian ini? Mari pikir.