Tangerang Selatan – Dalam diskusi Islam dan Kebangsaan di Islam Nusantara Center (INC) Sabtu 20 Mei 2017, Sofiuddin MA.Pd mengatakan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebenarnya bukanlah gerakan dakwah, melainkan gerakan politik. Gerakan politik yang berkedok gerakan dakwah.

“HTI itu bukan gerakan dakwah tapi gerakan politik, atau yang saya bahasakan lebih mudah lagi, gerbong-gerbongnya ini adalah gerakan dakwah tapi lokomotifnya adalah gerakan politik” jelas dosen Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an [STKQ] Al-Hikam Depok asuhan alm. KH Hasyim Muzadi ini.

Ia membuktikan pernyataannya tersebut dengan beberapa hal. Pertama dengan pembuktian tahun 2002 bahwa HTI memproklamirkan diri sebagai partai politik. Kedua, posisi HTI tidak terima pada NKRI karena dianggap ini kufur, toghut dsb. Tapi justru mendaftarkan diri ke Kesbangpol Mendagri dan mendapatkan SK tahun 2006. Kemudian tahun 2014 mendaftarkan lagi ke Kemenkumham. Seharusnya HTI menolak itu karena bagian dari sistem kufur dan taghut. Ini merupakan kamuflase dan strategi politik HTI saja.

Sofiuddin yang pernah aktif di HTI cukup lama paham betul bagaimana gerakan politik HTI yang dibungkus gerakan dakwah. “Ketika dia (HTI) melakukan pergerakan, diawali dengan gerakan dakwah, bukan gerakan politik, posisi awalnya. Sehingga yang sering terjadi kemelut di situ, HT ini gerakan dakwah atau politik.”

“Kemudian kita lihat cara dakwahnya, dia melalui pengajian-pengajian. Sehingga ini dikesankan sebagai gerakan dakwah. Ditambah lagi, isinya adalah untuk gerakan pemurnian kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Sistem negara dianggap tidak sesuai dengan Qur’an dan hadits. Sehingga yang disuarakan adalah menerapkan syariat Islam dan sistem Khilafah sebagai solusinya.”, tambahnya.

Perlahan langkah mereka itu menuju gerakan politik. Ini bisa kita ketahui melalui, metode atau manhaj yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir di berbagai negara. Sofiuddin menjelaskan ada empat marhalah atau tahapan metode yang dilakukan. Tahapan pertama pembinaan dan pengkaderan. Kedua, menyuarakan dan mengumpulkan ide-ide tentang khilafah Islamiyyah kepada masyarakat yang disebut agregasi. Ketiga, artikulasi atau penyuaraan. Bisa menggunakan orasi atau selebaran-selebaran berisi provokasi. Misalnya dengan judul Mau sampai kapan kalian mau dipimpin oleh negara yang dzolim, Mau Sampai Kapan menerima aturan-aturan yang tidak islami. Dan Keempat, representasi atau mewakili. Ini belum tercapai dari Palestina hingga Uzbekistan, mulai dari 1953 sampai sekarang.

Sofiuddin yang juga staf ahli di Watimpres ini menilai bahwa yang dilakukan oleh HTI bukanlah gerakan sosial-kemanusiaan dan juga bukan gerakan ilmiah. Misalkan, membangun pusat penelitian dan pengembabangan dll. “..Sehingga jika HTI dihadagi dengan ilmiah, menurut saya tidak pantas. Kenapa? Karena mereka menegaskan gerakan mereka bukan gerakan ilmiah dan bukan gerakan pendidikan”, pungkasnya. (MA)

One response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *