Manusia dan Problem Pengetahuan
Immanuel Kant (1724-1804), filosof brilian berkebangsaan Jerman, sempat kagum memandang posisi manusia dalam proses pencarian pengetahuan. Dalam magnum opus-nya, Critique of Pure Reason, dengan jenaka ia berseloroh bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang membingungkan; ia tak mau sekedar disebut bodoh atau tak berpengetahuan. Apesnya ia selalu memunculkan pelbagai pertanyaan yang tak semuanya bisa dijawab sendiri.[1]
Dalam perbincangan filsafat, selalu ada tiga komponen yang dilibatkan: Tuhan, manusia dan alam semesta. Ketiga komponen ini menjadi objek yang tiada henti untuk dieksplorasi sedalam-dalamnya. Meski dalam babakan sejarah, khususnya Islam, selalu saja ada resistensi sebagian sarjana untuk berusaha mengeliminasi komponen Tuhan dalam perbincangan filsafat, namun toh filsafat metafisika selalu saja mengemuka. Argumen mereka, yang sejatinya demi meneguhkan kekudusan Tuhan, selalu sama. Yakni, dengan “memfilsafatkan” Tuhan seolah kita sedang masuk ke dalam ranah yang tak pernah benar-benar kita yakini kebenarannya; terlalu banyak yang absurd dalam metafisika. Dengan ini, seolah mereka ingin melempangkan jalan bagi dominasi wahyu sebagai satu-satunya perangkat mengenali Tuhan. Hadits Nabi, “Renungi alam semesta, jangan kau pikirkan zat Tuhan!” menjadi senjata paling ampuh memberangus filsafat ini.
Namun, statemen Aristoteles (384 SM-322 SM) yang berangkat dari observasi sempurna di masanya agaknya meruntuhkan anggapan ini. Ia bersikukuh bahwa manusia selalu punya potensi berfilsafat dalam dirinya. Mengapa? Karena filsafat adalah kecenderungan alami untuk mempertanyakan “lingkungan” di sekitarnya, bagaimanapun caranya.[2] Ini mengapa filsafat selalu terdefinisikan sebagai al-bahts ‘an al-wujûd min haits huwa al-maujud: membahas eksistensi dari sisi ia ada. Dan ini adalah penegasan bahwa bidang filsafat selalu universal: mencakup segala hal, termasuk Tuhan! Tegasnya, sebagai makhluk yang berakal, manusia akan selalu berpotensi memikirkan segala hal, dan ini adalah legitimasi filsafat dalam diri manusia.
Dalam babakan sejarah Eropa, ada masa ketika akal manusia coba diberangus dengan kuasa agama. Kita kemudian mengenal The Dark Age (Era Kegelapan) yang selalu mengilustrasikan bagaimana dominasi gereja demikian menggurita sehingga membantai banyak ilmuwan yang “terpaksa” mempertanyakan otoritas gereja. Saya katakan terpaksa, karena sedari awal saya meyakini bahwa manusia, sebagai makhluk yang berakal, selalu otomatis mempertanyakan wacana yang ia terima, benar-tidaknya, tepat-salahnya. Dengan kata lain, tak ada kuasa manusia untuk menghindarkan dirinya dari memikirkan lingkungannya. Terlebih wacana gereja ini coba dipaksakan dan bertentangan dengan fakta di lapangan.
Babakan sejarah itu kemudian berbalik menjadi gerakan antitesisnya. Eropa masuk panggung sejarah humanistic periode. Berawal dari Italia, setelah Konstantinopel (sekarang Istanbul) dikuasai Dinasti Ottoman, para sarjana menggiatkan kembali tradisi berfilsafat Yunani. Sebagai gerakan perlawanan, tentu menyimpan getirnya. Kelompok ini kemudian antipati pada agama yang telah mengkebiri akal sehat mereka. Mereka ateis. Bahkan untuk mengakui eksistensi Tuhan, yang sejatinya diam-diam mereka terima, pun mereka enggan. Seolah Tuhan, yang tak bersalah dalam hal ini, harus menjadi “korban” kesalahan manusia dalam menyampaikan pesan-pesan ketuhanan. Ini ekses buruk pengajaran agama yang salah. Ini mengapa ajaran agama harus selalu tersampaikan sesuai dengan akal.
Benar, saat itu harga diri manusia kembali utuh. Tapi problem tak berhenti. Humanisme, sebagai gerakan mengagungkan kembali posisi manusia sebagai makhluk berakal, hanya berhasil menjadi persiapan masuknya gelanggang baru dalam sejarah Eropa: rennaissance. Selebihnya gagal. Kurang lebih ini yang disampaikan Michel Foucault (1926-1984). Ia melanjutkan:
“.. they were not able to conceive of man. Man, in the analitic of finitude, is strange empirico-transcendental doublet, since he is a being such that knowledge will be attained in him of what renders all knowledge possible. But did not the human nature of the eighteenth–century empiricist play the same role? In fact, what was being analysed then was the properties and forms of representation which made knowledge in general possible (it was thus that Condillac defined the necessary and sufficient operations for representation to deploy itself as knowledge: the reminiscence, self-conciousness, imagination, memory); now that the site of analysis is no longer representation but man in his funitude, it is a question of revealing the conditions of knowledge on the basis of the empirical contents given it.”[3]
“Humanisme Kebangkitan tak mampu memahami manusia. Manusia, dalam analisa terbatas, adalah pasangan aneh antara empirik dan transendental, karena ia adalah makhluk yang membuat setiap pengetahuan menjadi mungkin dalam dirinya. Tetapi, bukankah kondisi abad-18 juga memainkan peran ini? Faktanya, apa yang telah dianalisis di sana hanyalah perangkat dan bentuk-bentuk kehadiran yang semata membuat pengetahuan secara umum jadi mungkin (karena itu Candillac, seorang filosof Perancis yang concern dalam bidang psikologi, menawarkan proses yang memadai dan penting bagi sebuah kehadiran agar membuatnya sebagai pengetahuan itu sendiri, seperti kenangan, kesadaran diri, imajinasi, memori). Sekarang tak cukup hanya semacam itu. Analisa seputar manusia tak lagi hanya sebuah kehadiran, tapi manusia dalam keterbatasannya itu sendiri. Ini sebuah pertanyaan demi mengungkap prasyarat sebuah pengetahuan dalam basis fakta empirik yang mengitarinya.”
Dengan kata lain, Foucault, si jenius itu, pun mengakui bahwa humanisme dan renaissance (kebangkitan) sebagai sebuah kesatuan dalam gelanggang menggapai pengetahuan belum finis. Ia masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Paling krusial tentunya tentang manusia yang seharusnya humanisme, sebagai gerakan yang bukan hanya mengembalikan harkat manusia sebagai makhluk berakal, melainkan juga seharusnya mampu memberikan gambaran utuh seputar manusia dan memahaminya, mampu menjawabnya. Nyatanya tidak! Ia bahkan melanjutkan bahwa pengetahuan, termasuk seputar manusia dan posisinya, harus mampu didasarkan pada fakta empiris. Itu tuntutan masa sekarang katanya.
Usaha memanusiakan manusia ini akhirnya memberikan ide segar untuk mencetuskan human science. David Hume (1711-1776), filosof kawakan Skotlandia, dianggap tokoh pertama yang menggelontorkannya dalam karya A Treatise of Human Nature. Namun idenya absurd karena mencoba memahami manusia tak lebih dari seperti natural laws(hukum alam)lainnya. Ujarnya, “Alam manusia hanyalah merupakan sains tentang manusia; tetapi sampai sekarang masih disia-siakan.” Tambahnya, “Prinsip-prinsip alam manusia, saya usulkan sistem komplit seputar sains ini, harus terbangun dengan pondasi yang sepenuhnya baru.”[4]
Secara psikologis, usaha ini bisa dipahami sebagai jawaban tuntutan era itu saat sebelumnya manusia demikian direndahkan dan tercerabut kebebasan akalnya. Namun alasan ini rasanya tak menjadi tameng pembela konsep ini. Nyatanya, terma human science sedikit absurd menurut Foucault. Ujarnya, “Human science, jika kita mau jujur, tak sampai tingkatan body of knowledge(kerangka pengetahuan). Ia paling mentok ke body of discourse(kerangka wacana)saja!” Bukankah tuntutan humanisme sebelumnya adalah pengetahuan utuh seputar manusia? Sehingga, sekedar wacana jelas tak mencukupi.[5]
Menarik ketika Alexis Carrel (1873-1944), ilmuwan Perancis yang memenangkan hadiah nobel tahun 1912 dalam bidang psikologi dan kedokteran, menegaskan keabsurdan ini. Pada akhir karyanya Man The Unknown ia berkesimpulan bahwa sejatinya pengetahuan kita seputar manusia sangatlah minim. Apapun usaha kita, dengan pelbagai perangkat ilmu modern, akan menemui tembok buntu dalam usaha memahami manusia. Pada akhirnya, manusia sejatinya makhluk yang tak benar-benar kita pahami. Manusia adalah entitas yang tak dipahami. Man the unknown!
Human Science dan Problemnya
Untuk lebih memantapkan informasi di atas, mari saya paparkan pada Anda bagaimana kinerja human science. Ini langkah awal saya sebelum nantinya menawarkan solusinya dengan teori pengetahuan yang saya adopsi dari turats Islam klasik.
Human science secara sederhana didefinisikan sebagai sebuah sains tertentu yang membahas secara khusus aksi dan tingkah manusia. Menarik, ketika menggunakan terma science, sejatinya para pelopornya berusaha memberi jawaban atas kesenjangan yang selama ini dirasa dalam pembahasan seputar manusia. Ketika alam semesta berhasil dieksplorasi habis-habisan dan mencapai titik kepastian yang meyakinkan, pertanyaan yang menggelayut di kepala para perintisnya adalah: mengapa kita tak menerapkan standar yang sama dalam membahas manusia sehingga memberi kepastian wacana seperti yang berhasil dilakukan pada alam semesta? Ini sebenarnya kata kuncinya.
Ambisi ini tentunya mengharuskan mereka menerapkan kepastian matematis sebagai sebuah legitimasi disebut sains. Karena itu, David Hume berambisi menerapkan mekanisme yang matematis an sich dalam wacana kemanusian. Namun usaha ini terhadang oleh kecenderungan positivisme dalam sains yang diimani banyak ilmuwan. Mudahnya, jika human science ingin disebut science, ia juga harus berkecenderungan positivisme dalam metodologi dan wacananya.
Karena ini, kemunculan human science sangat kontroversi. Dilthey dan Neo-Kantian bersikukuh bahwa ambisi ini tak tepat. Mengapa? Karena eksplorasi seputar manusia tentunya membutuhkan metode yang berbeda dari yang diterapkan pada alam semesta. Ini timbul karena alam semesta memiliki kepastian tertentu yang berbeda dari fenomena manusia. Ketika satu metode diterapkan dalam dua bidang yang berkarakter lain, akan menimbulkan kerancuan yang luar biasa.
Argumen Wilhelm Dilthey (1883-1911) ini bertahan dari satu dekade ke yang lainnya, meski pada arus lain kemunculan psikologi, antropologi, sosiologi, dan ekonomi sebagai ilmu-ilmu yang membahas fenomena manusia tetap saja meruyak. Belum dicapai kata sepakat seputar keabsahannya namun dalam titik tertentu semua cabang ini sedikit berhasil mewacanakan metodenya yang saintis dalam eksplorasi fenomena manusia. Artinya, perdebatan legitimasi human science belum selesai, namun cabang dan turunannya begitu saja meruyak laris.
Sampai akhirnya, positivisme yang diwacanakan sebagai prasyarat mutlak sebuah sains pun tergugat. Muncul arus postpositivisme yang berusaha meyakinkan para ilmuwan bahwa kepastian dalam sains pun layak dipertanyakan. Ketika kepastian sains dipertanyakan, kenapa pula mempermasalahkan kepastian human science sebagai sebuah sains? Saat positivisme berusaha mewacanakan bahwa sains yang benar-benar sains harus memenuhi kriteria kepastian mutlak dalam hipotesanya yang diantaranya harus bersifat empiris, matematis, dan objektif, di sisi lain postpostivisme berusaha menggelontornya. Yang terakhir memberikan contoh bahwa Biologi pun sampai sekarang tak mampu memberi jawaban pasti seputar fenomena biologis: kematian.
Mereka menambahkan bahwa setiap teori dalam sains yang muncul seringkali dapat teranulir dengan teori berikutnya yang lebih mutakhir. Toh itu masih disebut sains. Dengan kata lain, standar kepastian mutlak tentu tak bisa diaplikasikan secara radikal pada sains. Karena itu sama saja memberangus semua sains yang terbukti kurang tepat, meski pada kurun berikutnya mungkin saja terbukti benar. Meski, mereka tak mampu menjawab bahwa benang merah dari setiap sains adalah objektif, matematis, dan terukur secara induktif. Dan ini dimiliki oleh semua ilmu yang disebut sains. Sedang fenomena manusia yang demikian relatif itu terlalu naif kita ukur dengan hitungan matematis, apalagi absolut. Sehingga human science yang mengandaikan perhitungan matematis masih sangat layak diperdebatkan.
Sampai saat ini, perdebatan seputar human science berkisar pada postpositivisme ini. Perlu dicatat, bahwa postpositivisme bukan satu aliran dengan kesepakatan proposisi tunggal. Ia lebih merupakan cara pandang pada pengetahuan. Paling tidak postpositivisme memiliki empat arus dalam beberapa dekade ini. Pertama, peralihan linguistik dalam filsafat sains seperti tergambarkan pada karya-karya akhir Wittgenstein (1889-1951). Implikasinya kemudian akan disuarakan oleh Quine (1908-2000), Kuhn (1922-1996), Toulmin (1922-2009), Hesse, dan sarjana lain yang mempertanyakan status kebenaran mutlak dalam sains dan seberapa jauh hubungannya dengan realitas ekstralinguistik. Kedua, keraguan yang berkelanjutan terhadap teori sistem dan aplikasinya pada organisme yang begitu komplek seperti manusia. Ketiga, usaha keras dalam mengembangkan teori seputar aktivitas manusia yang mencakup ide-ide soal tujuan dan aktivitas acak manusia. Keempat, usaha Heidegger (1889-1976) dan Gadamer (1900-2002) dalam filsafat hermeneutik demi membangun epistemologi fundamental yang menyuarakan kebenaran apodiktik (apodictic truths).[6]
Foucault dalam The Order of Things berusaha memaparkan kinerja human science ini. Sebagai tokoh yang tergambar melalui buku karya Hubert L. Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, ia secara jenius memampang-kritisi metodologi human science. Ia menulis:
“We must now sketch out the form of this positivity. Usually, the attempt is made to define it in terms of mathematics: either by trying to bring it as near to mathematics as possible; by drawing up an inventory of everything in the sciences of man that is mathematicizable, and supposing that everything that is not susceptible of such a formalization has not yet attained to scientific positivity; or, on the contrary, by trying to distinguish very carefully between the domain of the mathematicizable and that other domain which is regarded as irreducible to the former because it is the locus of interpretation, because the methods applied to it arc above all those comperhension, because it finds itself wound around the clinical pole of knowledge.”[7]
“Kita sekarang harus melukiskan bentuk positivisme human science ini. Biasanya, usaha itu dengan cara mendefinisikannya dalam perhitungan yang matematis: baik mencoba membawanya sedekat mungkin pada bentuk, performa dan teori-teori matematika; melukiskan detil-detil segalanya dalam sains tentang manusia yang matematis, dan meyakini bahwa segala hal yang tak tersemat semacam formalisasi ini tak mencapai positivisme sains; atau, sebaliknya, dengan berusaha memilah dengan begitu teliti antara domain yang berkarakter matematis dan selainnya yang dianggap tak memadai ke matematis karena itu adalah lokus penafsiran, karena semua metode yang diaplikasikan padanya memancarkan semua pemahaman ini. Juga karena itu sendiri selalu tak cocok dengan kutub umumnya pengetahuan.”
Seperti yang saya paparkan di atas, usaha ini terlihat ambisius karena berupaya me-matematika-kan fenomena yang sepenuhnya cair dan relatif: fenomena manusia. Karenanya ambisi ini menemukan kesulitannya tersendiri—jika enggan mengatakan mustahil. Ini juga dirasakan Foucault yang memaksanya harus mengkritiknya secara langsung dan berujar:
“Such analyses are wearysome not only because they are hackneyed but, above all, because they lack relevance. Certainly there can be no doubt that this form of empirical knowledge which is applicable to man (and which, in order to conform to convention, we may still term ‘human sciences’ even before we know in what sense and within what limits they can be called ‘sciences’) has a relation to mathematics: like any other domain of knowledge, these sciences may, in certain conditions, make use of mathematics as tool; some of their procedures and a certain number of their results can be formalized. It is undoubtedly of the greatest importance to know those tools, to be able to practise those formalizations and to define the levels upon which they can be performed..”[8]
“Analisis semacam di atas cukup meletihkan bukan hanya karena sudah usang tapi, yang paling utama, sudah tak relevan. Jelas tak ada keraguan bahwa bentuk pengetahuan empiris yang aplikatif pada manusia ini (dan, demi mengikuti istilah konvensional, yang kami masih sebut “human science” meski sebelum kita tahu dalam batasan dan logika apa itu disebut sains) memiliki sebuah relasi pada matematika: seperti domain pengetahuan lain, sains ini masih, dalam beberapa kondisi, bisa menggunakan matematika sebagai perangkatnya; beberapa prosedur dan hasilnya bisa dibentuk demikian. Tak diragukan pula demikian pentingnya mengetahui pelbagai perangkat ini, agar mampu mengaplikasikan formalisasi ini dan demi mendefinisikan level-level yang bisa ditampilkan.”
Dengan kata lain, meski Foucault meragukan keabsahan mutlak metodologi human science yang menggunakan perangkat matematika sebagai pirantinya demi menyingkap fenomena manusia, namun dalam batasan tertentu jelas matematika juga masih layak dipergunakan dalam beberapa level human science, semisal beberapa proseduralnya yang biasanya induktif dan gaya pemaparan hasilnya yang bisa pula matematis. Ini mengapa penulis bibliografi Foucault masih menganggapnya sebagai ilmuwan human science. Bahkan ia dianggap sebagai tokoh yang dalam titik tertentu menyempurnakan teori ini.
Saya pribadi, tak sepenuhnya menolak human science sebagai sains yang layak diapresiasi. Namun, saya harus berkata jujur bahwa dalam beberapa kondisi dan prosedurnya, terutama dalam ambisi para pengelunya yang terkesan idealis, masih meragukan dan kurang valid. Meski, sebagai sebuah amanat ilmiah, saya meyakini bahwa karakter matematis dalam human science ini tak sepenuhnya salah. Ia masih menyimpan kebenaran dan turut andil dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Lebih jelasnya, Foucault mencontohkan beberapa aplikasi matematika dalam human science yang tentu saja tak bisa kita ingkari kevalidan, atau paling tidak, manfaatnya dalam memproyeksikan aktivitas, prosedur, dan fenomena manusia secara umum. Dia melanjutkan:
“..it is no doubt of interest historically to know how Condorcet was able to apply the calcualtion of probabilities to politics, how Fechner defined the logarithmatic relation between the growth of sensation and that of excitation, how contemporary psyco-logist make use of information theory in order to understand the pheno-mena of learning.”
“Tak diragukan secara historis manfaat untuk mengetahui bagaimana Condorcet, filosof-matematikawan Prancis penemu metode Condorcet, mampu mengaplikasikan perhitungan teori kemungkinan pada politik; bagaimana Fechner, psikolog Jerman, menjelaskan hubungan logaritmatik antara berkembangnya sensasi dan berkembangnya eksitasi; bagaimana psikolog logika kontemporer menggunakan teori informasi demi memahami fenomena pembelajaran.”
Foucault melanjutkan bahwa meski aplikasi demikian memungkinkan, dalam titik tertentu aplikasi matematika jelas tak bisa diterapkan secara radikal dan universal pada setiap fenomena manusia. Ujarnya bahwa aplikasi ini hanya mengambil possiblities of mathematicization (kemungkinan-kemungkinan matematis) semata. Atau, boleh juga dianggap semacam de-mathematicization.[9]
No responses yet