Salah satu sisi kemukjizatan Al-Qur’an adalah kemukjizatan ilmiah (i’jaz ‘ilmi), yang memberikan sejumlah penyingkapan atas fakta-fakta fisik, kimiawi, biologis, dan kosmologis yang belakangan diafirmasi dan diperjelas kembali oleh sains modern. I’jaz ‘ilmi ini masih akan terus berkembang seiring potensi manusia membuktikan pernyataan-pernyataan dan berita-berita masa depan yang diungkap Al-Qur’an. Dalam term yang lain, saya akan menyebut kemukjizatan ini sebagai i’jaz kauni, kemukjizatan kosmik, karena terkait fenomena empiris di alam semesta.

Namun, yang belum pernah disentuh barangkali adalah kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi filosofis; kita dapat menyebutnya “i’jaz falsafi”.

Kemukjizatan ini kurang lebih dapat dipahami sebagai keunggulan Al-Qur’an sebagai suatu keterangan (bayan) yang memuat petunjuk-petunjuk akan suatu corak berpikir tertentu yang mampu mengoreksi atau mengatasi keterbatasan sistem-sistem filsafat yang pernah berkembang atau akan berkembang dalam peradaban manusia, dari dulu hingga nanti. Juga mengantisipasinya.

Sejauh ini, belum pernah dikenal teori tentang kemukjizatan filosofis ini.

Pertama, karena rasa canggung para filsuf membaca Al-Qur’an secara sistematik, karena dikhawatirkan menyalahi kaidah tafsir yang baku. Selain terkadang karena “gengsi” pribadi para filsuf jika mengutip Al-Qur’an pemikirannya tampak tidak orisinal, atau dicap “tekstualis”. 

Kedua, karena filsafat barang asing bagi umat Islam yang masih dipandang dengan curiga, alih-alih lapang dada. Seringkali tuduhan “liberal” akan datang ketika hal-hal berbau filsafat diterapkan kepada Al-Qur’an.

Maksud lebih tepatnya, bukan menafsirkan Al-Qur’an dengan filsafat tertentu, atau mengekstrapolasi pandangan filosofis tertentu untuk kemudian diterapkan begitu saja kepada Al-Qur’an. 

Maksudnya adalah: menggali “sistem filsafat” di dalam Al-Qur’an sedemikian rupa secara mendalam, koheren, sesetia mungkin kepada ilmu-ilmu tradisional Al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an) sebagai perangkat awalnya, juga mengacu kepada tafsiran berbagai mufassir dari berbagai masa, untuk kemudian menunjukkan “rangka tubuh” bangunan argumen Al-Qur’an secara filosofis, baik secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis, sedemikian rupa dan melakukan penghadap-hadapan serta dialog yang intens antara Al-Qur’an dan filsafat-filsafat Timur maupun Barat, yang pernah ada.

Misalnya, bagaimana jika Al-Qur’an berdialog dengan Platonisme? Dengan Idealisme Jerman atau Cartesianisme? Dengan Filsafat Analitik? Dengan filsafat Hindu? Dengan Taoisme? Dengan Marxisme? (Percobaan dengan Marxisme ini pernah saya lakukan beberapa kali dalam sesi Ngaji di Masjid Jenderal Soedirman Jogja, dan meski belum final, sudah mulai tampak benih-benih pemikirannya). Dan seterusnya.

Hal ini mensyaratkan dua hal yang sama beratnya: penguasaan atas tradisi tafsir Al-Qur’an dan penguasaan atas filsafat itu sendiri. Ini juga mensyaratkan corak analisis yang ketat, seperti corak analisis filosofis, yang lagi-lagi masih asing bagi mayoritas umat Islam. Sekurangnya, ini mensyaratkan ilmu yang akan saya sebut “logika Al-Qur’an” (manthiqul Qur’an), sebagai dasarnya, untuk menunjukkan bagaimana proposisi-proposisi Al-Qur’an bekerja dan berkorespondensi. Sebelum nantinya dikomparasikan dengan sistem filsafat yang lain.

Ini akan terdengar “gila”. Tapi ini perlu, karena:

Pertama, Al-Qur’an memiliki kemukjizatan. Salah satu cara mempertebal keyakinan atas kemukjizatan Al-Qur’an adalah dengan membuktikannya. Jika Al-Qur’an telah mencengangkan ilmuwan di bidang sains melalui kemukjizatan ilmiahnya (yang sekalipun demikian, masih terus disangkal sebab prasangka Islamofobia atau prasangka lain yang menempatkan Al-Qur’an sekadar teks “biasa” yang sama seperti literatur lain); bisakah kita juga membuktikannya pada ranah filsafat? Mengingat dominasi filsafat hari ini dalam membentuk kehidupan manusia kontemporer.

Kedua, Al-Qur’an memuat banyak pernyataan yang secara filosofis belum sepenuhnya dikaji, meski telah diimani. Misalnya, pembedaan Al-Qur’an antara “ar-ruh” dan “an-nafs”, antara Roh dan Diri, yang dapat dikaji dalam dialognya dengan Aristotelianisme, misalnya, via konsep “psukhé”. Dan banyak lagi. 

Jika kita meyakini bahwa konsepsi Al-Qur’an mengenai Diri, misalnya, lebih unggul dan terpercaya (reliable) daripada konsepsi-konsepsi filsafat modern tentang Diri, seperti ditulis oleh Charles Taylor dalam “The Sources of Self”, maka di situ letak “kritik Qur’ani” atas filsafat tersebut. Dan di situ terletak kemukjizatannya.

Ketiga, Al-Qur’an adalah petunjuk  (hudan lin-naas) yang akan berlaku bagi manusia sepanjang zaman. Sebagai petunjuk, tidak diragukan lagi, Al-Qur’an akan terus mengoreksi kesalahan-kesalahan berpikir umat manusia melalui, tentu saja, sudut pandang keilahian Allah yang agung. Filsafat hasil pemikiran manusia pun tidak luput dari cakupan audiens (mukhothob) yang dituju oleh Al-Qur’an.

Bagi kalangan anti-filsafat yang menganggap remeh filsafat, tawaran ini pasti mengada-ada, karena bagaimana mungkin kemuliaan derajat Al-Qur’an harus “disandingkan” dengan pemikiran manusia yang fana dan sarat pertentangan? Anggapan ini semata mengabaikan kandungan ilmiah yang luar biasa kaya pada Al-Qur’an, yang lebih banyak tersembunyi karena keengganan umat Islam mengkajinya secara mendalam (kecuali dengan ilmu-ilmu tradisional yang telah ada dan menjadi norma). Anggapan ini juga pastilah keluar dari orang yang awam filsafat.

Mengkaji Al-Qur’an dan mendialogkannya dengan ilmu-ilmu, tak akan mengurangi sedikit pun derajat Al-Qur’an. Sebaliknya, makin menunjukkan kemuliaan Al-Qur’an hatta bagi para penentangnya atau pengkritiknya.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *