11.07.13, aku menulis di linimasa ini begini.
Imam al-Syafi’i (w.204 H), adalah tokoh besar, pendiri aliran fiqh yang disebut dengan namanya : madzhab al-Syafi’i. Lahir di Palestina dan besar di Makkah, lalu mengelana ke Yaman, terus ke Bagdad, Irak untuk belajar kepada Muhammad bin Hasan (murid Imam Abu Hanifah). Di sini beliau menulis, mengajar dan memberikan fatwa. Pandangan fiqhnya di sini disebut “Qaul Qadim”.
Lalu ke Mesir untuk belajar lagi ke sejumlah ulama di sana, antara lain kepada perempuan ulama : Sayyidah Nafisah. Di tempat ini beliau mengajar dan memberikan fatwa terbarunya yang disebut “Qaul Jadid”.
Jadwal aktivitas harian
Hari-hari al-Imam dilalui dengan aktivitas ilmu pengetahuan. Tak ada hari al-Imam tanpa membaca, menulis, mengajar/memberikan kuliah dan memberikan fatwa. Jadwal kegiatan Imam al Syafi’i (w. 204 H) sehari-hari di masjid Amr bin Ash, Mesir, adalah sebagai berikut : Sesudah shalat subuh sampai matahari terbit : mengajar al Qur-an dan ilmu-ilmu al Quran. Dari terbit matahari sampai jam 09.00 : memberikan kuliah ilmu Hadits kepada para mahasiswa. Begitu selesai, teman-temannya, yang adalah para ulama, datang untuk berdisksusi. Kemudian dilanjutkan dengan pengajaran bahasa dan sastra Arab. Ini berlangsung sampai tengah hari. Setelah itu ia pulang bersama teman-teman dan mahasiswa-mahasiswa pasca sarjana. Mereka antara lain adalah : Muhamad bin Abdullah bin Abd al Hakam, al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi (w. 270 H) dan Abu Ibrahim Ismail al Muzani (w. 264 H/878 M).
Bila sore tiba, Imam Syafi’i kembali ke Masjid, tetapi mampir ke rumah sayyidah Nafisah untuk mengaji dan diskusi.
Al-Syafi’i termasuk ulama yang menyukai dan memberikan ruang kebebasan berpikir bagi para santrinya. Dikatakan :
كان الشافعى يمنح حرية التفكير لتلاميذه
Kepada para mahasiswanya ia selalu mengatakan :
اذا ذكرت لكم دليلا او برهانا لم تقبله عقولكم فلا تقبلوه لان العقل مضطر لقبول الحق
“apabila argumen-argumenku kurang tepat menurut kalian, maka tidak perlu kalian terima, karena akal pikiran meniscayakan pikiran yang benar”.
Ia juga ulama yang selalu menganjurkan perlunya spesialisasi ilmu pengetahuan. Kepada para mahasiswanya ia seringkali mengemukakan hal ini. Katanya :
ما ناظرت ذا فن واحد إلا غلبني، وما ناظرت ذا فنين أو أكثر إلا غلبته.
“Aku selalu kalah berdebat apabila berhadapan dengan seorang spesialis. Sebaliknya, aku dapat mengalahkan dengan mudah seorang generalis”.
Al-Imam, adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar berpikir dalam pengambilan keputusan hukum Islam yang disebut “Usul al-Fiqh”. Ahmad bin Hambal, muridnya, menyebutnya bagaikan “Aristoteles”, filsuf Yunani terbesar yang menyusun teori berpikir benar atau Ilmu Mantiq.
Cirebon, 11-07-13
Repost, 11.07.21
HM
No responses yet