Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kepada nabi Muhammad, salah satu yang paling populer adalah ayat atau Wahyu pertama kenabian beliau yakni surat Al alaq. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”, begitulah kira-kira terjemahan sederhananya. Meskipun terlihat sederhana sebagai kalimat dengan pesan tersurat, tapi begitu syarat dengan makna yang tersirat. Sebab membaca adalah bukan semata aktivitas biologis, atau intelektual yang bernuansa rasional, tetapi juga aktivitas spiritual yang bernuansa ruhaniyah. Karena itulah setiap mengawali pembacaan kita diwajibkan menyandarkan setiap kesimpulan pada keniscayaan bahwa kebenaran sejati adalah milik Tuhan. Manusia selalu berada dalam ruang kemungkinan salah dan benar. Bukan selalu dalam kepastian kebenaran.
Membaca adalah pintu pembuka amalan atau perbuatan. Karena setiap amal perbuatan selalu diawali dengan proses “pembacaan” atas situasi yang dipahami setiap manusia yang memiliki kesadaran. Seorang pengendara akan berhenti setelah “membaca” makna lampu merah pada lampu lalulintas dan kaan melanjutkan perjalanannya ketika sudah “membaca” lampu hijau. Sama dengan seorang alim yang membaca Al Qur’an, maka dia akan mengamalkan bacaan sekuat mungkin sebelum melanjutkan pembacaan berikutnya. Nabi Muhammad selalu mengamalkan setiap Wahyu yang diterima dengan sepenuh hati sebelum mendapatkan Wahyu berikutnya. Demikian juga dengan para sahabat terbaik beliau dan para tabi’in serta ulama yang terjaga dari kelalaian sebab duniawi. Mereka akan mengamalkan satu ayat yang dibaca sebelum melangkah membaca ayat yang lain. Itulah kenapa Al Qur’an itu begitu berat sehingga gunung pun tak sanggup menerima dan akan hancur lebur tak kuat menanggung amanahnya.
Begitu pentingnya pembacaan atas nama Tuhan ini, sehingga Al Qur’an disusun dengan diawali kalimat Bismillahirrahmanirrahim. Kalimat indah yang disematkan pada awal surat Al Fatihah yang juga memayungi keseluruhan nilai dan ajaran Islam. Ajaran yang mengajak pada proses “ketundukan” pada zat yang Maha Pengasih dan Penyayang. Zat dimana semua bentuk pujian hanya berhak disematkan pada Nya. Kalimat Bismillahirrahmanirrahim ini seharusnya menyadarkan kita bahwa kita adalah pemuja dan bukan objek (apalagi mendaku sebagai subjek) yang haus puja. Setiap kemuliaan adalah milik Tuhan dan mahluk ciptaan Nya adalah citra dari Diri Nya. Apapun kemuliaan yang melekat pada kita dan mahluq lainnya adalah tanda dari pemberi tanda (Tuhan), bahwa dialah Sang Pemilik semesta. Tak layak ada kebanggaan apalagi kesombongan yang melekat pada diri mahluq. Sebab semuanya itu adalah milik Allah Tuhan semesta alam.
Begitulah salah satu hasil bacaan terhadap ayat pertama yang seringkali disalahpahami dan disamakan sebatas dengan melafadzkan atau membunyikan rangkaian huruf, kata dan kalimat. Dimana kemudian diyakini jika dilakukan akan berpahala 1 dari setiap huruf yang dibunyikan. Tentu saja pembacaan semacam ini yang kemudian melahirkan keyakinan kolektif dan melahirkan “tradisi tadarus” dalam pengertian tradisional ini tidaklah salah. Tetapi mereduksi makna iqra’ dengan sebatas membunyikan tentu akan mengerdilkan keluasan makna ayat ini yang begitu indah dan penuh hikmah. Maka menjadi sangat penting mengabarkan kepada ummat bahwa perintah iqra’ ini hakekatnya adalah memahami dan mengamalkan hikmah yang tersurat dan tersirat di dalamnya. Sekali lagi iqra’ atau membaca bukan semata aktivitas biologis dan intelektual semata, lebih dari itu, iqra’ adalah aktivitas spiritual yang lekat dengan nuansa ruhaniyah. Karena itu puncak kesadaran dari aktivitas membaca adalah penyatuan Cinta dengan penuh kepasrahan kepada Zat yang Maha Pengasih dan Penyayang. #SeriPaijo
No responses yet