Ust. Edi Sutrisno

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah Agama Ibrahim seorang yang hanif.” Dan Bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. Al-Nahl: 123)

Pada di­ri manusia, ter­dapat kecenderungan atau dorongan ingin melanggar, yang di antaranya disebabkan oleh sifat-sifat ma­nusia yang ingin selalu cepat, serba in­stan. Namun, pa­da diri manusia juga ditemukan adanya dorongan halus yang selalu mengajak atau membisikkan keinginan berbuat baik dan mencintai kebaikan, yang bersumber dari hati nu­rani. Dorongan halus tersebut dalam idiom Al-Quran dise­but hanif.

Hanif juga bisa diartikan sebagai berpaling dari keburukan dan condong pada kebaikan; orang muslim yang berpaling dari semua agama yang ada atau orang yang hanya cenderung pada kebenaran; orang yang menghadapkan dirinya ke arah kiblat, yakni baitul haram, karena mengikuti agama nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad; orang yang ikhlas; orang yang bersikap pasrah dalam menerima semua perintah Allah dan tidak menyimpang sedikitpun. Hanif juga sering diartikan sebagai al-mustaqim (yang lurus).

Dalam Tafsir Jalalain, disebutkan bahwa hanif adalah berpaling dari semua agama dan cenderung hanya pada agama yang lurus (ad-din al-qayyim). Sementara itu, Ath-Thabari, dalam kitab tafsirnya, menyatakan bahwa para ahli takwil berbeda pendapat mengenai pengertian kata hanif. Sebagian mengartikannya sebagai ibadah haji; sebagian mengatakan bahwa agama Nabi Ibrahim disebut dengan al-Islâm alhanîfiyah karena beliau merupakan imam pertama para ahli ibadah pada zamannya dan orang-orang yang datang setelahnya sampai hari kiamat; mereka adalah kaum yang mengikuti ibadah haji dan meneladaninya dalam ibadah tersebut. Mereka mengatakan bahwa setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan mengikuti tata cara haji Nabi Ibrahim adalah hanif dan berserah diri (hanifan musliman) pada agama Nabi Ibrahim.

Sebagian mengatakan bahwa agama Nabi Ibrahim disebut dengan al-hanifiyah karena beliaulah yang pertama kali mensyariatkan khitan, yang kemudian diikuti oleh orang-orang yang datang setelah beliau. Karena itu, dikatakan bahwa setiap orang yang berkhitan dengan mencontoh tata cara khitan nabi Ibrahim, berarti dia seorang yang hanif. Ada juga yang berpendapat bahwa hanif adalah mukhlish (orang ikhlas) sehingga orang hanif adalah orang yang mengikhlaskan (memurnikan) agamanya hanya untuk Allah semata. 

Istilah hanif atau al-hanifiyah (agama hanif) tidak begitu popular di lingkungan umat Islam di Indonesia. Sehingga ketika disebut agama hanif (agama yang condong kepada kelurusan, kebenaran, kebaikan) masih terasa asing. Kata hanafa telah dikenal dalam bahasa yang berlaku ketika itu di lingkungan masyarakat Arab. Di kalangan orang Arab dan Suryani kata hanafa dimaksudkan Shaba’a yang berarti condong dan terpengaruh oleh sesuatu. Al-Qur’an juga berbicara tentang al-Hunafa’. Kata Hanifan diulang sepuluh kali dalam Al-Qur’an, sedangkan kata Hunafa’ diulang 2 kali. 

Al-Hunafa’ dengan demikian, adalah kumpulan orang-orang dengan segenap keistimewaan yang ada pada dirinya, seperti kecerdasan akal dan pengetahuannya yang luas, pandangan-pandangannya sangat kritis terhadap problematika kehidupan. Mereka dipandang relatif lebih berbudi pekerti luhur dan terpelajar. Mereka menolak menyembah berhala karena dipandang sia-sia, dan mengajak kepada ketauhidan. Mereka menjauhkan diri dari menyembah berhala dan melainkan mereka menyuarakan ke-Esaan Allah. Demikian pula mereka mempunyai kelebihan dalam tingkah laku dan moralitas sehingga mereka menolak segala kehinaan yang tersebar di masyarakatnya, seperti zina, minum khamr, dan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Dan tentu saja, semua itu merupakan ajakan demi tersebarnya agama hanif sebagai pencarian terhadap agama baru yang lebih rasional.

Semua faktor-faktor tersebut telah berinteraksi sehingga berkembang dan melahirkan fenomena agama hanif dan tersebar di seluruh penjuru, khususnya di kota-kota atau pusat-pusat kebudayaan. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa fenomena al-Hunafa’ tersebut merupakan langkah awal bagi munculnya ‘kesadaran’ dalam ber-Islam dan juga kesadaran dalam membangun peradaban. Mereka hidup dalam peradaban yang tinggi. Hal itu karena kebanyakan mereka telah mempelajari kitab suci kedua agama Semit (Yahudi dan Nasrani). Sebagian telah menguasai bahasa yang lain selain bahasa Arab, seperti bahasa Ibrani (Hebrew) dan Suryani. Semua itu dimaksudkan untuk mencari agama Nabi Ibrahim, sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur’an dengan sebutan hanif yang dalam bahasa teologi Islam justru termuat dalam paham tauhid, yang akan membawa kepada siapa saja yang mempercayainya kepada suatu sikap pasrah kepada Tuhan sebagai suatu bentuk ketundukan. Sejalan dengan pengertian “Islam” itu sendiri, sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan”.

Perlu diuraikan juga di sini bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, mem­­­­punyai kedudukan yang khu­sus dalam pandangan kaum Mus­lim karena agama mereka adalah pendahulu agama kaum Muslim (Islam), dan agama kaum Muslim (Islam) adalah kelanjutan agama mereka. Sebab inti ajaran yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. adalah sama dengan inti ajaran yang di­sam­paikan oleh Tuhan kepada semua Nabi. Karena itu, sesungguhnya se­luruh umat pemeluk agama Allah adalah umat yang tunggal. Karena itu para penganut setiap agama dituntut untuk meng­amalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam masing-masing agama itu. 

Ada kisah yang terkait dengan ajaran Islam yang hanif atau al-hanifiyyat al-samhah, yaitu sikap merindukan, mencari, dan memihak kepada yang benar dan baik secara lapang. Diceritakan, ada seorang sahabat bernama Utsman ibn Mazh‘un mem­beli sebuah rumah, lalu ia tinggal di dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadah. Ketika berita itu datang kepada Nabi Saw., maka beliau pun datang kepadanya, lalu dibawanya keluar, dan beliau bersabda: “Wahai Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutusku dengan ajaran kerahiban” (Nabi bersabda demikian dua-tiga kali, lalu ber­sabda lebih lanjut), “Dan se­sung­guhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah (semangat pencarian kebenaran yang lapang)”.

Terkait dengan hadis di atas, Muhammad Asad juga menegaskan bahwa Al-Quran menekankan prin­sip yang semata-mata mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi persyaratan kebajikan. Ajaran tentang formalitas ritual belaka tidak­lah cukup sebagai wujud ke­agamaan yang be­nar. Karena itu juga tidak pula segi-segi lahiriah itu akan menghantarkan kita me­­­nuju keba­ha­giaan, sebelum ki­ta meng­isinya dengan hal-hal yang lebih esensial. Sikap-sikap mem­batasi diri hanya kepada hal-hal ritualistik dan formal, akan sama de­ngan peniadaan tujuan agama yang hakiki. Dalam Islam, kebahagiaan hi­dup yang diperoleh melalui amal perbuatan yang baik dan benar adalah sepenuhnya sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Islam adalah agama yang meng­ajarkan bahwa keselamatan diraih dengan perbuatan baik atau amal saleh.  []

Ust. Edi Sutrisno, Ketua 1 Takmir Masjid Jami Bintaro Jaya

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *