Pribumisasi Islam merupakan istilah yang pertamakali dipopulerkan Gus Dur, terkaut dengan strategi pengembangan dan pengajaran Islam di Nusantara hingga Islam bisa diterima secara cepat dan massif di Bumi Nusantara.

Pribumisasi Islam lah yang akhirnya disebut “Islam Nusantara” sebagai Manifestonya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Ngatawi Al-Zastrow dalam diskusi “Islam dan Kebangsaan” di Islam Nusantara Center, Sabtu 01/17.

Ia menjelaskan bahwa menurut Gus Dur, yang disebut Pribumisasi Islam adalah dialektika antara konteks yang berbeda-beda dengan nash. Pribumisasi Islam tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.

“jadi manifestasinya, kehidupannya tidak dirubah. Ini bukan berarti menjawanisasi atau sundanisasi. Bukan sinkretisme seperti kata Clifort Girt “, jelas budayawan yang akrab dipanggil Sastro ini.

” Tapi juga sebaliknya, Islam tidak merusak dan menghancurkan tradisi dan budaya lokal yang ada di masyarakat”, tambahnya.

Ia menyebut dengan istilah afinitas Budaya. “Saya menyambutnya afinitas budaya. Berbeda dengan sinkretisme. Ibaratnya, proses Pribumisasi Islam ini seperti “mlintir tampar”. karena unsur-unsurnya bisa dilihat, tidak dilebur”, ujarnya.

Jadi posisi Islam itu bukan sebagai penghancuran. Tapi ada Dialektika yang dinamis. Inilah yang disebut pribumi Islam. Pribumisasi Islam ala Gus Dur bukan menciptakan hukum, tapi menerapkan hukum. Gus Dur hanya memberi nama dari suatu proses yang sudah berjalan.

Lalu bagaimana hubungannya dengan Islam Nusantara? Doktor sosiologi dari UI ini menyebutkan bahwa terjadi transformasi dari pribumisasi Islam menjadi Islam Nusantara. “Islam Nusantara merupakan kelanjutaan dari proses pribumisasi Islam yang terjadi di Nusantara. Dalam konteks ini, pribumisasi Islam merupakan strategi dasar dari Islam Nusantara.” tegasnya.

“Melihat perjalanan sejarah dan proses interaksi sosial dan ideologis antara Islam dan bangsa Nusantara, jelas terlihat bahwa Pribumisasi Islam merupakan strategi Islamisasi Nusantara yang melahirkan berbagai bentuk pemikiran, tradisi dan budaya Islam khas Nusantara yang akhirnya disebut dengan Islam Nusantara.” pungkas Sastro.

Diskusi yang rutin dilaksanakan setiap Sabtu ini dihadiri oleh para mahasiswa Pasca sarjana UIN, IIQ dan pegiat diskusi Islam Nusantara. Hadir juga Gus Milal Bizawie, penulis buku “Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad”, dan buku “Masterpiece Islam Nusantara.”(MA)

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *