Mengubah kebiasaan itu sangat tidak mudah. Misalnya dari biasa berkumpul menjadi tidak boleh berkumpul. Apalagi jika ia berkaitan dengan masalah keagamaan produk ijtihad, atau tegasnya hukum fikih. Ia bisa sangat resisten, menimbulkan perlawanan dan tuduhan sesat/ menyimpang.

Isu fiqh yang ditradisikan atau dibiasakan untuk waktu yang panjang akan bisa dianggap sebagai keyakinan, meski ia sesungguhnya merupakan produk pemikiran atau pilihan seseorang ahli, yang bisa berbeda dengan pilihan ahli yang lain, meski masing-masing mengklaim sebagai hukum Tuhan.

Adalah sungguh problematis, bagaimana kita mengajarkan masalah-masalah yang terkait dengan fikih tersebut, kepada masyarakat umum (awam). Menyampaikan pandangan fikih yang beragam, tidak tunggal, agar menjadi pilihan atau alternatif,  bisa sangat membingungkan mereka. Mereka hanya ingin satu jawaban. Pandangan keagamaan yang tegas. 

Tetapi menyampaikan pandangan yang tunggal yang diceramahkan di mana-mana dan ditradisikan bisa beresiko dimusuhi, karena dianggap salah dan melanggar hukum atau bahkan melawan hukum Tuhan. “Jika sesorang hanya tahu satu jalan, dia bisa menyalahkan selain satu jalan itu”.

Para bijak bestari memang sudah bilang : 

خاطبوا الناس بقدر عقولهم.

“Bicaralah dengan orang sesuai dengan tingkat akal pikirannya”. 

Atau dalam redaksi lain :

حدثوا الناس بما يعرفون . اتريدون ان يكذب الله ورسوله

“Bicaralah dengan masyarakat sesuai dengan pengetahuan mereka. Apakah kamu ingin Allah dan Rasul-Nya dianggap dusta ( bohong).”

Jadi harus atau sebaiknya bagaimana?. 

20.07.21

HM

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *