Categories:

Hukum ibadah kurban menurut jumhur ulama adalah sunah muakkadah (sunah yg sangat dianjurkan) bagi para muslim dan muslimah yg telah mampu untuk berkurban. Biasanya, selepas hewan kurban disembelih, akan dikuliti dan dipotong2 menjadi banyak bagian. Setelah itu, daging kurban dibagikan kepada masyarakat, terutama para fakir dan miskin. Jatah untuk shohibul kurban (mudhahhi) atau orang yg berkurban terkadang juga diberikan, jika meminta jatahnya. 

Ada dua bentuk Qurban

1. Kurban Sunah

Pada qurban sunah, orang yg berkurban boleh memakan daging hewan kurbannya. Di kategori kurban sunah, ada pendapat bahwa shohibul qurban justru dianjurkan (sunah) untuk mengonsumsi daging hewan yg dikurbankan, sebanyak satu hingga tiga suap. Jadi, para shohibul qurban boleh memakan sebagian daging kurbannya sendiri. Hukum bolehnya memakan daging kurban sendiri itu selaras dgn firman Allah subhanahu wa ta’ala di surah Al-Hajj ayat 36.

2. Kurban Wajib

Sebaliknya, dalam kurban wajib (kurban yg dilaksanakan karena nadzar), orang yg berkurban dilarang memakan daging hewan kurbannya sendiri, meskipun hanya sedikit. Larangan itu berlaku juga bagi keluarga yg dinafkahi oleh shohibul qurban.

Salah satu rujukannya adalah penjelasan Syekh Abu Bakar bin Muhammad Zainal Abidin Syatha Ad-Dimyathi Al-Makki Asy-Syafi’i atau Sayyid Bakri Syatha rahimahullah (1266 – 1310 H / 1849 – 1892 M, usia 43 tahun di Makkah), seorang ulama dari Mazhab Syafi’i, dalam kitab Hasyiyah I’anatuth Thalibin (Juz 2, halaman 378) :

ويحرم الأكل من أضحية أو هدي وجبا بنذره.  (قوله: ويحرم الأكل إلخ) إي يحرم أكل المضحى والمهدي من ذلك، فيجب عليه التصدق بجميعها، حتى قرنها، وظلفها. فلو أكل شيئا من ذلك غرم بدله للفقراء.  

“Haram mengonsumsi kurban dan hadiah yg wajib sebab nadzar. Maksudnya, haram bagi orang yg berkurban dan berhadiah mengonsumsi daging kurban dan hadiah yg wajib sebab nadzar. Maka wajib menyedekahkan seluruhnya, termasuk tanduk dan kuku hewan. Jika ia mengonsumsi sebagian dari hewan tsb, maka wajib menggantinya dan diberikan pada orang fakir”.

Jadi, orang yg berkurban (shohibul qurban), boleh memakan daging kurbannya sendiri. Namun, menurut sejumlah ulama Mazhab Syafi’i, hukum ini hanya berlaku di kurban sunnah, bukan kurban wajib. Namun, bagi orang yg bernadzar akan berkurban, hukum menunaikan ibadah tahunan pada Idul Adha ini wajib. Misalnya, bernazar akan berkurban jika mendapatkan kenaikan gaji.

Jatah Bagi Orang yang Berkurban

Dalam kurban sunah, shohibul qurban boleh memakan daging kurbannya sendiri, ada beberapa pendapat mengenai seberapa banyak jatah daging yg bisa dimakan orang yg berkurban :

1. Jatah Sepertiga

Sejumlah ulama ada yg berpendapat, orang yg berkurban boleh mengambil jatah daging dari hewan kurbannya untuk dimakan, maksimal sepertiga. Namun, shohibul qurban  dianjurkan untuk mengambil jatah kurang dari porsi itu (sepertiga).

Hal ini sesuai dgn penjelasan DR KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag, pakar Ushul Fikih NU dalam kitab Fathul Mujibil Qarib (Halaman 207) : “Orang yg berkurban dianjurkan memakan [daging kurban sunah] sepertiga atau lebih sedikit dari itu”. Namun, Shohibul qurban dilarang menjual bagian apa pun dari hewan kurbannya. Mereka hanya boleh mengambil jatahnya untuk dimakan.

Hal ini bersandar pada sabda Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam: “Makanlah dan berilah makan kepada (fakir-miskin) dan simpanlah.”

Memang, untuk ketentuan jatah maksimal yg boleh di konsumsi oleh shohibul kurban, tidak ada ketentuan pasti yg disepakati oleh para ulama. Namun ulama Hanafiyah dan Hanabilah menganjurkan agar tidak melebihi sepertiga dari daging hewan kurban. Mereka mengatakan agar hewan kurban dibagikan kepada orang yg berkurban, kerabat, teman dan tetangga sekitar dan golongan fakir miskin.

Tetapi, baik orang yg berkurban, keluarga atau kerabatnya, sebaiknya tak berlebihan dalam mengambil daging kurbannya. Bagaimanapun juga, ibadah kurban dianjurkan untuk sedekah kepada orang yg membutuhkan, bukan untuk keuntungan pribadi.

Sebagaimana keterangan Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i atau Imam Nawawi rahimahullah (wafat 10 Desember 1277 M, Nawa, Suriah) dalam kitab Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim mengatakan, sebaiknya jumlah yg disedekahkan lebih banyak dibanding jumlah yg dimakan oleh sohibul kurban dan keluarganya.

فاما الصدقة منها اذا كانت اضحية تطوع فواجبة على الصحيح عند اصحابنا بما يقع عليه الاسم منها ويستحب ان تكون بمعظمها

“Adapun menyedekahkan daging hewan kurban, jika itu kurban sunah, maka hukumnya wajib menurut pendapat yg paling sahih dari mazhab kami. Disedekahkan dgn ukuran yg layak untuk disebut sedekah. Dan dianjurkan yg disedekahkan lebih banyak.”

2. Satu sampai Tiga Suap

Orang yg berkurban memang ada pendapat disunahkan memakan daging kurbannya, satu sampai tiga suap saja, untuk memperoleh berkah (tabarruk), dan sisanya disedekahkan. Kesunahan tsb dijelaskan dalam Kitab Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz bin Zainuddin bn ‘Ali Al Malibari Al Fannani Asy Syafi’i atau Syekh Zainuddin al-Malibari rahimahullah (wafat 987 H / 1579 M di India) : 

ويجب التصدق ولو على فقير واحد بشيء نيئا ولو يسيرا من المتطوع بها والأفضل: التصدق بكله إلا لقما يتبرك بأكلها وأن تكون من الكبد وأن لا يأكل فوق ثلاث  

“Wajib menyedekahkan kurban sunah, meskipun hanya pada satu orang fakir, dgn daging yg mentah, meskipun hanya sedikit. Hal yg lebih utama adalah menyedekahkan keseluruhan daging kurban kecuali satu suapan dgn niatan mengharap berkah dgn mengonsumsi daging tsb. Hendaknya daging tersebut dari bagian hati. Hendaknya orang yg berkurban tidak mengonsumsi lebih dari tiga suapan.  

3. Bagian selain yg Disedekahkan ke Fakir Miskin

Di sisi lain, ada yg berpendapat bahwa tidak ada batasan khusus atas jatah daging hewan kurban yg dapat diambil shohibul qurban. Sebagian ulama Mazhab Syafii, memperbolehkan shohibul qurban mengonsumsi seluruh daging kurbannya, setelah ada sebagian kecil bagiannya yg diberikan kepada fakir miskin.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (juz 4, halaman: 252) karya Al-Imam al-Faqih al-Mujtahid Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar as-Salmunti al-Haitami al-Azhari al-Wa`ili as-Sa’di al-Makki al-Anshari asy-Syafi’i atau Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah (1503 M Mesir – 1566 M, Mekkah) sbg berikut : 

وَالْقَصْدُ مِنْ التَّضْحِيَةِ إرَاقَةُ الدَّمِ مَعَ إرْفَاقِ الْمَسَاكِينِ بِأَدْنَى جُزْءٍ مِنْهَا غَيْرِ تَافِهٍ وَقَدْ حَصَلَ هَذَا الْمَقْصُودُ فَلَا وَجْهَ لِلضَّمَانِ عَلَى أَنَّ جَمَاعَةً مِنْ أَكَابِرِ أَصْحَابِنَا كَأَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ الْقَاصِّ وَالْإِصْطَخْرِيِّ وَابْنِ الْوَكِيلِ قَالُوا إنَّهُ يَجُوزُ لَهُ أَكْلُ الْجَمِيعِ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ التَّصَدُّقُ بِشَيْءٍ مِنْهَا.   وَنَقَلَهُ ابْنُ الْقَاصِّ عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّ الْقَصْدَ بِالتَّضْحِيَةِ أَتَمَّ. اهـ. وَالتَّقَرُّبُ بِإِرَاقَةِ الدَّمِ فَحَسْبُ  

Tujuan dari kurban adalah mengalirkan darah hewan besertaan wujud belas kasih pada orang2 miskin dgn (memberikan) bagian minimal dari hewan kurban yg tidak signifikan. Maksud tujuan ini sudah terpenuhi, maka tidak perlu adanya wujud ganti rugi. Bahkan sebagian golongan dari pembesar ashab syafi’I, seperti Abi al-‘Abbas bin Suraij, Abi al-Abbas bin al-Qash, Ishtakhri dan Ibni al-Wakil berpandangan bahwa boleh mengonsumsi keseluruhan hewan kurban dan tidak wajib menyedekahkan satu pun dari hewan kurban. Pendapat demikian dinukil dari nash Imam asy-Syafi’i, sebab tujuan dari kurban sudah sempurna, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan mengalirkan darah kurban telah cukup”.

Meskipun demikian, pendapat ketiga ini sebaiknya dijadikan sekedar wawasan tentang qurban. Sebab, meski dapat diamalkan, tapi akan menimbulkan kesan aneh dalam tradisi sosial masyarakat, serta cenderung dianggap sbg bentuk tasahul (mengentengkan syari’at dengan mengamalkan pendapat2 yg ringan). Yang lebih utama adalah orang yg berkurban tidak mengambil bagian dari daging hewan kurbannya sendiri dalam jumlah terlalu banyak. Dan yg sangat dianjurkan adalah menyedekahkan sebagian besar daging kurbannya, terutama kepada para fakir dan miskin. Apalagi, pada masa pandemi COVID-19 seperti sekarang, banyak orang fakir dan miskin perlu bantuan pangan.

Penerima Daqing Qurban

Adapun 3 kelompok orang yg berhak menerima daging kurban, yaitu :

1. Orang yg berkurban dan keluarganya.

Orang yg berkurban dan keluarganya dianjurkan untuk memakan sebagian daging hewan kurbannya. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, pernah memakan daging dari hewan kurbannya sendiri. Dalam hadits riwayat Abubakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Abdullah al-Baihaqi Asy-Syafi’i atau Imam Al-Baihaqi rahimahullah (994 – 1066 M di Naisabur, Iran), disebutkan 🙂

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ لَمْ يَخْرُجْ حَتَّى يَأْكُلَ شَيْئًا , وَإِذَا كَانَ الْأَضْحَى لَمْ يَأْكُلْ شَيْئًا حَتَّى يَرْجِعَ , وَكَانَ إِذَا رَجَعَ أَكَلَ مِنْ كَبِدِ أُضْحِيَّتِهِ

“Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, ketika hari Idul Fitri tidak keluar dulu sebelum makan sesuatu. ketika Idul adha tidak makan sesuatu hingga beliau kembali ke rumah. Saat kembali, beliau makan hati dari hewan kurbannya.”

2. Teman, kerabat dan tetangga sekitar

Menurut Al-Alim Al-‘Allamah Syaikh Prof DR Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 8 Agustus 2015 M di Suriah), dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu disebutkan, bahwa ulama kalangan Hanafiyah dan Hanabilah menganjurkan, agar sebagian daging hewan kurban dibagikan kepada teman, kerabat dan tetangga meskipun mereka golongan orang kaya.

ويهدي ثلثها لاقاربه واصدقائه ولو أغنياء.

“Dan menghadiahkan sepertiga daging hewan kurban kepada kerabat dan teman2nya meskipun mereka kaya.”

3. Golongan fakir dan miskin

Golongan fakir dan miskin berhak menerima daging dari hewan kurban. Hal ini dikarenakan Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk memberikan makan kepada orang fakir miskin dari daging hewan kurban. Ulama sepakat bahwa fakir miskin paling berhak menerima daging hewan kurban. Bahkan, ulama Hanabilah mengatakan bahwa hukum membagikan sebagian daging hewan kurban kepada fakir miskin adalah wajib. 

Dalam surah Alhajj ayat 28

فكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Makanlah sebagian dari daging kurban dan berikanlah kepada orang fakir.“

Al-Imam Al-‘Alim Al-Muhaddits Al-Mufassir Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Anshari al-Qurthubi Al-Maliki atau Imam Al-Qurthubi rahimahullah (wafat 29 April 1273 M di Mesir) menafsirkan ayat di atas, dalam kitabnya Al-Jami’ liahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqan atau Tafsirul Qurthubi, bahwa orang yg berkurban disunahkan dan dianjurkan makan sebagian daging hewan kurbannya.

هذا امر معناه الندب عند الجمهور ويستحب للرجل ان يأكل من هديه واضحيته

“Menurut pendapat kebanyakan ulama, ayat ini adalah bentuk perintah yg bermakna anjuran. Maka dianjurkan kepada seseorang yg berkurban untuk memakan sebagian dari sembelihan hewan hadyu dan hewan kurban.”

Juga disebutkan dalam surah Al-Hajj ayat 36 :

فَكُلُوا مِنْها وَأَطْعِمُوا الْقانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذلِكَ سَخَّرْناها لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ  

“Maka makanlah sebagiannya dan berilah makan pada orang yg merasa cukup dgn apa yg ada padanya (tidak meminta2) dan pada orang yg meminta2. Demikianlah kami tundukkan (unta2 itu) untukmu agar kamu bersyukur. 

Kesimpulan

Maka, dapat disimpulkan bahwa boleh bagi orang yg berkurban sunnah untuk mengambil bagian dari hewan kurban atas nama dirinya, sebab pembagian yg wajib hanya sebatas kadar minimal daging yg memenuhi standar kelayakan, maksimal kurang dari sepertiga, seperti satu kantong plastik misalnya. Sehingga, selebihnya berhak dikonsumsi atau disedekahkan pada orang lain. Meski demikian, hal yg sangat dianjurkan bagi pequrban adalah tidak mengambil bagian daging terlalu banyak, kecuali sebatas satu-dua suapan untuk mengharap berkah. Tidak lebih dari tiga suapan.  

Untuk kurban wajib, tidak boleh bagi pequrban mengambil bagian dari hewan kurbannya, meski hanya sedikit. Jika sampai terlanjur mengambil bagian dari hewan kurban wajibnya, maka wajib baginya untuk mengganti kadar daging tersebut dan dibagikannya pada orang fakir.  

Wallahu a’lam

Written from various sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik

CHANNEL YOUTUBE SARINYALA

https://youtube.com/channel/UC5jCIZMsF9utJpRVjXRiFlg

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *