Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran dilahirkan di kota Jakarta, pada hari Senin, 7 Juli 1969 bertepatan 22 Rabiul Tsani 1389 H, dari orang tua yang masih keturunan Imam Hussein bin Ali RA. Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran mempunyai penampilan fisik layaknya orang Indonesia pada umumnya: kulit sawo matang dan berperawakan sedang sehingga bagi orang yang belum mengenalnya tidak akan menyangka bahwa ia adalah keturunan bangsa Arab yang nasabnya bersambung sampai dengan Rasulullah SAW. Intonasi suaranya sedikit berat sehingga menambah kewibawaannya ketika berbicara.
Sebagai habib yang tergolong muda, pengaruh Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran di Jakarta, terutama bagi umat Islam di bilangan Pondok Bambu, Jakarta Timur sangat kentara. Pada perayaan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tingkat nasional pada Jumat, (8/11/2019) malam di Istana Negara Jakarta, ia didapuk sebagai pembaca doa pada akhir acara.
Para habaib berpengaruh, kiai, ustaz, dan ribuan umat Islam selalu menghadiri undangan Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran dalam perayaan Maulid Nabi yang rutin digelar di Ma’had Al-Abidin saban tahun. Hal ini menunjukkan ketokohan beliau di kalangan para habaib dan ulama maupun di kalangan umat Islam di Jakarta.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran secara rutin menulis catatan-catatan pendek berisi renungan dan pemikiran-pemikiran dalam berbagai persoalan kontekstual, khususnya terkait dengan dakwah Islam, pandangan akhlak dan tasawuf, politik kekinian, motivasi keagamaan, dan topik-topik aktual lainnya di halaman Facebook al-Habib Ahyad Banahsan as- Sakran. Sampai dengan November 2019, ia telah menulis percikan kalam yang ke-602.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran tampak begitu telaten mengasuh halaman Facebooknya yang dibuat sejak 29 Juli 2010, dan kini telah diikuti oleh lebih dari 77.000 orang. Ia pun tak sungkan untuk menjawab semua tanggapan dan pertanyaan umat yang bertanya di dinding halamannya dengan memaparkan pandangan yang terbuka, rasional, logis, serta menenggang perbedaan pendapat.
Nasab
Habib Ahyad bin Abdullah bin Umar bin Utsman bin Muhammad bin Ahmad bin Hamid bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar bin Ali bin Umar bin Hasan bin Ali bin Abu Bakar as-Sakran bin Abdurrahman as-Segaf bin bin Muhammad Maula Addawilah bin Ali bin Alwi Ghuyur bin Muhammad bin Ali bin Muhammad Sahib Mirbat bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Muhajir bin Isa Rumi bin Muhammad Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Jakfar Sadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Fathimah Az-Zahra binti Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibunya adalah yang mulia Syarifah Husna binti Ahmad bin Utsman Banahsan.
Guru-guru Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran dari kalangan habaib Jakarta, antara lain Habib Umar bin Utsman Bahahsan (kakeknya), Habib Abdulllah bin Umar bin Utsman Banahsan (abahnya), Habib Fadhil bin Umar Banahsan (pamannya), Habib Syech bin Ali al-Jufri, Habib Hamid bin Abdullah al-Kaff, dan Syekhah Salamah binti Shaleh. Guru-guru Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran dari kalangan ulama Jakarta, antara lain Ustaz Abdullah, Ustaz H. Sanusi, Ustaz H. Musa, KH. Syafii Hadzami, KH. Munzir Tamam, KH. Saifuddin Amsir, KH. Rodhi Sholeh, dan Dr. KH. M. Luqman Hakim
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran tidak menempuh pendidikan agama secara formal. Pendidikan dasarnya dilalui di SD Perguruan Rakyat V, Pondok Bambu, Jakarta Timur (1976-1982). Setelah itu ia menempuh jenjang pendidikan menengah pertama di SMPN 51 Jakarta Timur (1982-1985). Pendidikannya di jenjang menengah atas dilalui di SMAN 12 Duren Sawit, Jakarta Timur (1985-1988). Selepas SMA, ia menempuh pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB), Jurusan Peternakan. Ia pun resmi menyandang gelar insinyur (Ir.) pada tahun 1993.
Habib Abdullah bin Umar bin Utsman Banahsan tampaknya mempunyai alasan tersendiri sehingga tidak memberikan pendidikan Islam secara formal, terutama pada jenjang sekolah dasar. Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran mengenang abahnya suatu kali mengatakan bahwa anak-anaknya harus sekolah sampai jenjang perguruan tinggi agar jangan sampai seperti dirinya yang tak sampai lulus jenjang sekolah dasar. Karena itulah, semua adik Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran, mulai dari Sayyid Kamil, Syarifah ‘Abidah, Syarifah Mahmudah, dan Sayyid Syafiq, semuanya mendapatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Bahkan Sayyid Kamil sampai melanjutkan ke jenjang doktoral di Jerman.
Sekalipun Habib Abdullah bin Umar bin Utsman Banahsan tidak memberikan sekolah formal keagamaan kepada anak-anaknya, namun secara nonformal pendidikan dan pengajaran Islam telah ditanamkan kepada anak- anaknya sejak kecil. Karena itulah, selagi bersekolah di sekolah umum, Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran cukup intensif mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu keislaman di Ma’had Al-Abidin.
Sebelum menginjak usia sekolah dasar, Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran telah diajari ilmu al-Qur’an. Ia mengaji al-Qur’an kepada kakek dan abahnya, juga seorang guru perempuan. Ia mengaji al-Qur’an ketika kecil kepada kakeknya, Habib Umar bin Utsman Banahsan. Selain kepada kakeknya, ia juga mengaji al-Qur’an kepada seorang guru perempuan, yakni Syekhah Salamah binti Shaleh.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran mempelajari kitab- kitab standar yang diajarkan di pesantren maupun madrasah tradisional kepada abahnya, Habib Abdullah bin Umar bin Utsman Banahsan. Kitab-kitab yang dipelajari dari abahnya, antara lain, al-Jurumiyah, Mukhtashar Jiddan, Kafrawi, Kaylani, Kasyifat as-Saja, Kifayat al-Awam. Selain itu, pamannya Habib Fadhil bin Umar Banahsan, juga turut andil memupuk gairah keilmuannya dengan mengajarkan berbagai kitab Maulid, Safinat an-Naja, dan juga AI-Quran.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran juga mengaji kepada para guru di Betawi yang biasa disebut dengan kalangan akhwal (para paman). Ia mengaku mengaji Kitab Sifat Dua Puluh, Irsyad al-Anam, Adab al-Insan, dan kitab lainnya kepada Ustaz H. Sanusi dan Ustaz H. Musa. Ia juga mengaji Fath al-Qarib, Fath al-Majid, dan Ibnu Aqil kepada Ustaz H. Abdullah.
Setelah agak besar, ia menimba ilmu kepada para habib dan ulama besar Betawi, antara lain, K.H. Mundzir Tamam dengan materi kajian kitab Shafwat at-Tafasir dan Asybah wa an-Nazhair. Ia juga mengaji kitab Qaidah al- Asasiyah dan Tarikh Ibnu Hisyam kepada Habib Hamid bin Abdullah al-Kaff, pendiri Pondok Pesantren al-Hamid, Pondok Ranggon.
Selama empat tahun antara tahun 1996-2000, ia mengaji banyak kitab kepada K.H. Rodhi Sholeh, ulama sepuh yang pernah menjadi Wakil Rais Aam/mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). K.H. Rodhi Sholeh juga merupakan ipar K.H. M.A. Sahal Mahfudh, mantan Rais Aam PBNU. Kitab-kitab yang dikajinya kepada K.H. Rodhi Sholeh, antara lain, al-Manhalul- Lathif, Adab al-Alim wa al-Muta`allim, Lathaif al-Isyarah, Lubb al-Ushul, dan Faraid al-Bahiyyah.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran juga selalu menghadiri majlis Habib Syech bin Ali al-Jufri sejak tahun 1983 yang memang mendapat jadwal mengajar di Ma’had Al-Abidin. Kitab yang dikaji adalah Riyadh ash- Shalihin. Ia juga sempat mengaji kepada Abuya K.H. Drs. Saifuddin Amsir. Darinya ia mempelajari beberapa kitab, antara lain, Ushul al-Fiqh al-Islami dan Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran juga tak ketinggalan mengikuti pengajian pasaran saban Ramadhan yang diajar oleh Abuya K.H. Syafi’i Hadzami semasa hidupnya. Abuya K.H. Syafi’i Hadzami adalah ulama besar Jakarta di masanya yang sangat disegani baik di kalangan habaib maupun kiai dan ustaz di Betawi.Pada kesempatan ini, ia membaca kitab Idhah al-Mubham dan Jauhar al-Maknun.
Selain itu, Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran juga sempat menimba ilmu kepada Dr. K.H. M. Luqman Hakim, pendiri Sufi Center Jakarta. Darinya ia mempelajari kitab al-Hikam berikut ta’liq-nya, Iqazh al- Himam bi Ta’liq al-Hikam.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran masih sangat terkenang dengan kegigihan abahnya yang mengantarkannya pulang-pergi Jakarta-Bogor saat ia menapaki jenjang kuliah di IPB. Semua itu dilakukan abahnya demi memastikan anaknya mendapatkan pendidikan tinggi agar tidak seperti dirinya yang tak lulus sekolah dasar.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran juga mengingat Ustaz H. Abdullah yang selalu menomorsatukan dirinya sebagai murid. Ia menuturkan bahwa Ustaz H. Abdullah dipastikan akan meminta muridnya yang lain setop mengaji jika ia datang mengaji. Tinggallah ia bersama sang guru mengaji secara khusus berdua saja.
Ustaz H. Abdullah juga dikesankan oleh Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran sangat menghormati Ahlul Bait. Sang guru tak pernah mau menjadi imam jika makmumnya adalah Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran.
Lain lagi dengan K.H. Rodhi Sholeh yang tinggal di Pondok Gede. Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran mengenang, selama empat tahun mengaji kepada K.H. Rodhi Sholeh, ia selalu diterima kapan pun di kediamannya maupun di majlis taklim miliknya. Pengajian dengan K.H. Rodhi Sholeh kerap berlangsung lama, bisa sejak Subuh sampai Zuhur tiba. Kadang- kadang, Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran mengaku baru sempat datang pagi, agak siang, bahkan sore, pun demikian K.H. Rodhi Sholeh tak pernah menampiknya untuk memberikan pengajaran. Bahkan, K.H. Rodhi Sholeh masih mau mengajari meskipun dalam keadaan sakit yang membuatnya harus terbaring di tempat tidur di kamarnya. Fase mengaji dengan ulama sekaliber K.H. Rodhi Sholeh dianggap oleh bagi Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran sebagai fase “pengalusan dalam membaca kitab”.
Sosok Habib Hamid bin Abdullah al-Kaff diakui oleh Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran banyak memberi pengaruh kepadanya dalam mengenal ilmu-ilmu ulumul hadis.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran mengaku menaruh rasa takzim yang sama kepada semua guru yang ilmunya pernah ia timba dari mereka. Kesemuanya diakuinya memberikan peran dan kenangan mendalam dalam hidupnya dan membentuk sikap dan karakternya dalam berdakwah. Saat didesak guru mana yang paling meninggalkan kesan mendalam baginya, ia sempat menolak untuk menggunggulkan satu dengan lainnya. Setelah didesak kembali, ia mengatakan bahwa terus terang gojlokan abahnya paling banyak membantu dirinya sehingga menjadi seperti yang sekarang ini.
Ala kulli hal, Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran mengatakan bahwa setiap guru memberikan kesan dan wejangan maupun pesan yang dapat dijadikan pegangan pada fase hidup tertentu. Ia mengingat betul nasihat kakeknya, Habib Umar bin Utsman Banahsan, yang mengatakan, “Mengaji itu untuk mengetahui bahwa kita bodoh.” Maksudnya, mengaji itu untuk mengetahui kebodohan dalam diri seseorang. Semakin pintar, maka seseorang akan semakin tahu bahwa dirinya bodoh.
Aktivitas
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran dikenal sebagai ulama yang dekat dengan kalangan muda. Hal ini tak terlepas dari gaya dakwahnya yang memang sengaja dikemas untuk merangkul anak-anak muda. Menurutnya anak-anak muda lebih mudah dibentuk daripada orang-orang tua yang masih jauh dari dakwah.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran tetap meneruskan tradisi yang dimulai abah dan kakeknya dengan menggelar taklim-taklim halaqah di Ma’had Al-Abidin (lantai dasar Masjid Al-Abidin). Setiap halawah menyajikan berbagai pelajaran yang dibina oleh para guru yang dapat diikuti oleh khalayak umum.
Sistem halaqah menurutnya punya kelebihan. Dengannya setiap murid/santri yang mengaji bias langsung mengamalkan apa yang didapatnya dengan mengikuti shalat berjamaah, mengikuti maulid, atau berdzikir. Jadi, pelajaran yang didapat langsung disusul dengan praktiknya. Apalagi materi pelajaran halaqah yang ada di Ma’had Al-Abidin juga tak kalah dengan pelajaran-pelajaran yang biasa didapatkan oleh para santri di pondok pesantren.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran juga mengemas dakwah Islam dengan cara yang disukai anak muda selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Misalnya, ia mengadakan kompetisi sepakbola antarmajlis, atau melakukan kemah remaja, dan kegiatan lainnya yang dimaksudkan agar anak-anak muda terputus dengan pengaruh yang negatif.
Dengan pendekatan dakwahnya yang tegas (tidak lunak juga tidak keras), umat Islam yang ada di kawasan Sawah Besar (Pondok Bambu) dan sekitarnya cukup terwarnai dengan sepak terjang dakwah yang dilakukan Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran. Suatu kali memang ada yang menganggap caranya berdakwah terlampau keras. Hal ini dikaitkan dengan sepak terjangnya di tahun 2000-an awal dalam memberantas kemaksiatan. Biasanya ia langsung mendatangi dan memberi peringatan kepada pemilik tempat-tempat hiburan malam agar lebih menyayangi anak-anak mereka (generasi mendatang) daripada membuka tempat seperti itu. Upaya ini kadang mendapat perlawanan para preman yang menjaga tempat-tempat tersebut.
Cara-cara seperti itu secara terukur dilakukan oleh Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran. Buktinya ia hanya turun jika dirasa perlu di wilayah-wilayah yang memang diayominya. Alhasil, di sekitar Sawah Besar (Pondok Bambu) sulit ditemukan tempat hiburan malam karena merasa segan dengan sosok Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran.
Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as-Sakran bukan termasuk tokoh yang alergi dengan politik. Ia sempat menjadi kader sebuah partai, meskipun kemudian keluar untuk sepenuhnya konsentrasi di medan dakwah. Namun, sampai sekarang tak jarang dating tawaran kepadanya untuk menjadi calon anggota legislatif. Namun belakangan tawaran-tawaran seperti itu, meskipun diming-imingi pula dengan janji akan diongkosi dalam pencalonan, selalu ditampiknya. Ia menganggap akan sulit untuk bersikap adil dan berada di tengah-tengah jika sudah masuk dalam gerbong suatu kelompok tertentu. Ia hanya menginginkan dapat berdiri untuk dan di tengah semua golongan.
Menurutnya, pilihan itu tak selalu berujung manis. Saat ramai-ramai perseteruan dua kubu yang mengusung calon masing-masing dalam Pilpres 2019, ia termasuk orang yang dihantam sana-sini karena dianggap tak tegas denga tak memihak kepada kubu mana pun. Sikap ini pula yang dipegangnya dalam berdakwah sehingga dalam saat yang bersamaan ia tetap menaruh hormat dan takzim yang besar kepada ulama maupun habaib yang sangat tegas dalam berdakwah maupun yang menempuh jalan dakwah lebih lembut.
“Biar saja semua berjalan, karena dua-duanya perlu. Kadang-kadang umat memerlukan figur yang tegas tanpa kompromi seperti Habib Rizieq Syihab, tapi suatu ketika umat juga memerlukan tokoh dengan pendekatan yang lembut dan toleran seperti Habib Alwi Syihab.”
Prinsip dakwah tersebut bagi Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan as- Sakran tak berhenti di ujung lidah, namun terbukti dengan karya nyata. Buktinya sampai sekarang ia tetap dekat dengan semua kalangan yang keduanya masih berseteru satu sama lain.
Referensi:
- Sya’roni as-Samfury, “Muda Berwibawa; Sosok Al-Habib Ahyad Banahsan Ponpes. Al-Abidin” (http://www.muslimedianews.com/2014/02/muda- berwibawa-sosok-al-habib-ahyad.html)
- “Sayid Ahyad Banahsan Nekat Memberantas Maksiat” (Laporan Majalah
- Alkisah, No. 02/Tahun IV/16-29 Januari 2006).
- “Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan Tegar Memberantas Munkar”(Laporan Majalah Alkisah, No. 18/Tahun XI/2-15 September 20013).
- “Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan Mempertemukan para Tokoh Habaib” (Laporan Majalah Alkisah, No.03/Tahun XII/3-16 Februari 2014).
Sumber : Buku 27 HABAIB BERPENGARUH DI BETAWI: Kajian Karya Intelektual dan Karya Sosial Habaib Betawi dari Abad ke-17 hingga Abad ke-21, Editor: H. Rakhmad Zailani Kiki, S.Ag, MM, diterbitkan oleh : JAKARTA ISLAMIC CENTRES . [Periset : Andriyansyah, S.Th.I]
No responses yet