Tahun 1970-an, di desa/Kec. Jombang Kab. Jember, ada warung remang-remang. Orang bilang warung kopi pangku. Bisa hanya ngopi, bisa pula lanjut transaksi seksual. Prostitusi terselubung.

Lokasinya di pojok utara-barat desa Jombang, tak jauh dari rumah yang saat ini ditempati oleh (alm.) H. Zaini Husein dan Ny. Hj. Lilik Fauziyah (orangtua Mas Khotibul Umam dan Mbak Aniq Anna). Warung ini menjadi sarang maksiat. Selain prostitusi terselubung, warung ini juga kedapatan menjual minuman yang memabukkan dan kerap digunakan untuk tempat berjudi. Beberapa kali juga terjadi keributan antara pengunjung yang mabuk.

Masyarakat gerah dengan kondisi seperti ini. Mereka tidak mau anak-anaknya terkontaminasi hawa maksiat yang menguar dari warung tersebut. Lagi pula, ada isu bahwa salah seorang aparat menjadi beking warung tersebut. Kondisi ini juga dilaporkan ke KH. Syafawi Ahmad Basyir, Pengasuh PP. Mabdaul Ma’arif.

Mereka berharap, sang guru sepuh itu akan datang membawa para santri atau memprovokasi masyarakat merobohkan sarang maksiat tersebut. Sayang, harapan ini tidak terpenuhi, sebab Kiai Syafawi bukan tipikal ulama yang reaktif dan gegabah dalam melakukan suatu tindakan, apalagi atas nama amar makruf nahi munkar.

Beliau lebih memilih istikharah terlebih dulu. Meminta petunjuk kepada Sang Mahakuasa. Setelah itu, Kiai Syafawi melanjutkannya dengan tirakat. Melakukan riyadloh dengan berpuasa ngrowot (puasa vegetarian) selama 40 hari sembari diperkuat dengan bacaan Hizb Nashor. Biasanya, apabila pelaku kemaksiatan dibacakan Hizb Nashor, ada energi panas yang secara gaib meneror mereka sehingga tidak kerasan alias tidak betah berdiam di tempat maksiat.

Hizb Nashor adalah sebuah aurad dan doa wali agung, Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili (1197 M- 1258 M). Beliau adalah juga pendiri tarekat Syadziliyah. Selain menggubah Hizb Nashor, keturunan Rasulullah dari jalur Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib ini juga menciptakan Hizb Bahar. Baik Hizb Nashor maupun Hizb Bahar keduanya memiliki banyak faedah dan fadhilah. Di antaranya, untuk keselamatan, menolak bala’, dan menggentarkan hati musuh.

Dan, benar, dengan izin Allah, warung remang-remang tersebut mulai berkurang pengunjungnya dan lambat laun bubar dengan sendirinya. Ketika warung semakin sepi, pemiliknya pindah desa. Germonya bertaubat dan akhirnya ngaji ke Kiai Syafawi, lantas aktif di pengajian tahlil keliling.

Andaikata pada saat itu kiai yang wafat pada tahun 1984 itu menggunakan strategi frontal membubarkan “warung pangku” itu dengan paksaan dan kekerasan, mungkin satu masalah selesai. Namun bisa jadi menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks. Namun dengan jalan dakwah yang khas, yaitu strategi “keno iwake ora buthek banyune” (ikannya didapat tanpa mengeruhkan air) dalam ber-nahi munkar melalui riyadlah batiniyah diiringi dengan pembacaan Hizb Nashor, maka aksi pembubaran ini berlangsung tanpa menimbulkan gejolak.

Menurut KH. Achmad Zaini Syafawi, ayahnya menggunakan amalan dari Pondok Lirboyo, yaitu shalat hajat yang disambung dengan berpuasa dan diiringi dengan membaca Hizib Nashor. Kiai Syafawi mondok di Lirboyo sewaktu diasuh oleh KH. Abdul Karim.

Pendekatan batin semacam ini memang lazim di kalangan para ulama. Dalam qawaid al-ahkam disebutkan kaidah, tahshil al-mashalih wa dar’u hadzihi al-mafasid aula in ta’thiliha, yaitu “mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudaratan lebih utama daripada mengabaikannya”.

Di satu sisi, Kiai Syafawi tidak mungkin mengabaikan keberadaan warung remang-remang ini. Sebab, ini adalah wilayah nahi munkar. Wajib bagi beliau melakukannya. Sebab apabila warung remang-remang tetap ada, maka akan menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu wajib dibubarkan. Namun yang lebih bijak adalah memilih metode pembubarannya. Jika menggunakan cara kekerasan, maka akan menimbulkan ekses negatif dan gesekan di masyarakat. Dengan bijak, Kiai Syafawi menggunakan cara elegan dalam membubarkannya.

Selalu ada solusi cerdas dan elegan dari sebuah masalah, bukan?
***
Kiai Syafawi (tengah, berkacamata), didampingi KH. Djauhari Zawawi, Pengasuh PP. As-Sunniyyah Kencong Jember, sewaktu akad nikah bapak saya, 1983.

Tulisan dibuat dalam rangka haul KH. Syafawi Ahmad Basyir ke-37.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *