Sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia lebih dahulu menganut beberapa kepercayaan dan agama. Di antara kepercayaan yang pernah dianut oleh masyarakat Indonesia sebelum hadirnya Islam yaitu agama Kapitayan yang berkembang sejak zaman Paleolithik hingga zaman perunggu dan besi. Agama Kapitayan biasa disebut dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, yaitu memercayai adanya benda-benda yang memiliki daya sakti dan kepercayaan terhadap arwah leluhur (Sunyoto, 2012).
Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat Indonesia mulai mengenal agama Hindu-Budha yang ditandai dengann muculnya Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda pada abad 4 dan 7 M (Rafles, 2014). Pada saat agama Hindu-Budha bertahta di Indonesia abad ke-7 M tersebut, Islam sebenarnya juga telah masuk di Indonesia. Wheatley (1961) dalam catatan sejarahnya, menyebutkan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dibawa oleh saudagar Arab saat membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara. Kehadiran saudagar Arab di Kerajaan Kalingga pada abad ke-7 M tersebut bertepatan dengan kepemimpinan Ratu Simha. Beliau adalah sosok ratu yang dikenal cukup keras dalam menerapkan hukum Islam termasuk pada anggota keluarganya yaitu putra mahkotanya.
Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Kepulauan Nusantara Awal (2009), menyebutkan bahwa:
“Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dicatat oleh pengelana China I-Tsing ke-7 M yang dicatat oleh pengelana China I-Tsing yang menyebutkan bahwa pada saat itu lalu lintas laut antara Arab-Persia-India-Sriwijaya sudah sangat ramai. Dinasti Tang juga menyebutkan bahwa pada abad ke-9 dan 10 M pedagang muslim Arab (Tashih) sudah banyak yang sampai di wilayah Kanton dan Sumatra. Para pedagang Arab tersebut kemudian melakukan Islamisasi salah satunya melalui jalur pernikahan yaitu dengan cara melangsungkan pernikahan dengan putri dari para petinggi dan bagsawan pribumi setempat. Bukti selanjutnya, yaitu adanya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik dengan nisan bertarikh 1082 M atau abad 11 M. Makam tersebut merupakan makam Islam tertua di Asia Tenggara. Hal tersebut juga diperkuat dengan tulisan pengelana bernama Marcopolo pada tahun 1292 dalam perjalanannya pulang ke Eropa, ia singgah di sebuah kota Islam bernama Perlak yang bertempat di sebelah utara Sumatra. Selain itu juga disebutkan oleh seorang pengelana asal Maroko bernama Ibnu Batuta yang bercerita mengenai kunjungannya ke kesultanan Islam pertama di Indonesia yaitu Samudra Pasai pada tahun 1345.”
Masuknya Islam di Indonesia sejak abad ke-7 M tersebut bukan berarti Islam telah diterima secara luas dan menyeluruh oleh masyarakat pribumi Indonesia. Sebaliknya Islam pada kurun waktu tersebut masih mendapat penolakan oleh masyarakat pada umumnya. Fakta sejarah tersebut dapat terlihat dari catatan Marcopolo saat singgah di kota Perlak sebelum kembali ke Eropa yang menyebutkan bahwa penduduk kembali ke Eropa yang menyebutkan bahwa penduduk Perlak di sebelah utara Sumatra terbagi pada tiga golongan, yaitu (1) golongan masyarakat kaum muslim China, (2) golongan kaum muslim Arab-Persia, dan (3) golongan penduduk pribumi yang masih memuja roh-roh leluhur dan hidup kanibal atau memakan sesama manusia (Sunyoto, 2012). Mengetahui fakta tersebut, dalam misi mengislamkan tanah Jawa, Sultan Al-Ghabbah (nama daerah dekat Samarkand) dari negeri Rum mengirim 4000 keluarga muslim untuk menghuni pulau Jawa. Namun dikisahkan semua keluarga muslim tersebut tewas dibunuh siluman yang menghuni pulau Jawa. Sultan Al-Ghabbah kembali mengirim 2000 keluarga muslim untuk menghuni pulau Jawa. Namun semuanya kembali tewas. Pada abad ke-14, akhirnya Sultan Al-Ghabbah mengutus Syaikh Baqir atau masyhur dengan nama Syaikh Subakir ke tanah Jawa untuk meruqyah tanah Jawa (sebelumnya juga singgah dan meruqyah pulau Bawean) sebagai awal pembuka jalan dakwah, dan menghilangkan anasir-anasir jahat akibat dominasi jin dan siluman yang juga terkait dengan ritual agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat setempat sebelumnya (Kapitayan-Hindu-Budha), dan untuk membuka hati masyarakat Jawa agar terbuka hatinya terhadap Islam yang akan segera datang di bawah panji Wali Songo (Quswandhi, 2008).
Sukri (2011) menyebutkan bahwa, Perjalanan Syaikh Subakir di tanah Jawa tersebut tertulis dalam manuskrip kuno berjudul Kitab Musarar karya Syaikh Subakir berbentuk tembang (puisi Jawa). Berdasarkan fakta sejarah di atas, Islam mulai dikenal oleh penduduk pribumi di Indonesia sejak abad ke-7 M mengalami hambatan dan belum diterima sampai pada abad ke-15 M. Hal tersebut berarti ada sekitar kurun waktu 8 abad lamanya sampai Islam mulai dianut secara menyeluruh oleh masyarakat pribumi Indonesia pada pertengahan abad ke-15 M. Dikenal dan dianutnya Islam secara menyeluruh tersebut tidak terlepas dari keberkahan datangnya rombongan dua bersaudara dari kerajaan Champa putra Syaikh Ibrahim Assamarkandhi pada sekitar tahun 1443 M sebagai tonggak dimulainya proses dakwah di Indonesia. Dua bersaudara tersebut adalah Raden Ali Rahmatullah dan kakaknya bernama Raden Ali Murtadho. Raden Ali Rahmatullah atau dikenal dengan Nama Sunan Ampel yang diangkat menjadi Imam masjid di Surabaya dan berdakwah di wilayah Surabaya (Ampel Denta). Sedangkan Raden Ali Murtadho berdakwah di wilayah Gresik dan sekitarnya. Beliau dikenal dengan nama Raja Pedhita Wunut atau Raden Santri.
Sunan Ampel dan Raden Santri dianggap sebagai sesepuh Wali Songo. Wali Songo merupakan lembaga yang berisi tokoh-tokoh penyebar Islam, yang berdakwah secara terorganisir dan sistematis dalam usaha pengislaman masyarakat di Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya. Jika dilihat dari namanya, sebutan raden, sunan, dan wali tidak diberikan pada sembarang orang. (1) Sebutan raden berasal dari kata rahadian yang berarti tuanku, (2) Sebutan sunan sendiri bermakna tiang-tiang atau penyangga, sedangkan menurut Salam, (1986) (3) wali bermakna seseorang yang mencintai dan dicintai Allah. Oleh karena itu, Wali Songo bermakna orang yang dicintai dan mencintai Allah berjumlah sembilan.
Sembilan Wali Songo tersebut adalah Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) disebut sebagai pusat dakwah Islam yang selanjutnya ditegakkan dan dikembangkan oleh putra-putri, menantu, murid-murid, besan-besan, bahkan cucu-cucu dua bersaudara asal negara Champa tersebut. (1) Pusat dakwah Islam Giri Kedathon yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri). Beliau merupakan murid sekaligus menantu Raden Rahmat (Sunan Ampel); (2) pusat dakwah Islam Drajat yang dipimpin oleh Raden Qasim (Sunan Drajat). Beliau merupakan putra Raden Rahmat (Sunan Ampel); (3) di sebelah barat pusat dakwah Islam Drajat, terdapat di sebelah barat pusat dakwah Islam Drajat, terdapat pusat dakwah Islam Sendang Duwur dipimpin oleh Raden Nur Rahmat (Sunan Sendang) yang merupakan putra Abdul Qahar bin Syaikh Abdul Malik al-Baghdady yang terhitung sebagai keponakan Syaikh Datuk Abdul Jalil (Syaikh Siti Jenar); (4) selanjutnya pusat dakwah Islam di Tuban yang dipimpin oleh Raden Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang). Beliau juga merupakan putra Sunan Ampel; (5) Di sebelah barat Tuban terdapat pusat dakwah Islam yang disebut Lasem. Di sana terdapat kediaman Nyai Ageng Maloka yang merupakan putri Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Pangeran Wiranegara (adipati Lasem) yang juga merupakan murid dan menantu Raden Rahmat (Sunan Ampel); (6) di sebelah barat Lasem terdapat pusat dakwah Demak Bintara yang dipimpin oleh Raden Patah yang merupakan murid sekaligus menantu Raden Rahmat (Sunan Ampel); (7) di sebelah barat Demak Bintara terdapat pusat dakwah Kalijaga yang dipimpin oleh Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dan Cirebon yang dipimpin oleh Syarif Hidayat (Sunan Gunung Jati), keduanya merupakan murid Raden Rahmat (Sunan Ampel) (Sunyoto, 2012).
Melalui dakwah Wali Songo inilah Islam diterima secera menyeluruh kurang dari satu abad menggantikan peradaban Hindu-Budha dan majapahit yang perkasa. Islam diterima di tanah Jawa dan bahkan dakwahnya dengan cepat menyebar luar ke wilayah luar Jawa, hingga ke kawasan lainnya seperti di Sumatra, Lombok, dan wilayah-wilayah lainnya. Lombok, dan wilayah-wilayah lainnya. Islam yang dibawa oleh Wali Songo adalah Islam sufi dengan sikap yang kompromis (toleransi) dan penuh kasih sayang (welas asih) (Azra, 2002). Usaha penyampaian dakwah Islam dengan cara-cara damai tersebut ditegakkan di atas asas keseimbangan dan keselarasan serta didasari dgn prinsip maw ‘izatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan yang bermakna sebuah metode penyampaian ajaran Islam melalui cara dan tutur bahasa yang baik. Hal tersebut dapat dipahami juga melalui prinsip dakwah al-muhafazah ‘alal qadimish shalih wal akhdu bil jadilil aslah yang bermakna sebuah kaidah ushul fiqih untuk memelihara khazanah masa lalu yang baik, serta mengadopsi perkembangan terbaru yang lebih baik.
Salah satu jejak nilai-nilai sufistik ajaran Wali Songo dalam ranah kehidupan sosial dan nilai-nilai kearifan lokal yang masih terlihat dan dapat kita rasakan dampak baiknya dalam keseharian kita sampai saat ini yaitu nilai (1) kesabaran (shabar); (2) keikhlasan (ikhlas); (3) andhap ashor (tawadhu’); (4) keadilan (adl); (5) guyup rukun (ukhuwah); (6) lila atau rela (ridho); (7) kesederhanaan (wara’); (8) nrimo (qona’ah); (9) eling (dzikir); (10) pasrah (tawakal). Nilai-nilai tersebut merupakan ajaran Islam yang diambil dari bahasa Arab yang disesuaikan dengan pemahaman masyarakat sekitar. Nilai-nilai tersebut mulai diajarkan oleh Wali Songo pada akhir pemerintahan kerajaan Majapahit.
Kelembutan ajaran sufisme yang dibawa oleh Wali Songo melalui metode dakwah maw ‘izatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan dan prinsip dakwah al-muhafazah ‘alal qadimish shalih wal akhdu bil jadilil aslah tersebut disampaikan melalui beberapa jalur, di antaranya yaitu (1) jalur pendidikan, (2) kesusasteraan, (3) produk kebudayaan dan adat istiadat, (4) pemikiran-falsafah hidup, dan (5) nilai-nilai kehidupan sosial. Kajian ini InsyaAllah dapat disampaikan pada tulisan-tulisan/artikel-artikel berikutnya. Wallau a’lam bissowwab..
No responses yet