Categories:

Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Pada Awal Abad ke-18.  Sultan Abdul Hamid atau Pangeran Diponegoro telah meletakkan dasar dasar berbangsa, bernegara dalam bingkai kehidupan beragama. Sebagai seorang Jawa, dia sangat mencintai dan menghormati sejarah, budaya adat dan tradisi Jawa.Sebagai seorang muslim dia sangat menteladani perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang bangsawan putera seorang raja, dia sangat memahami bagaimana selayaknya melindungi harkat dan martabat bangsanya.

Zainul Milal Bizawie mencoba mengungkapkan itu semua dalam sebuah tulisan yang runut untuk menggali kembali warisan Pangeran Diponegoro dan para laskar ulama dan santri. Warisan itu adalah sebuah jaringan pesantren dan ulama yang meneruskan cita-cita Pangeran Diponegoro. Tidak berlebihan bila apa yang dilakukan oleh para bangsawan , para ulama dan santri dalam berjuang melawan penjajah Belanda menjadi cikal bakal kesadaran nasional dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Sebuah kesadaran untuk tetap menjunjung tinggi budaya, adat dan tradisi tanpa harus meninggalkan keislaman.

Ki Roni Sodewo (Ketua Umum Patra Padi – Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro)  Setahun sudah Zainul Milal Bizawie meluncurkan buku yang berjudul ‘Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19’.  Peluncuran diadakan di Auditorium 2 Gedung Perpusnas RI, Jakarta Pusat, Kamis (25/7) 2020.  Peluncuran buku dengan tebal 444 halaman ini dihadiri sejumlah tokoh, di antaranya Katib Syuriyah PBNU KH Miftah Faqih, Akademisi UIN Syarif Hidayatullah M Ikhsan Tanggok, Jubir BIN Wawan Hari Purwanto, Buduyawan Zastrouw Al-Ngatawi, Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad, Dekan Unusia Jakarta Ahmad Suaedy,  dan Direktur Islam Nusantara Center A Ginanjar Sya’ban. Masing-masing dari mereka mengemukakan testimoninya.   Zainul menyatakan bahwa penulisan sejarah, termasuk tentang tokoh Diponegoro menjadi pekerjaan yang besar bagi Nahdliyin. Sebab, selama ini sejarah yang ada terputus, sehingga Nahdliyin, khususnya santri sudah saatnya untuk mengungkapkan yang terputus itu kepada publik. “Supaya peran kita, sebagai santri benar-benar diketahui, sehingga santri yang juga memiliki negara ini berhak mengisi dan memimpin negara ini,” kata Zainul. Diponegoro adalah sosok yang bukan hanya pejuang yang memperjuangkan politik atau keratonnya, melainkan juga seornag ulama yang mengetahui dan ingin menegakkan nilai-nilai Islam di Indonesia mengingatka saat itu kolonial sangat zalim. Bahwa pemerintahan itu harus mengikuti nilai-nilai keislaman, khususnya penegakkan keadilan karena kolonial (penjajah) selama ini menindas bangsa kita dan menjadikan bangsa kita menjadi bangsa yang tertinggal jauh dari negara lainnya  Karya Zainul ini diharapkan bisa memberikan manfaat kepada masyarakat luas, dan membuat generasi penerus membaca dan menjadikan Diponegoro sebagai seorang yang inspiratif dan dapat mengambil hikmahnya.Harapannya pembaca mengetahui bahwa Diponegoro seorang santri dan muslim yang taat dan tidak terpisah dengan ksatria itu.
Di tengah kecenderungan menguatnya isu-isu radikalisme yang terkait gerakan transnasional, politik identitas, serta belum tuntasnya pertanyaan seputar hubungan antara agama dan negara, terasa sangat penting menyimak isi buku Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad Ke-19 yang ditulis Zainul Milal Bizawie.

Pada buku ini terpapar sebuah jawaban tentang betapa sungguh beralasannya mereka yang khawatir terhadap kekuatan Islam beserta gerakannya di ranah politik.

Toh, melalui spektrum perjuangan Pangeran Diponegoro yang merupakan ulama, pengikut tarekat Syattariyah, kaum terdidik, dan bangsawan, penulis menyuguhkan potret Islam yang revolusioner, memiliki dukungan sangat luas, tapi juga teduh serta nasionalis meski gerakan itu dapat dikaitkan dengan gerakan di luar Nusantara.

Paparan sejarah setebal 444 halaman ini seakan hendak mengingatkan kembali perihal keharmonisan pola hubungan antara agama (Islam) dan negara. Jelas bahwa politik memang tidak bisa dipisahkan dengan agama.

Selain bukan dua kutub yang harus dibenturkan, agama justru terbukti dapat memainkan peran strategis untuk kepentingan negara dan paling mampu mengisi ruang-ruang yang tidak bisa dijangkau kekuasaan terhadap sisi paling rahasia pada diri setiap warga.

Melalui kiprah pahlawan nasional yang juga dikenal dengan nama Sultan Abdul Hamid Herucokro ini, penulis yang memetakan jejaring, memperhatikan transmisi ideologi dan kultural, mendapati bahwa wajah Islam di Nusantara memang khas.

Sambil mengkritik pandangan orientalis yang melihat Islam di Nusantara sebagai sinkretis serta jauh dari bentuk asli yang berkembang di pusatnya di Timur Tengah. Menurut Zainul Milal Bizawie, “Karakteristik Islam di Nusantara justru layak dijadikan model dan cara pandang membangun dan mengkaji berbagai persoalan dunia.” (h. 18)

Narasi dalam Perang Jawa

Setidaknya ada tiga hal yang bisa dicatat sebagai kunci keberhasilan Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang Jawa dan kaitannya dengan konteks gerakan kekinian. Kunci-kunci ini penting untuk dipelajari mengingat perang yang berlangsung sejak 1825-1830 Masehi (M) ini merupakan perlawanan terbesar masyarakat Jawa yang amat merepotkan dan menguras kas penguasa kolonial Belanda. Dari sesama anak bangsa pun Pangeran Diponegoro harus berhadapan dengan keraton-keraton yang telah dikuasai penjajah.

Pertama, jejaring ulama santri yang sejak lama dibangun dan dibina Pangeran Diponegoro sehingga dukungan meluas di tanah Jawa. Bahasan ini bahkan menjadi perhatian utama penulis yang mengurai secara rinci hingga jejaring itu terbentuk, baik karena garis keturunan, hubungan guru murid (sanad keilmuan), hubungan menantu, maupun perjuangan. Termasuk jaringan dengan Turki Utsmani yang dapat dilacak dari taktik perjuangan dan penamaan laskar.

Jejaring santri ini pula yang terus bergerak meski karena pengkhianatan tokoh utama akhirnya ditangkap dan dibuang ke Makassar. Bahkan keluarga, para pendukung, santri, panglima perang yang menghindari kejaran Belanda pascapenangkapan kemudian menyebar dan mengubah strategi perjuangan dengan mendirikan pesantren-pesantren untuk mencetak kader-kader penerus.

Dengan merunut garis kedekatan disertai jejak-jejak keterhubungan dengan Pangeran Diponegoro, penulis menunjukkan bahwa dari strategi itulah kemudian benar-benar terlahir tokoh-tokoh pergerakan periode berikutnya satu di antaranya KH Hasyim Asy’ari yang mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Kedua, literasi. Tidak dapat dinafikan bahwa kantong-kantong dukungan perjuangan berasal dari pondok-pondok pesantren. Secara historis, kemunculannya memang turut dipicu oleh kegelisahan para ulama, mengingat keraton telah dikendalikan Belanda. Para alim keluar istana, lalu mendirikan pesantren untuk mengajarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat luas. Pendidikan membuat mereka melek.

Ketiga, kejelian Pangeran Diponegoro menjadikan unsur ketaatan pada agama dan penghormatan budaya Jawa sebagai isu bersama untuk mempertaruhkan harta dan nyawa. Opini negatif yang disebarkan Belanda beserta keraton-keraton pendukungnya tidak mampu menepis keyakinan pendukung Sang Pangeran yang menafsirkan penggusuran patok (nisan) sebagai penghinaan yang tidak dapat diterima.

Narasi ini cukup berhasil membuat kalangan santri terlibat penuh, bahkan setelah perang usai, mereka masih merasa mendapatkan legitimasi historis dan memegang takdir untuk meneruskan perjuangannya(h. 367).

Di sinilah urgensi seorang pemimpin dan para elite. Mereka harus mengolah isu yang tepat agar dapat mengikat loyalitas dan menggerakkan para pendukungnya. Meskipun, dalam perjalanan perjuangannya terjadi juga perdebatan yang ingin menggali motif sesungguhnya di balik perlawanan Pangeran Diponegoro: sungguh ingin mendirikan balad (negara) Islam atau semata-mata karena ingin menjadi raja Jawa?

Perlu Musuh Bersama?

Argumentasi yang menegaskan bahwa “imagined community” tumbuh karena kezaliman penguasa kolonial menjadi musuh bersama tetap sulit diabaikan sebagai faktor yang memengaruhi karakter masa lalu. Konteks awal abad ke-19 tentu mengalami perbedaan dengan periode-periode berikutnya. Maka, apa yang harus dilakukan umat agama (Islam) sekarang, ketika republik ini telah diproklamirkan dan tidak ada lagi penjajahan fisik, sementara aneka pengelompokan menjadi bagian inheren bangsa Indonesia?

Seperti penulis utarakan di bagian awal, buku terbaru ini pun diposisikan sebagai pelengkap “Masterpiece Islam Nusantara” yang telah diterbitkan sebelumnya, yang berusaha menampilkan wajah khas Islam di Indonesia. Semoga jawaban tersebut kelak bisa semakin diungkapkan penulis dalam buku-buku hasil kajian berikutnya.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *