Mulawarman Banjarmasin adalah Kampung Pelajar yang digagas Raden Tumenggung Aryo Milono pada tahun 1955-1957, saat beliau menjadi Gubernur Provinsi Kalimantan ke-2 (sesudah Ir. Gusti H. Muhammad Noor) dengan ibukotanya masih Banjarmasin. Beliau membangun suatu yang monumentantal dan masih berpengaruh sampai sekarang yakni menggagas dan membangun kampung pelajar Mulawarman.
Pada kompleks tersebut, selain ada sekolah dari tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Juga terdapat Stadion Mini yang berdampingan dengan Stadion 17 Mei.
Lokasi kawasan ini, dijepit antara daerah Teluk Dalam dan daerah Belitung. Di dalamnya terdapat mengelilingi kompleks Mulawarman kampung Kinabalu, Skip Lama, Meratus, Saka Permai, Batu Benawa, Batu Piring, Batu Tiban dan Kerokan. Dahulunya mungkin merupakan wilayah tangsi militer dan banyak asrama tentara yang bagi pemerintah mudah mealih fungsikan dan memanfaatkan kawasan tersebut tanpa gejolak dan ganti rugi yang mahal.
Raden Tumenggung Ario Milono lahir di Pekalongan, 31 Maret 1896. Sebagai putra bangsawan, dia menyelesaikan Sekolah Dasar Lagere School yang dikhususkan untuk putra bangsawan tinggi di Pekalongan. Kemudian dilanjutkan dengan Sekolah OSVIA bagian 2 di Magelang, dan mendapatkan diploma pada tahun 1917. Setamat dari OSVIA, dia melanjutkan pendidikannya di Bestuurschool, Batavia dan mendapatkan diploma pada tahun 1931. RTA Milono menngawali kariernya sebagai wedono di Slawi, Tegal. Beberapa saat kemudian diangkat sebagai Mantri Polisi, Tegal, Mantri Polisi, Lebaksiu, Mantri Polisi Kelas I, Brebes dan Sekretaris Kabupaten kelas I, Banyumas.
Semenjak tanggal 10 Maret 1936, ia diangkat menjadi Bupati Pati. Tidak diketahui pasti tentang jabatannya setelah menjadi Bupati. Pada akhirnya RTA Milono diangkat menjadi Gubernur Provinsi Kalimantan dengan ibukotanya Banjarmasin, menggantikan Ir H. Pangeran Muhammad Noor (1955-1957), Gubernur pertama Provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukotanya Palangka Raya sebelum Tjilik Riwut (1957-30 Juni 1958) dan Gubernur Jawa Timur dengan ibukotanya Surabaya, menggantikan R. Samadikun (1958-1959).
Kompleks perkampungan Mulawarman ia bangun dengan konsep keragaman baik keragaman lembaga pendidikan maupun keragaman penghuni/pelajarnya. Seingatku, saat aku sekolah di Mulawarman selama 7 tahun (1973-1980) di PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) 6Th, ada SMPN 1, SMPN 2, SMP Seroja, SMAN 1, SMAN 2, SGO (Sekolah Guru Olahraga), SMOA (Sekolah Menengah Olahraga Atas), SPGN(Sekolah Pendidikan Guru Negeri), SKKP (Sekolah Kejuruan Keputrian Pertama), SKKA (Sekolah Kejuruan Keputrian Atas), SMEA (Sekolah Ekonomi Atas), SMPP, SPSA, MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri) dan sekali lagi PGAN 6Th. Sayang, aku tak ingat nama SDN dan TK yang ada di sana. Di samping itu, di seputar sekolah dibangun kompleks perumahan guru, sebagai bagian penting, Mulawarman sebagai kampung pelajar.
Kemudian nampak di sana, semua unsur berinteraksi secara intensif berbagai siswa dari beragam asal-usul, etnis, jenis kelamin, agama dan sosial. Ada dari yang mukim (pribumi) dan pendatang. Ada Banjar Muara, Banjar Hulu, Banjar Batang Banyu, Dayak, Bugis, Madura, Jawa, Sasak, Bima, Minang, Palembang, Batak, Manado, Ambon, Arab dan Cina yang terdiri dari perempuan dan laki-laki. Ada yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, Kaharingan dan Balian. Ada anak kelas elit, kelas menengah dan kelas bawah. Karena keragaman berbagai latar belakang ini muncul dan tumbuhlah kompetisi yang sehat dan toleransi yang berderajat tinggi di kampung itu. Setiap lembaga memberikan pelayanan yang terbaik bagi siswanya baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga hampir semua sekolah yang berada di dalam kompleks Mulawarman bisa dikatakan menjadi sekolah pavorit. Pergaulan antar agama dan lintas iman sangat terlihat baik antar guru maupun antar siswanya hingga sikap saling menghargai perbedaan menjadi terbina dan berjalan secara wajar dan alami.
Aku dan mungkin setiap orang di Banjarmasin pada waktu itu merasa bangga dan istimewa ketika memasuki kampung tersebut, berbeda saat memasuki kampung lain. Apalagi bagi mereka yang tinggal di dalamnya atau bagian dari para pelajar yang pernah mengais ilmu di sana, rasanya nyaman sekali, berkelas dan sesuatu banget. Dikatakan begitu karena kawasannya saat itu, masih hijau penuh pohon-pohon besar, air mengalir jernih, udaranya segar dan banyak burung yang masih berkicau di sela-sela tiupan angin yang berhembus menerpa rerumputan.
Kini kata Zulfaisal Putera (Essayis kondang), kampung pelajar Mulawarman tidak sehebat dan seindah dahulu lagi, bahkan kalau dibiarkan tanpa perbaikan akan hanya menjadi romantisme dan kenangan belaka. Di sana tak terdengar lagi sekolah pavorit, kalah dengan Sekolah Muhammadiyah di Cempaka, Sekolah Sabilah Muhtadin, Sekolah Ukhuwah, Sekolah Banua dan sejenisnya. Kemudian, keadaan lingkungan sudah tak rindang dan indah lagi. Terasa gersang dan kumuh, nyaris tak ada lagi pohon rimbun, sungai-sungai ditimbun, sudah tak ada lagi kebun-kebun dan perumahan guru sudah minim. Bisa dikatakan saat ini, kampung Mulawarman sudah tak lagi sebagai icon kampung pelajar di Banjarmasin, sudah hilang kewibawaan atau setidaknya menurun sekali kharisma keterpelajarannya.
Zulfaisal mengusulkan dengan sangat agar kampung Mulawarman dikembalikan kefungsinya semula sebagai kampung pelajar yang indah berwawasan lingkungan, sehingga menjadi bukan saja kampung pelajar, tapi juga menjadi kawasan wisata kota yakni wisata edukasi, wisata sejarah, wisata alam dan wisata budaya. Penanganan ini harus melibatkan semua pihak terutama pemerintah kota untuk membuat kebijaksanaan melalui otoritas pada salah satu dinas (pendidikan) agar sesegera mungkin memulihkan Mulawarman sebagai kampung pelajar seperti Tempoe Doeloe. Syukur-syukur, bisa menambah lagi dengan normalisasi sungai dan kegiatan penghijauan.
No responses yet