Beliau adalah Muzayyin Sardju, kakak tertua kami, lahir tahun 1952 (68 tahun). Alhamdulillah masih sehat. Hal yang saya heran adalah rambutnya  masih hitam.

Kakak landes Kangmas Ahmad Zahro ini sejak muda militan saat berhadapan dengan Orde Baru. Saya saksi mata sendiri percikan  kemilitannya. Sewaktu saya masih kecil sekali,  tapi masih  ingat banget. Pada suatu malam saya ikut nunggoni nyablon gambar PPP lalu siangnya ikut menempelkan gambar-gambar itu di pohon, pagar dan lainnya. Tentu itu biaya sendiri entah dari jual ayam atau apapun yang bisa dijual. 

Pada tahun 1977 (usia saya 4 tahunan), saya  juga pernah diajak naik truk bersama warga menuju ke kota Nganjuk untuk menyaksikan kampanye Rhoma Irama. Saya melihat di atas lapangan helikopter berputar putar (mungkin ingin mengintimidasi).

Beliau juga punya pengalaman berhadapan dengan aparat desa dan aparat Golkar. Berikut ini adalah penuturannya:

“Suatu ketika di dusun Tuko ada  kampanye yang disokong aparat desa. Sistem kampanyenya ndak objektif karena Paklek saya  sebagai guru agama (PNS) mau ndak mau dipaksa untuk untuk mengkampanyekan Golkar. Waktu itu orang kampung dikumpulkan, terus Paklek  menyampaikan bahwa kita nanti dalam Pemilu semua harus nyoblos Golkar.”

Kangmas melanjutkan, “Begitu  pula kepala desa berapi-api menyampaikan bahwa kita sudah mengalami  zaman makmur, kita ndak usah  pilih yang lain, kita harus memilih Golkar.” 

Kangmas sebagai mahasiswa merasa bahwa sebenarnya kita dipaksa  secara halus. Untuk itu dia angkat tangan, “Pak, mohon waktu bisa Pak.” Kepala desa menjawab,  “Oh ya, bisa, bisa. Wah  ini anak lanang saya, ayo maju.”

Kangmas maju dan berucap, “Sebagaimana yang disampaikan di depan  tadi, kita nanti memilih Golkar, tapi itu bukan paksaan. Sampean semua tidak apa-apa untuk tidak milih Golkar, misalkan sampean semua nyoblos PPP.”

Kata Kangmas, aparat langsung bilang, “Turun, turun, turun, kamu turun”,  saya pun enggak bisa melanjutkan omongan, terus saya turun.” 

Bayangkan, hanya berkata seperti itu langsung diusir disuruh turun. Selanjutnya ada intimidasi. Tindakan aparat era Orde Baru lebih menakutkan daripada era sekarang.

Selesai acara, salah seorang mendatangi Emak saya dan menakut nakuti agar kangmas saya tetap di rumah terus, kondisi bahaya. Tentu seorang wanita didatangi aparat desa dengan mengintimidasi adalah sikap pengecut. Kenapa tidak langsung mendatangi kangmas.

Akhirnya demi patuh kepada orang tua, kangmas tidak keluar rumah beberapa hari. Walau katanya sebenarnya tidak takut sama sekali.

****

Sebenarnya kisah represif era Orde baru banyak bertebaran. Kangmas saya yang dijanjikan menjadi PNS bila ikut TKS Butsi era  Soedomo. Setelah sekian tahun mengabdi di Lombok dan Sumatera Selatan lalu pulang ke kampung, ternyata dibiarkan bertahun tahun SK PNS tidak diturunkan. Hingga saya yang masih kecil turut prihatin saat itu. Namun setelah sekian tahun kangmas saya diam di rumah dan yang saya lihat hanya mengaji dan ke sawah, akhirnya SK PNS turun dan “dibuang” ke luar Jawa.

 Tentang represif Orde Baru saya juga pernah dapat kisah dari Kang Zastrouw bagaimana beliau disembunyikan Gus Dur di makam Troloyo karena dikejar aparat militer.

Bisa juga  baca  tulisan saya tentang Gus Dur dan Orde Baru di https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=735542230576537&id=100023623007183 dan di 

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=703032107160883&id=100023623007183

****

Lalu samakah era sekarang dengan Orde  Baru? Tinggal diamati apakah saat ini ada paksaan memilih partai? Apakah Ormas Islam moderat yang besar dimusuhi? Apakah oposisi yang kritis ditangkap? 

Nampaknya pemerintah hanya  mulai tegas dengan kelompok radikal.Tentu kita semua sepakat tentang kelompok radikal perlu ditangani agar kembali ke rel bernegara yang benar.

Tentu jangan sampai ada yang bilang bahwa pemerintahan Jokowi sempurna. Sama sekali salah, perlu tetap  ada yang mengkritik agar mata Jokowi dan sekitarnya terbuka. Tidak “mbudeg” atas urusan rakyat.

**

Foto bersama Kangmas Muzayyin Sardju,  Kangmas Shodiq Sardju, dan keponakan (putra kangmas Zahro).

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *