Di Nganjuk dikenal ada dua Kiai Zainuddin. Pertama Kiai Zainuddin yang tinggal di Cepoko, kedua Kiai Zainuddin yang tinggal di Mojosari. Selama ini yang kita kenal adalah kiai Zainuddin Mojosari. Sebenarnya masih ada Kiai Zainuddin lain, yakni yang berasal dari Cepoko Nganjuk.
- Kiai Zainuddin bin Abror Cepoko asalnya dari Sewulan (putra Kiai Sewulan). Ketika masih remaja, Kiai Zainuddin Cepoko suka adu kadigdayan. Pernah suatu saat beliau tarung dengan pemuda Grobogan. Tarung pada waktu itu disebut benten. Ternyata beliau kalah. Setelah kalah, beliau bertekad untuk mengasah kesaktiannya dengan topo kalong. Yakni puasa sambil menggantung kaki selama 41 hari.
Ketika sedang berpuasa, beliau ditemui secara gaib oleh Mbah Basyariyah Sewulan dan ditanya, “Kenapa Nak kamu kok puasa?”
Ternyata jawaban Mbah Zainuddin Cepoko tidak sesuai dengan niat awal tadi, yakni untuk kesaktian. Beliau justeru menjawab, “Supaya bisa ngaji Mbah.” Mimpi dialog gaib ini berlangsung sampai tiga kali. Selanjutnya Kiai Zainuddin ini mondok di Termas, dan terakhir mondok di Cepoko.
Beliau diambil menantu oleh Kiai Muhtar dengan putrinya yang bernama Asyhiroh. Sekedar informasi, Mbah Kiai Muhtar adalah putra Kiai Ali Imron, pendiri Pondok Mojosari Nganjuk. Kiai Muhtar ini menantu Bupati Pertama Berbek yakni KRT. Sosrokoesoemo I atau sering dipanggil dengan sebutan Kanjeng Djimat. Mbah Kiai Muhtar mempunyai anak lelaki bernama Kiai Imam Asyraf. Mbah Imam Asyraf mempunyai putri bernama Mbah Raden Khodijah yang selanjutnya dinikahkan
dengan Kiai Hamid Chasbullah (adik KH. Wahab Chasbullah) Tambakberas Jombang.
Murid Kiai Zainuddin Cepoko ini antara lain Mbah Wahab Chasbulloh dan Kiai Zainuddin Mojosari. Saat Kiai Zainuddin Mojosari sudah mengasuh pondok Mojosari, beliau masih menyempatkan untuk mengaji ke Cepoko.
Di antara keistimewaan Kiai Zainuddin Cepoko, suatu saat santrinya digigit ular. Akhirnya dengan kemampuan spiritualnya beliau mengundang seluruh ular yang ada. Maka penuhlah halaman rumah beliau dengan ular. Semua ular yang ada disumpah agar jangan menggigit anak turunnya hingga tujuh turunan. Dan betul tujuh turunan Mbah Zainuddin mempunyai kelebihan terkait dengan ular.
Saya dapat kisah dari Gus Pelapakk Sholawat (Gus Ali) bahwa salah satu peninggalan Kiai Zainuddin adalah blombang kramat di Utara masjid. Sewaktu pembangunan masjid akan diuruk, dicegah oleh KH. Sholeh Tambakberas. Banyak orang Cina ambil air di sini. Waqila, Mbah Suro dulu juga ambil dari sini.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah hanya mitos kisah di atas? Boleh percaya boleh tidak, tapi yang jelas ada beberapa kisah keturunan Kiai Zainuddin Abror dan santrinya yang saat digigit ular beracun hanya demam sebentar dan sembuh. Malah seperti KH Faqih bin Zahid dahulu memelihara banyak ular. Saat saya tanya apakah pernah digigit ular? Beliau menjawab bahwa ularnya mingkem. Sayang saya tidak bisa mewawancarai banyak karena ngendikannya (kalau berkata) kurang jelas setelah sebelumnya setahun lalu sakit sehingga perlu didampingi putranya yang sabar mengawal, Gus Saiful.
Dahulu banyak ular dipelihara di rumah KH. Faqih dengan dilepasbebaskan berkeliaran di rumah tanpa dikurung. Tapi sekarang sudah tidak, apalagi tiap tahun Gus Lik (kiai antik asal Kediri yang jamaahnya ribuan dan banyak bekas preman tobat dengannya) mengisi ngaji di Ndalem Yai Faqih.
****
cerita lagi dari Gus Pelapakk Sholawat bahwa setelah diterapi setrum, KH. Fakih tangannya terus bergerak (keter). Sekalipun demikian, ketika di sungai dekat pondok ada batu besar yang dipalu tapi tidak bisa bergerak. Akhirnya Mbah Kiai Faqih tahu dan berkata, “Ambilkan ketapel”, lalu batu besar itu diketapel Kiai Faqih dan langsung ambyar. Begitulah Gus Pelapakk Sholawat dapat cerita terbaru masyarakat Cepoko.
***
- Kiai Zainuddin Mojosari asalnya dari Padangan Bojonegoro. Beliau mondok di langitan. Di Langitan inilah beliau diambil menantu oleh kiai Sholeh Langitan (istri Kiai Sholeh adalah putrinya Yai Mukhtar Cepoko).
Selanjutnya, Kiai Zainuddin Mojosari diutus oleh Mbah Muhtar Cepoko agar ngopeni (mengasuh) pondok Mojosari, menggantikan Kiai Nurmuhyiddin yang pindah ke Poleng Mojoduwur (Kiai Nurmuhyiddin menantunya Kai Muhtar).
Santri-santri Kiai Zainuddin Mojosari antara lain KH. Wahab Hasbulloh, Kiai Jazuli (ayah Gus Miek), Mbah Wali Fattah Mangunsari Tulungagung.
Diantara keistemewaan Kiai Zainuddin Mojosari adalah kemampuan beliau memahamkan orang asing dengan cara dirangkul. Lebih jelasnya saat bertemu dengan Belanda, dia langsung dirangkul Yai Zainuddin. Maka terjadilah dialog yang satu menggunakan bahasa Jawa dan yang lain dengan bahasa Belanda.
Foto : Yai Faqih saat dengan Abah Sholeh Tambakberas.
Sumber
1. Kiai Zainuddin Poleng, wawancara pada 28 Juni 2017
2. Kiai Masyhudi Sanggrahan
No responses yet