Banyak orang menyatakan bahwa masa kecil adalah masa yang paling indah dan istimewa.. Masa-masa yang nyaris tak mengenal rasa duka cita dan lebih banyak gembiranya. Aku mengakui sejujurnya termasuk golongan tersebut penuh kebahagiaan yang lapang, ringan tanpa beban apalagi manakala sedang bermain di sungai, rasanya dunia ini sudah merupakan sebagian surga. Karena ketika aku sudah bisa berenang (bakunyung), rasanya sungai menjadi tempat ekspresi kebebasanku yang dianugerahkan Tuhan penuh kenikmatan. Saat aku ingin mulai berenang aku bisa meloncat dari batang tertinggi atau naik ke atap rumah dengan gaya terjun macam-macam, apalagi ketika air sungai pasang. Semisal Tajun Ciruk yakni terjun dari ketinggian yang kepala lebih dahulu masuk ke air sungai, Tajun Salto yakni terjun dari ketinggian dengan cara memutar tubuh dari atas ke bawah entah satu atau dua kali putaran yang berujung kepala masuk ke air sungai, Tajun Bapusing, yakni terjun dari ketinggian dengan cara memutar tubuh ke samping entah mulai samping kiri atau samping kanan yang berakhir kaki terlebih dahulu ke air sungai, dan Tajun Biasa yakni terjun dari ketinggian dalam gaya biasa, kaki terlebih dahulu masuk ke air sungai. Demikian juga berenang, bebas saja baik gaya dada, gaya bebas, gaya punggung maupun gaya kupu-kupu bahkan boleh dicampur aduk atau tak usah pakai gaya-gayaan.

Di samping itu, aku di sungai juga merasa sangat bebas bermain seperti baajakan, balawasan banyalam, balapan bakunyung, baadu bajauhan bakunyung, bakuatan manyabarang ke Pakauman, baramian balarut banyu (boleh pakai gadang atau pakai ban), basambunyian, main semacam polo air dengan bola kasti, main kapal-kapalan dan lain-lain. Selain itu aku juga suka main-main terkadang bermain dengan bahaya seperti berpegangan di buritan kelotok yang jalan, menyasahi perahu (Madura dan Bugis), memaraki kapal gonol yang akan lewat, mancari buah rambai, memutiki sihi kuning, naik lanting dan lain-lain.

Aku bisa berenang, diajari oleh Abah (ayah) ku, sejak kecil sekali atau sangat dini mungkin sekitar antara umur 3-4 tahun. Aku hidup di kampung Teluk Tiram yang keramaiannya waktu itu berada di Teluk Tiram Laut, salah satu bagian tepian sungai Martapura yang sangat panjang. Sedangkan Teluk Tiram Darat waktu itu masih sepi, penduduknya masih tak banyak. Kami sekeluarga dan kebanyakan penduduk Teluk Tiram waktu itu lebih sering mandi di batang mandi karena masih belum ada air ledeng. Aku sekeluarga sering mandi di batang mandi Langgar Miftahussalam dan batang mandi rumah Acil Hanifah (ading Abah) ku yang membangun rumah di pinggir sungai berdampingan dan bahkan bagian dari pasar Sajumput, pasar tua dan padat di Teluk Tiram.

Abahku mengajari berenang dengan mengikat pinggangku dengan kain babat yang panjang. Aku di lempar beberapa meter ke tengah sungai jauh dari batang, dibiarkan beberapa lama bergerak, ketika mau kelelep ditarik ke pinggir. Kemudian di lempar lagi, didiamkan, mau tenggelam, ditarik lagi. Begitu seterusnya sampai aku bisa mumbul di permukan air, latihan meningkat lebih mandiri. Aku setiap hari ketika mandi oleh abahku disuruh berlatih berenang dari ujung batang kanan ke ujung batang kiri pulang pergi berulang kali. Sesudah itu, aku bebas berenang sendiri, mau ke tengah atau menyusuri tepian, tapi masih memakai ban. Tak berapa lama berenang pakai ban, habis itu bebas berenang tanpa media dan alat apapun. Di kampung Teluk Tiram, berenang di sungai bisa dikatakan sudah menjadi tradisi, nyaris semua penduduknya tak ada yang tak bisa berenang. Kalau ada anak laki-laki apalagi sudah besar tak bisa berenang, akan dianggap aneh diluar kebiasaan. Lebih dari itu, ada yang menganggapnya sebagai banci, tidak jantan dan seperti perempuan banget.

Banyak pengalaman indah, saat di batang mandi dan berenang mengikuti atau melawan arus sungai bersama-sama kawan-kawan sepermainan termasuk yang berlainan jenis. Dulu ketika aku masih kecil, biasa bergaul, bermain dan bersenda gurau baik dengan sesama anak lelaki maupun anak perempuan, sehingga suatu yang wajar bila suatu waktu aku sempat tertarik dan jatuh cinta monyet pada salah satu anak perempuan nan cantik menawan yang namanya tak perlu kusebutkan. Cinta monyet kami tumbuh dan bersemi dari batang mandi, hembusan angin sungai, suara gemericik air, kecipak ikan dan teriakan burung elang. Indah sekali ketika kami mandi di batang mandi pada waktu yang sama, sama-sama berenang, sama saling berkejaran tanpa bersentuhan, hanya berpandangan mesra dan saling tersenyum gembira. Ini kukira masa kecilku paling indah, seperti kekal terukir di dinding ingatan, tidak lapuk oleh hujan dan tidak kering oleh kemarau panjang.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *