Di antara cacat pada jiwa manusia pada awalnya adalah karena melintasnya keburukan dalam hatinya sehingga karena memperturutkannya maka ia melakukan apa yang terlarang, lebih-lebih jika keburukan itu melintas di dalam hatinya secara berulang-ulang hingga mempengaruhi pikirannya.

Yang demikian itu terjadi karena ketiadaan muraqabah (pendekatan diri) dan kurangnya zikir atau lupa kepada Allah secara terus menerus. Jadi, obat penyembuhnya hanyalah rasa takut (mulazamat al-khauf) dan berzikir secara langgeng sepanjang waktunya, dengan diiringi kesadaran hati bahwa Allah Maha Melihat saat ia dalam kesendirian, sebagaimana Ia memerhatikannya saat bersama orang banyak.

Dengan begitu maka ia merasa malu jika perbuatan dosanya dilihat oleh orang lain, lebih-lebih senatiasa dilihat oleh Allah.  Selain itu, obat penyembuhnya adalah bahwa ia juga harus terus berupaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bekerja keras untuk memperbaiki hatinya dan gigih melawan hawa nafsunya.

Pembersihan hati dari segala macam kotoran dan penyakitnya sangatlah penting, sebab Allah tidaklah melihat bentuk rupanya, tidak pula perbuatan-perbuatan lahiriahnya, melainkan Allah melihat hatinya. Seperti disebutkan dalam hadits,

إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أعمالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم

Sebaik-baik hati adalah hati yang memiliki sifat kelemahkembutan, dan mempunyai kejernihan (bersih dari segala kotoran). Sebaliknya, hati yang terburuk adalah hati yang keras, kasar dan bersifat angkuh atau congkak.

Adapun contoh terbaik dari pemilik hati yang terbersih hanyalah Rasulullah SAW. sebagaimana firman Allah,

فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك ( آل عمران: 159 )

 Allah juga berfirman,

بالمؤمنين رؤوف رحيم

Dan juga Allah berfirman,

وإنك لعلى خلق عظيم (  القلم :  4 )

Oleh sebab itu, setiap orang yang beriman berkewajiban untuk meneladani kejernihan hati nabi, kelemahkembutannya dalam penempuhan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan akhlaknya. Orang beriman yang meneladani nabi Muhammad itu selalu berusaha menjaga kebersihan hatinya, hatinya tidak keras dan kasar melebihi kerasnya bebatuan, dan tidak ada sedikitpun keangkuhan dalam jiwanya yang karenanya ia tidak pernah memandang rendah manusia lainnya.

Jangan pernah terbersit di hati suatu perasaan lebih hebat dari orang lain, karena sungguh banyak orang yang dalam segala halnya melebihi kita. Sadarilah bahwa segala yang ada pada diri kita berupa apa yang kita klaim sebagai kelebihan diri kita tiada lain hanyalah anugerah dari Allah yang sudah seharusnya kita syukuri, yakni digunakan untuk menaati-Nya, bukan untuk durhaka kepada-Nya dan bukan pula untuk menghina siapa saja dari makhluk-Nya.

Al-Masjid al-Nabawi al-Syarif, Madinah

al-Munawwarah:

Rabu, 31 Januari 2018

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *