Dari Abu Hurairah (Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi) Radhiyallahu Anhu (603 – 678 M, Jannatul Baqi’ Madinah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf, melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi Asy-Syafi’i atau Imam Muslim rahimahullah, wafat 5 Mei 875 M, Naisabur, Iran).

Tawadhu vs Takabbur

Kerendahan hati (TAWADHU) merupakan wujud dari kesanggupan manusia menjaga potensi baik dalam hatinya. Kebalikannya adalah ketinggian hati (TAKABUR) akibat gagal menata potensi baik, sehingga diselimuti ragam penyakit kejiwaan. Kerendahan hati bukanlah rasa tak percaya diri (inferiority complex) akibat kesulitan beradaptasi dgn lingkungan.  

Kerendahan hati merupakan sikap atau perasaan yg dimiliki seseorang bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan khusus yg membuat dirinya lebih baik atau lebih unggul daripada orang lain.

Kerendahan hati juga dibuktikan dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk memberikan makna terhadap peristiwa2 yg terjadi di hidupnya, dapat mendorong kreativitas, dan bahkan berkontribusi dalam hal pencarian tujuan hidup seseorang.

Kerendahan hati atau Tawadhu adalah sifat terpuji seorang mukmin dan kebalikan dari sifat sombong. Tawadhu merupakan sifat orang2 saleh dan hanya sedikit yg memilikinya. Sebab, ketawadhuan bukanlah sesuatu yg hanya mengendap dalam hati. Ia akan memancar dalam sikap, tingkah laku, dan tutur kata.

Mutawadhi’

Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari Asy-Syadzili Al-Maliki atau Syeikh Ibnu ‘Atha’illah rahimahullah (1260 – 1309 M, Kairo, Mesir) memberi nasihat, salah satu kalam hikmahnya dalam kitab Al-Hikam sbg berikut :

“Mutawadhi (orang yg tawadhu) itu bukanlah seseorang yg tawadhu namun merasa dirinya lebih dari apa yg ia perbuat. Akan tetapi, orang tawadhu itu adalah yg meski ia tawadhu tapi merasa dirinya kurang dgn apa yg telah ia perbuat”.

Mutawadhi’, selalu menunjukkan sikap tenang, sederhana, dan bersungguh2 menjauhi rasa takabur atau pun sum’ah agar orang lain mengetahui amal kebaikan yg dikerjakan. Salah satu akhlak terpuji ini, mesti diteladani oleh setiap umat Islam, yg ingin memeperoleh kebaikan dalam agama hingga mu’amalahnya di lingkungan sosial.

Orang yg rendah hati adalah orang yg berintegritas secara pribadi dan sosial, tidak ada dalam kepura2an dan kemunafikan dalam bersikap dan bertindak, tetapi melakukan semua karya2 hidupnya atas dasar kebenaran dan keadilan, yg pada akhirnya memberi dampak kebaikan bagi banyak orang

Tawadhu’ dan Ilmu

Mutawadhi’ yg memiliki ilmu, tetap bersikap rendah hati. Ilmunya selalu beriringan dgn sifat tawadhu tsb adalah wujud dari ilmu yg bermanfaat. Dalam kitab Shaidul Khathir karya Abul Faraj Abdurrahman Al-Baghdadi Al-Hambali atau Imam Ibnu Jauzi rahimahullah (wafat 16 Juni 1201 M Bagdad, Irak) disebutkan :

“Ilmu yg membuat sehebat2nya ulama merasa dirinya lebih hina daripada sebodoh2nya manusia, itulah ilmu yg bermanfaat. “Ya Robb, selamatkan aku dari neraka. Apakah orang sepertiku patut memohon surga?”, kata Abus Sha’ba’ Shilah bin Asyyam Al-Adawy Al-Bashri atau Shilah bin Usyaim rahimahullah (wafat 62 H / 681 M di Basrah Iraq) dalam doanya.

Keterangan di atas, melambangkan keindahan sebuah ilmu yg berbalut sifat tawadhu, di mana kondisi ilmu tsb akan menghasilkan sumber2 kemulian. Dan ilmu yg demikian itu yg disebut dgn ilmu yg bermanfaat.

Orang yg memiliki Ilmu berorientasi material duniawi, hanya untuk mendatangkan banyak uang atau bisa dijadikan sbg sumber pundi2 rezekinya semata, tidaklah disebutkan sbg ilmu yg bermanfaat, jika masih terselip rasa sombong atau bangga atas ilmu yg dimilikinya.

Ilmu yg berbalutkan sifat tawadhu adalah ilmu yg bermanfaat dan juga menjadi sebab dirinya mendapatkan kemulian di dunia dan akhirat. Ia merendah di hadapan orang lain, namun hasilnya mendapatkan kemulian di sisi-Nya.

Ibadur Rahman

Menurut Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i atau Imam Nawawi rahimahullah (wafat 10 Desember 1277 M Nawa, Suriah) dalam kitab Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, menyebutkan bahwa orang yg menanam sifat tawadhu dalam dirinya, saat hidup di dunia akan dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di tengah2 manusia dan kedudukannya juga semakin mulia.

Orang2 yg rendah hati disebut sbg hamba2 Allah subhanahu wa ta’ala yg disayangi (‘ibadur rahman) yg berjalan di bumi dgn rendah hati dan menjawab setiap ujaran kebencian yg dilontarkan para haters dgn kedamaian

Datuk Indomo Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka rahimahullah (17 Februari 1908, Sungai Batang – 24 Juli 1981 M, Jakarta), dalam kitab Tafsir al-Azhar menjelaskan karakter ibadur rahman tsb sbg berikut :

“…. Dia adalah laksana padi yg berisi, sebab itu ia tunduk. Dia tunduk kepada Tuhan, karena insaf akan kebesaran Tuhan dan ia rendah hati terhadap sesamanya, karena ia pun insaf bahwa ia tidak akan sanggup hidup sendiri di dalam dunia ini. Dan bila dia berhadapan dgn orang yg bodoh dan dangkal pikiran, tidaklah ia lekas marah, tetapi disambutnya dgn baik.”

Puncak Tawadhu

قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .

Abu Sa’id al-Hasan ibn Abil-Hasan Yasar al-Bashri atau Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullah (wafat 15 Oktober 728 M, Basra, Irak) berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

قال عبد الله بن المبارك: “رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند من هو دونك في نعمةِ الله حتى تعلِمَه أن ليس لك بدنياك عليه فضل [أخرجه البيهقي في الشعب (6/298)].

Abu Abdirrahman ‘Abdullah bin Al Mubarrok rahimahullah (726 M Turkmenistan – 797 M, Hit, Irak) berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yg lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai2 engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.”

Selalu Berkata Baik dan Tandanya

Orang yg tawadhu’, selalu mengungkapkan dgn perkataan yg baik adalah refleksi kerendahan hati, yg mengalir dari ketulusan yg  seirama dgn perbuatan. 

Ada empat perkataan baik sbg tanda kerendahan hati, yg mudah diucapkan jika sekadar basa-basi atau hiasan bibir demi pencitraan. Akan tetapi, terasa berat manakala berhadapan dgn kenyataan yg tak diharapkan. Ilmu dan pencapaian mestilah menjulang tinggi, tetapi hati harus tetap menapak di bumi. Antara lain :

1. Meminta maaf di saat tak merasa salah. 

2. Berterima kasih ketika mendapatkan perlakuan yg tak menyenangkan.  

3. Meminta tolong ketika bisa menyuruh. 

4. Memohon doa pada saat mampu melakukan.

Ciri sikap tawadhu’

Dilansir laman NU Online, ada beberapa ciri yg menunjukkan sikap tawadhu yaitu :

1. Seseorang tidak suka atau tidak berambisi agar dirinya menjadi sosok terkenal dan penuh pujian. Popularitas tidak menjadi prioritas dalam tawadhu. Sebaliknya, dia akan ikhlas saat beramal semata2 mencari ridho Allah subhanahu wa ta’ala dan bukan pengakuan dari manusia.

2. Selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menerimanya, tanpa memandang disampaikan oleh orang dgn status sosial yg lebih rendah. Bagi orang yg tawadhu, kebenaran apa pun harus diterima. Hal ini sejalan dgn ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah (17 Maret 599 M, Ka’bah, Mekkah – 29 Januari 661 M, Grand Mosque of Kufah Irak) yg menyatakan bahwa : “Jangan melihat siapa yg mengatakan, lihatlah apa yg dikatakannya”.

3. Mau bergaul dgn siapa pun termasuk fakir miskin, lalu mencintai mereka. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam adalah teladan dalam mencintai kaum fakir dan miskin. Beliau tidak membedakan mereka dalam pergaulan.

4. Mudah dalam membantu orang lain yg memerlukan bantuan. Orang tawadhu tidak membeda2kan siapa yg akan dibantunya, baik sederajat atau tidak. Dia senantiasa meringankan beban orang lain yg membutuhkan.

Ciri2 mutawadhi’ diatas, mungkin diambil dari keterangan Al-Imam al-Allamah  Asy-Syaikhul Islam Quthbud Da’wah wal Irsyad As-Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad Ba’alawi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari rahimahullah (30 Juli 1634 M – 10 September 1720 M Zanbal, Tarim, Yaman) dalam kitabnya berjudul Risalatul Muawanah wal Mudhaharah wal Muwazarah, halaman 148-149, menjelaskan tanda2 orang tawadhu’ sbg berikut:   

فمن أمارات التواضع حبُّ الخمول وكراهية الشهرة وقبول الحق ممن جاء به من شريف أو وضيع. ومنها محبة الفقراء ومخالطتهم ومجالستهم. ومنها كمال القيام بحقوق الإخوان حسب الإمكان مع شكر من قام منهم بحقه وعذرمن قصَّر.   

“Tanda2 orang tawadhu’, antara lain, adalah lebih senang tidak dikenal daripada menjadi orang terkenal; bersedia menerima kebenaran dari siapa pun asalnya, baik dari kalangan orang terpandang, maupun dari kalangan orang yg rendah kedudukannya; mencintai fakir miskin dan tidak segan2 duduk bersama mereka; bersedia mengurusi dan menunaikan kepentingan orang lain dgn sebaik mungkin; berterima kasih kepada orang2 yg telah menunaikan hak yg dibebankan atas mereka, sementara memaafkan mereka yg melalaikannya.”

Penutup

Sebagai pamungkas, kami cantumkan maqalah yg masyhur dari Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al Muththalibi al-Qurasyi atau Imam Syafi’i rahimahullah (28 Agustus 767 M, Gaza – 20 Januari 820 M,  Fustat, Mesir) sbg berikut : Tawadhu adalah perkara yg sangat diidam2kan.

يقول  الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا يرى فضله »

“Orang yg paling tinggi kedudukannya adalah orang yg tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yg paling mulia adalah orang yg tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Termaktub dalam kitab Syu’abul Iman, 6: 304, karya Abubakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Abdullah al-Baihaqi Asy-Syafi’i atau Imam Al Baihaqi rahimahullah, wafat 1066 M di Naisabur, Iran)

Akhirnya, sikap kerendahan hati mengarahkan kita untuk menyadari bahwa kita hanya tidaklah berarti apa2 tanpa Allah subhanahu wa ta’ala. Keberadaan diri kita yg masih dapat menikmati hidup sampai dengan saat ini, apa yg kita miliki, yg banggakan ada dalam hidup kita semuanya bersumber dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Orang2 yg berjalan diatas bumi dgn rendah hati dan apabila orang2 bodoh menyapanya, mereka tetap mengucap kata2 yg mengandung keselamatan dirinya dan keselamatan orang banyak. Sehingga, kerendahan hatinya menampilkan sikap sabar dalam ketaatan, memberikan maaf, selalu bertawadhu/ bertasbih bersujud dan menampilkannya sbg sikap hidup kesehariannya.

Semoga bermanfaat

Written from various sources by Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik

CHANNEL YOUTUBE SARINYALA

https://youtube.com/channel/UC5jCIZMsF9utJpRVjXRiFlg

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *