Sudah lebih dari sepuluh hari pikiran ini menerawang ke mana-mana hanya untuk memikirkan bagaimana menulis abstrak yang jumlahnya tak lebih dari 250 kata. Tetapi, begitulah dunia akademik pada umumnya: sering membuat sesuatu lebih rumit bin ribet seperti kelakuan kerani pembuat kartu tanda penduduk elektronik. kadang-kadang kebawa-bawa hingga menjelang tidur.
Jumlah kata memang tak banyak. Tapi abstrak mencerminkan isi otak penulis. Jika loyo tulisan, kemungkinan besar tubuh tulisan bakal ngomong ngalor-ngidul tak karuan. Hal yang tak perlu diomongkan malah dibahas panjang lebar seperti konflik rumah tangga di ambang perceraian.
Rasanya pekerjaan paling berat untuk membuat abstrak yang tampak meyakinkan ada pada melakukan kajian literatur. Selain membaca puluhan literatur, kita perlu menempatkan hasil bacaan dalam alur yang sistematis. Jika Anda tak punya pekerjaan mendesak, baiknya membuat anotasi, kumpulan informasi kunci dari bahan bacaan terpilih.
Salah satu kegunaan pekerjaan ini memahami temuan utama dan relevansi bagi tulisan kita. Menurut rukun membuat anotasi, sekurang-kurangnya ada enam informasi kunci: dari tujuan dan metode, ruang lingkup, kegunaan untuk penelitian Anda, limitasi, kesimpulan, hingga refleksi.
Jika malas dan memang tidak diwajibkan, baiknya hasil bacaan ditata dengan teknik tertentu. Beberapa buku menyebut bisa Teknik model tulang ikan (fish bone diagram), peta konsep, atau kerangka umum saja. Dengan teknik ini akan membantu memperjelas peta masalah lalu membantu menelurkan kerangka teori yang dipilih. Ini perkara rumit lainnya.
Sekali lagi dunia akademik memang ribet. Nanti akan kita jumpai perbedaan antara kerangka teoretis dengan kerangka konseptual. Keduanya istilah ini sering dipertukarkan tapi dapat dibedakan. Kalau dibuat gampang, kerangka teoretis lebih khusus, ketimbang kerangka konsep. Kerangka teori akan menjadi kaca mata kita dalam riset. Kerangka teoretis adalah “struktur, cagak-cagak penyangga, bingkai dari studi Anda,” kata Saran B Merriam dari Universitas Georgia.
Saya memang sudah punya gambaran tentang pertanyaan umum yang akan menjadi fokus kajian. Mengapa kasus pelanggaran kemerdekaan beragama di satu daerah dapat diatasi, sedang lainnya gagal? Jawaban sementara atau hipotesis memang tampak gampang. Tapi sebetulnya tidak jika kita sudah tenggelam dalam banyaknya data dan bahan-bahan literatur sejenis. Pertanyaan yang di ada di kepala dari sudut apa saya membaca: peran negara, masyarakat, atau keduanya. Apa yang baru?
Kesimpulan cepat saya dari membaca beberapa bahan, kajian bagaimana advokasi OMS berhasil menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran kemerdekaan beragam sudah mulai banyak. Dari sudut ini, saya kesemsem dengan tulisan Daniel Philpott, Associate Professor Ilmu Politik dan Studi Perdamaian di Universitas Notre Dame: Religious Freedom and Peacebuilding: May I Introduce You Two? Ia berusaha melihat penyelesaian kasus kemerdekaan beragama dengan pembangunan perdamaian.
Saya sempat membaca tulisan Ken Miichi dan Yuka Kayane dalam “The Politics of Religious Pluralism in Indonesia: The Shi’a Response to the Sampang Incidents of 2011–12.” Tulisan ini menunjukkan bagaimana komunitas Syiah Sampang berhasil membangun daya tahan mereka sebagai korban dan membangun komunikasi dengan kekuatan negara.
Sementara itu kajian-kajian tentang kegagalan pemerintah dalam mengatasi atau mencegah pelanggaran KBB juga sudah bejibun, khususnya terkait faktor regulasi diskriminatif dan pembiaran pemerintah. Lantas, apa yang baru? Apa yang belum didalami? Dari pertanyaan ini, saya tertarik untuk mendekati kasus ini dari kerangka peran negara.
Satu kajian yang menarik dari pendekatan ini salah satunya di tulis dalam disertasi Aan Suryana dan diterbitkan menjadi buku bertajuk The State and Religious Violence in Indonesia. Ia menggunakan kerangka teori kapasitas negara (state capacity). Temuannya menunjukkan jika penyelesaian kasus Syiah Sampang dan Ahmadiyah Kuningan tidak berhasil diselesaikan karena adanya hubungan dekat antara pejabat negara dengan kelompok vigilante.
Kajiannya memang melihat “sisi bermasalah” kemerdekaan beragama, sedang di sisi lain terdapat sejumlah kisah sukses yang diperankan pemerintah. Pertanyaan yang menarik mengapa di satu daerah, pemerintah berhasil sedang di tempat lain gagal. Bagaimana peran kapasitas negara berfungsi dan tidak berfungsi faktor apa yang mempengaruhi keberhasilannya.
Tulisan ini akan menggunakan teori “kapasitas negara” yang berbeda dengan kapasitas administrasi, dan kapasitas kebijakan. Lantas apa kesimpulannya? Ruwet bin rumit. Demikianlah.
Kalimulya, 22 Februari 2021
No responses yet