Ada masanya, nama Tanjung Pura tidak disebut – sebut lagi, baik dalam catatan Eropa, Arab maupun Tiongkok. Beratus tahun lamanya tak terdengar lagi. Namanya hanya ada dalam Silsilatus Sulalatin yang mengambil dari Hikayat Melayu. Orang lebih kenal Sukadana dan selanjutnya Matan sebagai nama Kerajaan. Ini wajar sebagaimana orang lebih kenal Singhasari (kota raja zaman Kertanegara) dibanding Tumapel.

Ketika naik menjadi Sultanlah seorang Pangeran negeri Matan setelah mengalahkan sepupunya sendiri dalam perebutan tahta. Pangeran Ratu Gusti Asma (dalam tulisan lain ditulis Arma) naik tahta Kesultanan Simpang-Matan, dengan gelar Sultan Muhammad Jamaluddin. Pembantu utamanya Pangeran Keraton, iparnya, yang kemudian dianugerahinya gelar Panembahan dirajakan di Simpang.

Ditinggalkannya Istana warisan Almarhum ayahnya, Sultan Kamaludin Indralaya, di Sejenguk Kartapura, menghilir rakit hingga sampai ke Batupura yang kemudian diubahnya menjadi Tandjong Poera. Nama Tandjong Poera segera dicatat dan diperhitungkan.

Sayang kita belum melihat nama Tanjong Poera dalam tulisan Arab-Melayu. Namun, merujuk pada peta Belanda abad 19 kita bisa tarik kesimpulan Sultan Muhammad Jamaludin bukan sembarangan memberi nama kota rajanya. 

Belanda menulis nama kotarajanya Tandjong Poera, bukan Tandjoeng Poera. Berarti Sang Sultan yang digelari rakyatnya Sultan Adibai Dua Isteri Bedirie, karena ia memiliki dua Ratu, menyebut kotarajanya dengan Nama Tanjong (dengan O) bukan dengan Tanjung (dengan U). 

Adakah bedanya? Bagi pembawa bahasa Kayong, mestinya sadar akan beda ini. Karena Tanjong dan Tanjung ini walau sekarang sering ditulis sama (homograf) dan akibatnya disuarakan sama (homofon) namun hakikatnya ada perbedaan secara makna (tidak homonim).

Bila disebut ‘Tanjung’ maka orang Melayu akan segera teringat daratan menjorok ke depan yang biasanya berlawanan dan atau terletak setelah teluk/telok. Sedang bila disebut Tanjong, orang Kayong akan merujuk pada ‘Pokok Tanjong’. 

Lantas apa pentingnya? Ternyata Sultan Jamaluddin telah paham, karena kemungkinan ada peran guru kerajaan yang mengajari kitab Silsilatus Sulalatin, bahwa kerajaan Tanjong Poera yang disebut dalam kitab itu ada dalam  wilayahnya, dianggap sebagai ibukota kerajaan Simpang-Matan.

Kerajaan/Kesultanan Matan 

  1. Gusti Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724M) 
  2. Gusti Kesuma Bandan atau Sultan  Muhammad Muazzuddin (1724–1738M)
  3. Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749M)
  4. Gusti Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749–1762M)
  5. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819M)

Gusti Asma adalah raja terakhir, Kerajaan Matan dan pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan dialihkan ke Simpang, dan nama kerajaannyapun berganti menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan. Di bawah ini, saya tampilkan para penguasa kerajaan Simpang-Matan

  1. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819M). Anak Sultan Ahmad Kamaluddin.
  2. Gusti Mahmud atau Panembahan Anom Suryaningrat (1819–1845M). Menantu Sultan Ahmad Kamaluddin.
  3. Gusti Muhammad Roem atau Panembahan Anom Kesumaningrat (1845–1889M). Anak Panembahan Anom Suryaningrat 
  4. Gusti Panji atau Panembahan Suryaningrat (1889–1920M) 
  5. Gusti Roem atau Panembahan Gusti Roem (1912–1942M) 
  6. Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir (1942–1943M)
  7. Gusti Ibrahim (1945M) 

Gusti Mesir menjadi tawanan tentara Jepang yang berhasil merebut wilayah Indonesia dari Belanda pada 1942M, karena itulah maka terjadi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Simpang-Matan. Pada akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia, sekitar tahun 1945M, diangkatlah Gusti Ibrahim, anak lelaki Gusti Mesir, sebagai raja. Namun, karena saat itu usia Gusti Ibrahim baru menginjak 14 tahun maka roda pemerintahan dijalankan oleh keluarga kerajaan yaitu Gusti Mahmud atau Mangkubumi yang memimpin Kerajaan Simpang-Matan hingga wafat pada 1952M. Sampai sekarang nama “GUSTI MESIR” dan “GUSTI ROEM” di abadikan menjadi nama jalan di kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara. Sesudah itu, sempat muncul Kerajaan Kayong-Matan yang penguasa-penguasanya adalah sebagai berikut :

Kerajaan/Kesultanan Kayong-Matan 

  1. Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat 
  2. Pangeran Agung 
  3. Sultan Mangkurat Berputra 
  4. Panembahan Anom Kesuma Negara atau Muhammad Zainuddin Mursal (1829-1833M) 
  5. Pangeran Muhammad Sabran 
  6. Gusti Muhammad Saunan.

Demikianlah uraian tentang Kerajaan Matan yang bertranformasi menjadi Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong Matan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *