Kerajaan Mempawah adalah sebuah kerajaan Islam yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Indonesia. Nama Mempawah diambil dari istilah “Mempauh”, yaitu nama pohon yang tumbuh di hulu sungai yang kemudian juga dikenal dengan nama Sungai Mempawah. Pada perkembangannya, Mempawah menjadi lekat sebagai nama salah satu kerajaan/kesultanan yang berkembang di Kalimantan Barat. Riwayat pemerintahan adat Mempawah sendiri terbagi atas dua periode, yakni pemerintahan kerajaan Suku Dayak yang berdasarkan ajaran Hindu dan masa pengaruh Islam (kesultanan).

Cikal Bakal Kerajaan Mempawah

Mempawah pada Masa Kerajaan Dayak-Hindu

Cikal-bakal Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat terkait erat dengan riwayat beberapa kerajaan pendahulunya, di antaranya adalah Kerajaan Bangkule Sultankng dan Kerajaan Sidiniang. Kerajaan Bangkule Sultankng merupakan kerajaan orang-orang Suku Dayak yang didirikan oleh Ne`Rumaga di sebuah tempat yang bernama Sultankng.

kerajaan Suku Dayak yang dipimpin Patih Gumantar adalah sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri dan sudah eksis sejak sekitar tahun 1380 M. Dikarenakan pusat kerajaan ini berada di Pegunungan Sidiniang, di daerah Sangking, Mempawah Hulu, maka kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Sidiniang.

Dikisahkan, Patih Gumantar pemah menjalin hubungan dengan Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit dalam rangka mempersatukan negeri-negeri di nusantara di bawah naungan Majapahit.Bahkan, Patih Gumantar dan Gajah Mada konon pemah bersama-sama ke Muang Thai (Thailand) untuk membendung serangan Khubilai Khan dari Kekaisaran Mongol. Bukti hubungan antara Kerajaan Sidiniang dengan Kerajaan Majapahit adalah adanya keris yang dihadiahkan kepada Patih Gumantar. Keris ini masih disimpan di Hulu Mempawah dan oleh warga setempat keris pusaka ini disebut sebagai “Keris Susuhunan”.

Eksistensi Kerajaan Sidiniang tidak lepas dari ancaman. Salah satunya adalah serangan dari Kerajaan Suku Biaju. Dalam pertempuran yang terjadi pada sekitar tahun 1400 M itu, terjadilah perang penggal kepala atau perang kayau-mengayau yang mengakibatkan gugurnya Patih Gumantar. Dengan gugurnya Patih Gumantar, riwayat Kerajaan Sidiniang pun berakhir. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan Patih Gumantar diteruskan oleh puteranya yang bernama Patih Nyabakng. Namun, masa pemerintahan Patih Nyabakng tidak bertahan lama karena Kerajaan Sidiniang terlibat perselisihan dengan Kerajaan Lara yang berpusat di Sungai Raya negeri Sambas. Selepas kepemimpinan Patih Nyabakng, riwayat Kerajaan Sidiniang belum terlacak lagi.

Dua ratus tahun kemudian, atau sekitar tahun 1610 M, berdirilah pemerintahan baru yang dibangun di bekas puing-puing Kerajaan Sidiniang. Belum diketahui hubungan antara pendiri kerajaan baru ini dengan Patih Gumantar. Dari sejumlah referensi yang ditemukan, hanya disebutkan bahwa pemimpin kerajaan baru ini bernama Raja Kodong atau Raja Kudung. Raja Kudung kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari Sidiniang ke Pekana.

Pada sekitar tahun 1680 M, Raja Kudung mangkat dan dimakamkan di Pekana. Penerus tahta Raja Kudung adalah Panembahan Senggaok, juga dikenal dengan nama Senggauk atau Sengkuwuk, yang memerintah sejak tahun 1680 M. Penyebutan nama Panembahan “Senggaok” digunakan seiring dengan dipindahkannya pusat pemerintahan dari Pekana ke Senggaok, yakni sebuah daerah di hulu Sungai Mempawah. Panembahan Senggaok menyunting puteri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri di Sumatra, bernama Puteri Cermin, dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Utin Indrawati. Puteri Utin Indrawati kemudian dinikahkan dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Tanjungpura. Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak bernama Puteri Kesumba. Puteri Kesumba inilah yang kemudian menikah dengan Opu Daeng Menambun, pelopor pengaruh Islam di Mempawah.

Kerajaan Mempawah pada Masa Kesultanan Islam berlangsung dari tahun 1740 sampai tahun 1950 dengan lambang kekuasaannya Istana Amantubillah di Mempawah dengan Ibu kota Mempawah. Bahasa Melayu (resmi) dan Dayak. Pada 1740–1761 yang berkuasa Pangeran Mas Surya Negara. Pada tahun 1902–1944 yang berkuasa Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin. Pada tahun 2002-Sekarang yang bertahta adalah Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *