Suatu ketika, Syeikh al-Buti diundang untuk menghadiri seminar ilmiah di Perancis. Kegiatan seminar dilaksanakan selama dua hari. Pada hari pertama audiennya dari kalangan non-muslim, sementara hari kedua audiennya khusus umat muslim.

Materi yang disampaikan Syeikh al-Buti pada hari pertama adalah tentang filsafat dan pemikiran Islam. Sementara hari selanjutnya yang audiennya khusus umat muslim, al-Buti menyampaikan materi tentang mafhum ubudiyah, yakni makna penghambaan kepada Allah.

Antusiasme dari audien sungguh luar biasa. Bahkan, ada satu jurnalis non-muslim dari Perancis yang sengaja mengikuti seminar di hari kedua karena hari pertama tidak bisa hadir, sehingga ia sengaja minta izin kepada panitia untuk mengikutinya. 

Seperti biasa, setelah seminar selesai, al-Buti di bawa ke suatu ruangan untuk ramah-tamah dengan beberapa tokoh. Tiba-tiba jurnalis meminta izin untuk bisa bertemu langsung dengan Syeikh al-Buti untuk menanyakan beberapa masalah yang menguncang jiwanya atas penjelasan al-Buti dalam seminar.

Sang jurnalis pun dipersilahkan untuk beraudiensi dengan Syeikh al-Buti. Tiba-tiba ia menangis sambil berkata:

“Materi hari ini benar-benar menggetarkan hati saya. Bolehkah saya bertanya sesuatu?” tanya jurnalis.

“Silahkan, apa masalahnya?” timpal Syeikh al-Buti.

“Tadi, Anda jelaskan rasa takut dalam cinta. Selama ini saya pahami bahwa cinta itu selalu menghadirkan rasa bahagia, senang, perasaan dekat dengan yang dicintainya. Jadi, di mana rasa takutnya? Apakah mungkin seorang pencinta memiliki rasa takut?” lanjut jurnalis.

Syeikh al-Buti pun spontan menangis tersedu-sedu. Dan beliau pun menjawab pertanyaan jurnalis.

“Adakah rasa takut yang lebih besar dari rasa takutnya seorang pencinta akan kehilangan kekasih yang dicintainya (Allah). Atau kehilangan cintanya kekasih (Allah) kepada dirinya.” Jawab Syeikh al-Buti dengan suara parau.

Begitulah, cinta para sufi. Mereka mencintai Allah dengan sedalam-dalamnya, dan pada saat yang sama, mereka takut kehilangan cinta Allah kepada dirinya. Di sinilah cinta dan rasa takut bercampur.

Cinta inilah yang mendorong untuk segera bertemu dengan-Nya. Sehingga kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya. Justru kematian adalah gerbang untuk bertemu dengan sang kekasih sejati, Allah. Wallahu a’lam.

Jogya, 16 Juli 2020

Catatan: bagi yang berminat membaca pemikiran sufistik Syeikh al-Buti, bisa membaca buku saya di bawah ini.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *