Tangerang Selatan, jaringansantri.com -Direktur Islam Nusantara Center (INC) Ahmad Ginanjar Sya’ban mengatakan bahwa ketika Indonesia baru berdiri, Kesultanan Siak meenggabungkan wilayah kedaulatan Siak dengan RI yang baru merdeka. Kemudian menyumbangkan jutaan gulden untuk Republik.
“Sultan Syarif Kasim II ketika Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan, langsung menyatakan bergabung dan menyerahkan kekuasaannya. Wilayahnya dinyatakan bergabung tahun 1945,” kata Ginanjar Sya’ban di INC. Sabtu, (13/01).
Bahkan, lanjut Ginanjar, sultan terakhir Siak tersebut menyerahkan harta untuk negara Indonesia yang baru lahir itu. “Termasuk beliau menyumbangkan harta kekayaannya untuk membiayai negara yang baru berdiri. Negara baru berdiri, diantaranya disumbang oleh Sultan Siak,” terangnya.
Apa alasan bergabungnya Kesultanan Siak bergabung tanpa ragu dengan Republik? Ginanjar Sya’ban mengatakan salah satunya karena Sultan Syarif Kasim pernah belajar di Batavia dan pernah bergabung dengan gerakan bumi putra.
Sementara itu, melihat latar belakang sejarah kesultanan, Zainul Milal Bizawie mengatakan “Sebelum kesultanan Siak, sejak era walisongo, hubungan antara kesultanan sudah cukup kuat. Sehingga ketika Portugis datang ingin menguasai Malaka, semua Kesultanan baik dari Demak Jawa maupun dari Sulawesi itu membantu untuk menghentikan langkah Portugis dalam menguasai Malaka.”
Kedua pembicara melihat perbedaan antara kesultanan di Sumatera dan kerajaan di Jawa. Dalam strategi perang, kesultanan Siak sudah cukup canggih. Ahmad Ginanjar mengatakan bahwa dalam perang melawan Belanda, Belanda kalah dua kali.
“Jika di Siak menggunakan startegi perang air, berbeda dengan Diponegoro dengan strategi perang hutan,” katanya.
Perbedaan lainnya, kerajaan di Jawa, menurut Ginanjar, muftinya ada, tapi peran besar dilakukan oleh pujangganya. Muftinya ada di luar kerajaan. Di Melayu, setiap kerajaan punya mufti dan hukum yang diterapkan hukum-hukum Islam.
Sedangkan Gus Milal, yang juga sejarawan dari kalangan santri berpandangan bahwa Sumatera itu berjuang dibantu mufti dan kesultanannya. Sementara di Jawa, rakyat yang bergerak san ulama-ulama di luar kerajaan.
“Cara bekerja kesultanan yang ada di Jawa berbeda dengan di Sumatera. Kalau di Sumatera seorang penghulu atau mufti itu berada di Kesultanan memiliki kekuatan. Di Jawa, mufti dan pujangga memiliki otoritas masing-masing. Tapi masalah keilmuan, Pujangga yang paling berperan dalam kerajaan,” terangnya.
Makanya, ketika keraton bersekutu dengan kerajaan, ulama memilih keluar dari keraton berjuang bersama rakyat. Sementera di Sumatera mufti selalu mendapingi kesultanan dalam melawan kolonial, tidak terpisah.
“Andai saja, ulama-ulama Nusantara dulu tidak ikut berperang merebut kemerdekaan, tidak ada Indonesia. Yang menyatukan kesultanan-kesultanan itu ya para ulamanya,” pungkasnya. (Aditia)
Comments are closed