Jembatan Awal
Tiba-tiba, entah mengapa, teks mengalami perkembangbiakan. Teks, setelah proses pembentukannya di tangan sang penulis, kehilangan kontrolnya hingga tak lagi berdiam diri; ia mengalir, memuai, menguap dan beranak-pianak. Teks bagai perahu yang diterpa angin dengan bebas. Ia berlayar semaunya terserah angin yang membawanya, dan tanpa tahu di dermaga mana ia akan terdampar. Ketika itu sang pembuat kapal, nahkoda dan instruktur arahnya telah meninggalkannya di laut lepas. Dan hanya takdir yang bisa menentukan arah tujuannya.
Itulah teks, dan demikian pula posisi penulis. Teks, setelah terlahir melalui kontemplasi yang rumit, memiliki alamnya sendiri. Ia tak lagi dimiliki penulis, melainkan pembaca. Ia tak mampu disetir penulis karena pembacaan pembaca akan selalu beragam. Ia tak menggambarkan secara mutlak hakekat tertentu karena ia punya hakekat sendiri. Ia pula tak berbanding lurus dengan alam penulis. “Penulis telah mati” seperti kata Nietzsche. Alam dan kehidupan penulis tak lagi jadi patokan penafsiran teks. Teks itu liar dan sangat garang, bahkan menipu!
Setelah terbentuk, teks memiliki dua dimensi yang berbeda: literal dan non literal. Literal adalah pembacaan seperti apa yang kaedah gramatikal tentukan. Non literal adalah usaha ganda yang bermata dua: depan dan belakang. Di sisi pertama, ia mengandaikan memahami apa yang tersurat, sedang di sisi lain ia meniscayakan menyingkap apa yang tersirat. Jika demikian, teks jelas memiliki alam lain yang sangat unik.
Sayang, dua dimensi teks ini sering diabaikan. Oleh orang-orang yang mengaku dirinya sebagai “penjaga tradisi”, sering memenjarakan teks seolah makna teks itu adalah apa yang ada dalam penjara. Di luarnya, anggap mereka, bukan bagian dari teks—ataupun sisi lainnya. Oleh para Shufi yang suka mengencani firman Tuhan, teks dianggap sebagai sinyal-sinyal penerang, lebih dari sekedar “makanan jadi” yang siap dimakan sebagaimana kaum fundamentalis bayangkan. Ketika itu, teks harus dicari makna di baliknya, disingkap apa yang tak terbaca, dikencan-gagahi kemolekan lekuk luar-sampingnya, digali dan dicerai-berai simpul kakunya. Semertanya, akan dijumpai “angkasa makna” yang sedemikian luas dan jauh melampaui batas-batas.
Itulah dekonstruksi teks. Istilah yang baru dipopulerkan Jacques Derrida (1930-2004) ini mengalami pembengkakan yang luar biasa. Dekonstruksi bukanlah satu metode yang lazimnya dipahami banyak orang. Ia, ungkap Derrida, adalah potensi yang tersimpan dalam setiap teks. Teks menyimpan self-delimitation: potensi yang membuatnya mampu melewati batas-koridor literalnya. Karenanya, teks tak dapat ditangkap secara lugas. Dekonstruksi juga bukan usaha “menghancurkan” teks dengan mengambil unsur dari luar untuk mengoyaknya. Ia lebih kepada penyadaran ontologis bahwa setiap teks memiliki potensi memberontak dan mengoyak-oyak dirinya sendiri.
Namun, ia bukan usaha sia-sia yang hanya berusaha mengoyak tatanan baku teks. Atau, seperti yang tersirat dari tipologi postmodernisme yang Derrida agaknya dimasukkan ke dalamnya, ideologi yang hendak meruntuhkan ideologi sebelumnya. Kata Habermas, “Deideologi adalah ideologi itu sendiri.” Ia adalah tujuan mulia. Ia berusaha membuka wacana anyar bahwa tak ada kata selesai untuk membaca teks. Tak ada penafsiran tunggal dan monopoli kebenaran. Karena “..no meaning can be determined out of context, but no context permits saturation.”[1]
Dalam geliat arus kontemporer Arab, agaknya ‘Ali Harb, seorang pemikir Lebanon, banyak terpengaruh Derrida secara utuh. Ia bukan hanya mengikuti metode dekonstruksi demi mencari pembacaan lain dalam setiap teks klasik maupun kontemporer para pemikir, namun ia juga mewarisi gaya tutur tulisnya yang begitu menyihir; nyastra, bertekak-tekuk dan meliak-liuk. Terlebih, ketakterbatasan penafsiran Derrida sepenuhnya diimani oleh ‘Ali Harb. Oleh para pengkritiknya, ‘Ali dianggap tak menyadari bahwa dekonstruksi Derrida adalah buah dari chauvinisme Yahudi yang, menurut mereka, tak patut diimani oleh seorang pemikir Arab. Meski, dalam batas apa keterpengaruhan menjadi terlarang? Atau pembacaan mana yang benar-benar benar? Paparan berikut akan saya usahakan menjawab pertanyaan paling dasar ini.
‘Ali dan Teks
Bagi semua pengiman dekonstruksi, teks menempati posisi yang sangat vital. Semua penafsiran dan upaya reinterpretasi akan kembali pada teks. Bahkan, anggap mereka, teks memiliki alamnya sendiri dan tak mengilustrasikan hakekat di luar dari hakekatnya sendiri. Hakekat teks adalah hakekat lain di luar hakekar alam raya—apapun itu. Ini bukan berarti mereka adalah kaum tekstualis: sekelompok yang sama sekali mengingkari penafsiran selain literal teks. Bukan! Bahkan lebih dari itu, mereka, ketika mengatakan bahwa hakekat selalu beraksis pada teks, justru menegasikan dengan sangat tegas bahwa makna literal bukanlah yang dimaksud teks. Pembacaan harus digali dari apa yang tak terbaca. Mengapa? Sepanjang teks itu menipu, ia menyimpan alam ketidaksadaran yang memback-up dan membentuknya, dari sebuah wacana abstrak yang mengawang-awang menjadi bentuk paten—yang tentu saja telah mengalami reduksi ide. Jika demikian, kita akan segera masuk pada alam teks.
Trilogi al-Nash wa al-Haqîqat berupa Naqd al-Nash, Naqd al-Haqîqah danal-Mamnû’ wa al-Mumtani’ karya ‘Ali adalah magnum opus-nya yang melambungkan namanya sebagai dekonstruktor Arab. Dalam upaya menyibak makna di balik teks dengan penyingkapan dan penembusan makna literal, ia menawarkan pembacaan yang ia sebut naqd al-nash (kritik teks). Kritik teks, bagi dia, bukan hanya membabat makna teks (mafhûm al-nash), tapi juga menenggelamkan kuasa teks (sulthah al-nash). Di satu sisi, kritik adalah penyingkapan makna, sedang sisi lain adalah penghancuran (deconstruction/tafkîk) kuasa teks. Meski ia sendiri menyebut proyeknya sebagai kritik atas kritik (naqd al-naqd) karena pembacaannya adalah kritik terhadap teks-teks, baik kontemporer maupun klasik, yang menfokuskan pada kritik nalar (naqd al-‘aql) baik Arab maupun Barat, atau nalar secara umum.[2]
Mengapa makna dan kuasa teks harus dibabat? Karena teks setelah muncul ke alam wujud, berubah menjadi satu kesatuan teks (kainûnah al-nash). Dalam aksis pandangan dekonstruksi, teks merupakan entitas yang sangat genial. Ia memiliki ruang epistemologis (maidân ma’rifi) sendiri, terpisah dari penulis ataupun realitas luar (al-wâqi’ al-khâriji). Dengan kata lain, jika teks memiliki raung epistemologis sendiri, ia tak lagi bisa disangkut pautkan dengan penulis atau alam luar. Mengapa? Karena saat telah terbentuk, teks menjadi refrensi sendiri. Teks tak merepresentasikan realitas luar dari dirinya sendiri. Karena teks seperti ini akan berakhir penafsirannya ketika berakhir pula realitas tumpuannya itu.[3]
‘Ali agaknya tak memberikan argumen lain selain ini pada persoalan mengapa teks menjadi refrensi, bukan realitas luarnya. Argumen yang lebih sempurna diungkap Derrida dalam Of Grammatology-nya. Sebelumnya, mari kita dengar ia membincang karakter teks—menurut dia.
”Yet if reading must not be content with doubling the text, it cannot legitimately transgress the text toward something other than it, toward a referent (a reality that is metaphysical, historical, psychobiographical, etc) or toward a signified outside the text whose content could take place, could have take place outside of language, that is to say, in the sense that we give here to that word, outside of writing in general.”[4]
Bahwa jika pembacaan tak boleh dengan menggandakan teks, itu bukan legitimasi untuk melewatkan teks pada sesuatu diluarnya, pada refrensi (realitas baik yang metafisik, historis, psikobiografi dsb), atau pada alam luar teks yang isinya bisa mencakup di luar bahasa. Ia dengan pengertian yang telah kami paparkan di sini pada “kata”, di luar tulisan secara umum.
Ilustrasi Derrida di sini berimplikasi pada dua hal; pertama, bahwa “..there is nothing outside the text,” tak ada realitas lain selain teks atau segalanya adalah teks.[5] Kedua, karena segalanya adalah teks, karena tak ada apapun sebelum proses textuality, sehingga tak ada semacam representation (penghadiran realitas dimasukkan dalam teks). Teks, bagi Derrida, bukan the imitation of a presence (meniru kehadiran sekarang), bahkan “kehadiran” adalah an effect of textuality (efek dari proses pen-teks-an realitas. Namun, ini bukan berarti, berimplikasi dekonstruksi akan memandang segala fenomena kekinian, seperti ekonomi, politik, dan sejarah sebagai “fiksi” belaka, karena hanya teks. Namun teks, baginya, berimplikasi pada setiap struktur yang disebut alam realitas, ekonomi, historis, institusi sosial, atau simpelnya: setiap referensia yang mungkin.[6]
Selanjutnya, ini tak berarti bahwa seolah setiap fenomena realitas, setiap refrensia, tersimpan secara eksklusif dalam sebuah buku. Tidak! Agaknya, baginya, “..every referent, all reality has the structure of differential trace, and that one cannot refer to this “real” except in an interpretative experience. The latter neither yields meaning nor assumes it except in movement of differential referring.” Bahwa setiap referensia, semua realitas memiliki struktur yang penuh jejak yang berbeda, dan bahwa seseorang tak bisa merefer pada realitas ini (semisal alam historis, ekonomi dsb) kecuali dalam pengalaman yang berpotensi ditafsirkan lagi. Yang terakhir ini (alam realitas luar) tak mengungkap makna atau membawanya kecuali dalam gerak penunjukan yang berbeda.[7]
Bagi ‘Ali, selanjutnya, bahwa kritik teks akan membawa pada arena baru dalam gelanggang hakekat. Ia bukan hanya menghasilkan pembacaan lain yang terus terbarui, melainkan mampu mengubah cara pandang kita terhadap hakekat itu sendiri. Ia menyimpulkan bahwa “..al-naqd huwa intiqâl min nash al-haqîqah ila haqîqah al-nash” bahwa, pembacaan kritis adalah perpindahan dari teks hakekat menuju hakekat teks. Tegasnya, teks siapapun dan apapun, tak akan memberi jawaban pada kita mengenai hakaket tertentu, melainkan pembacaan kritis lah yang mampu membuat hubungan interaksi ini mencipta hakekatnya. Ia mencontohkan, bahwa apa yang digapai Immanuel Kant (1724-1804) dalam Critique of Pure Reason bukanlah hakekat transendental yang mampu menembus batas-batas pengalaman (a priori) sebagaimana ia daku, namun teks yang ia telurkan itulah yang mampu mencipta hakekat sejatinya. Contoh lain, hakekat dalam al-Asfâr al-Arba’ah karya Shadr al-Dîn al-Syîrazi bukan apa yang penulis hendak sampaikan seputar hakekat kepada pembaca, namun teks itu sendiri yang memberinya pada pembaca. Hakekat itu adalah potensi-potensi kemungkinan makna lain yang tercakup dalam teks ketika pembaca melakukan dekonstruksi padanya.[8]
Potensi-potensi ini pada akhirnya, oleh ‘Ali, disebut strategi teks (istarâtîjiyyah al-nash). Pembacaan ini adalah antitesa metode era klasik yang cenderung berkarakter metafisik yang muncul dari kecenderungan manusia sentris (naz’ah al-insân al-markaziyyah). Yakni sebuah pandangan bahwa manusia adalah aksis segalanya, seperti di era Enlightment. Manusia pusat dari segala keinginan dan aktivitas; ia yang mengatur dan berencana, ia yang menyusun langkah-langkah dan strategi. Namun, dekonstruksi mengaburkan semuanya. Pada akhirnya, dekonstruksi menawarkan dua model pemaknaan dalam antitesa ini: mafhûm al-tamatstsul dan mafhûm al-tamtsîl. Yang pertama berusaha menyingkap dan menemukan bahwa diri manusia tak pernah lepas dari refleksi-ilustrasinya terhadap alam semesta dan segalanya. Mengapa? Karena antara manusia dan objek-objek itu terselip pelbagai kepentingan, ilustrasi, ilham, dan penampakan. Sedang yang kedua menelanjangi bahwa diri manusia bukanlah entitas yang transparan dan tembus-pandang (syaffâf) dalam pengilustrasiannya terhadap alam makna. Entitas itu tak mampu menelanjangi realitas, dan ungkapan dia bukan pula sekedar alat berpikir. Bahkan ungkapan adalah penipu, sebagaimana teks juga memperdaya.
Jika demikian, apa yang harus dilakukan dalam strategi teks adalah penyingkapan di balik makna tersurat untuk menggagahi makna tersirat. Penulis teks, misalnya, ketika dia mengaku dirinya seoang rasional, kita jangan terburu mempercayainya. Di sana terselip, bahwa setiap langkah rasionalitasnya mengandung irrasionalitas. Caranya, tentu dengan membuat teks berbicara seputar dirinya sendiri, menginvestigasinya, menganalisisnya dan mendekonstruksinya. Ini pula yang dilakukan Michel Foucault (1926-1984) ketika menelanjangi sisi irrasionalitas wacana rasionalitas Rene Descartes (1596-1650). Ibnu ‘Arabi ketika mendaku dirinya mengambil wacana dari ilham, kenabian, kewalian, bukan dari argumen rasional, kita jangan tertipu. Pasalnya, di tiap lekuk irrasionalitasnya, tercecer sedemikian rasionalitasnya.[9]
Namun pertanyaannya, mengapa harus memperkosa makna tersirat dan menggagahinya? Bukankah makna lugas memberi cukup jawaban? Tidak! Teks, selugas apapun, memiliki “cadar maknanya”. Ada proses dimana teks memainkan peran menutupi dirinya. Bagai seorang perawan yang malu-malu untuk menunjukkan siapa dirinya, apa kesukaannya, dan pada perjaka mana (atau duda?) dia menyerahkan hidupnya. Ia akan selamanya malu-malu sampai ada seorang yang mampu meyakinkannya bahwa cintanya hanya untuk dirinya. Dari sana segala ketersingkapan, keterbukaan dan pelucutan akan menemukan momentumnya. ‘Ali menyebutnya sebagai mekanisme penutupan (âliyyât al-hujb). Yakni sebuah proses dimana teks menutup esensi dirinya sekaligus apa tendensi dan tujuan tutur-ungkapnya. Teks ketuhanan, ungkapnya, bukanlah sebuah penegasan bahwa Tuhan adalah kata putus segalanya. Namun ia menyembunyikan “kemanusiaannya” dan karakter kekuasaannya, tepatnya ketika wacana ketuhanan menampakkan dirinya di alam manusia. Ia pun menyimpan keinginan pembicara, Tuhan maupun manusia yang sedang berargumen dengannya, dalam rangka memuluskan jalan penguasaannya pada yang lain, orang yang diajak beraudiensi. Ini karakter dasar para da’i dan pemilik ideologi tertentu. Ketika seseorang mendaku pada Anda bahwa dirinya memegang kunci hakekat, jangan tertipu! Saat itu ia sedang melakukan dua aktivitas yang disembunyikannya: hakekat wacana yang ia gelontorkan ketika bercerita dan tendensi dia berbicara. Bahwa ketika dirinya menamakannya hakekat, itu akan merubah secara otomatis wacana dia yang berkarakter metafisis dan teologis, serta transenden yang melupakan sisi keanyarannya, keimanenannya. Demikian.[10]
Hakekat di Tangan Dekonstruksi
Sebagai sebuah metode pembacaan, paling tidak tendensi dekonstruksi dapat terlacak. Ia, seperti metode lain, berusaha menawarkan, secara sadar maupun tidak, bahwa pirantinya mampu mengantarkan pada hakekat. Sehingga, problem hakekat ini sejatinya yang menjadi magnet setiap metode yang tercetuskan dan akan diproklamirkan, apapun itu. Karenanya, menarik jika kita menyorot hakekat menurut dekonstruksi.
Dekonstruksi sebagai sebuah pembacaan teks mengandaikan sebuah pengingkaran pembacaan tekstualis. Dalam sejarah Islam, dikenal kaum tekstualis yang berusaha mengungkung makna teks hanya pada lahiriahnya. Kelompok ini disebut Ahl al-Dzâhir. Ini istilah yang digunakan ‘Ali Harb dengan perluasan maknanya. Ia mencakup bukan hanya Ahl al-Dzâhir sebagai representasi ulama yang mengingkari qiyas ushuliyyin saja, semisal Abu Dâwûd al-Dzâhiri dan Ibnu Hazm al-Andalusi, namun mencakup pula Hanabilah, Wahhabiyyah, semua sekte Aswaja, Fuqahâ’, Muhadditsîn dsb. Tegasnya, semua kelompok yang diistilahkan oleh ‘Âbid al-Jâbiri sebagai kaum retoris (bayâni).[11] Mungkin hanya para filosof dan teosof yang keluar dari istilah ini, menurut ‘Ali.
Sebagai dekonstruktor yang mewarisi semangat Derrida, agaknya ‘Ali cukup radikal dalam masalah ini. Pasalnya, dia bukan hanya menentang pembacaan literalis dari sebuah teks, namun menegaskan bahwa itu tak mungkin. Logika dekonstruksinya mengatakan bahwa, misalnya, apapun yang diutarakan Mufassirîn tentang firman Tuhan sama sekali tak berbanding lurus dengan firman itu sendiri. Demikian juga Muhadditsîn yang mayoritas menolerir periwayatan hadits dengan makna saja, baginya juga mencederai hakekat makna sebuah teks. Bagi dia, pembacaan tekstual, syarh, tafsîr dan sebagainya sama sekali tak identik (muthâbiq) dengan teks asalnya, baik segi makna maupun kekuatannya. Mengapa? Karena segala penafsiran tekstual akan mengalami proses penerjemahan teks-teks secara lahiriah.[12] Sedang “..every translation is reading which runs the risk of closing off as much as it opens up.”[13]
Sebagai antitesa dari pembacaan Ahl al-Dzâhir, muncul pembacaan yang berusaha menyibak yang tertutup (kasyf al-mahjûb). Sebuah pembacaan yang meruyak di kalangan Shufiyyah. Bagi mereka, pembacaan literal jelas tak mampu menyingkap segala pesan ketuhanan. Sehingga perlu pembacaan yang lebih mengedepankan simbol batin daripada sekedar bentuk literal. Namun, bagi ‘Ali, pembacaan ini juga masuk ke dalam jurang yang sama: jurang transendentalitas kebenaran. Seolah pembacaan kedua kelompok ini, menurut akuan mereka, adalah yang paling mewakili maksud teks itu sendiri—bahkan tak jarang mendaku lebih memahami dari sang penulis. Pasalnya, kedua kelompok ini berangkat dari filosofi dasar yang sama; bahwa di sana ada filsafat transenden, hegemoni identitas, kuasa makna, kesengajaan kuasa dan sebagainya.[14]Ia menawarkan solusinya. Katanya,
“Mengatasi problem ini hanya bisa dilakukan dengan merubah paradigma terhadap sebuat pembacaan, tepatnya. Hal ini tentu merubah paradigma terhadap teks, pembaca dan hubungan keduanya. Pembacaan tak akan keluar dari krisisnya kecuali kita menghentikan pandangan terhadap teks bahwa ia bermakna tunggal, dan pandangan bahwa pembacaan identik dengan teks itu sendiri. Seharusnya, kita mulai mengganti paradigma ini dan mulai memandang pembacaan sebagai entitas yang berbeda dari teks, tidak membandinginya. Kita pun perlu lebih memperhatikan apa yang diungkap pembacaan teks berupa pluralitas makna dan keberagaman maksud; keperbedaan kualitas dan keragamannya; kontradiksi dan persimpangan, dsb. Teks, sejatinya, lingkaran ungkapan atau ucapan yang beragam makna, berbeda dalalah, bermacam tingkatan, bervariasi konteks dst. Bahkan, teks menyimpan pelbagai jurang, keterkosongan, dan diselipi retakan dan pecahan.”[15]
Ini titik dimana ‘Ali nyatanya mengimani pluralitas, bahkan pluralisme, ide yang mengantarkan pada varian pemaknaan yang beragam. Setelah itu, tak ada lagi yang berhak menyematkan dirinya sebagai juru bicara resmi maksud sebuah teks. Pembacaan adalah perlombaan makna yang tak akan kering dan tak berjedah.
Jika demikian akankah pandangan ini membuat segalanya relatif dan tak terkontrol? Tidak! Agaknya, Derrida mampu membantu ‘Ali untuk menjawabnya. Bahwa,
“This does not lead to relativism, and it does not necessiate that we can never know what anything means… But there is nothing within language or signification that determines those meanings or effects; indeed it is the lack of any structural determination (or the force of structural indeterminacy) that makes inneudo, ambiguity, figuration, and the like possible.”[16]
Kerumitan simbol dalam tulisan yang membuatnya tak memiliki kehadiran transenden membuat pembacaan selalu tak berkesudahan dan tak berujung. Namun, ini tak membuatnya menjadi relatif, dan tak berarti kita tak akan pernah mengetahui apapun makna yang dimaksud. Tetapi, memang dalam bahasa tak mengandung signivikansi dan petanda-petanda yang menentukan makna-makna secara pasti, atau hanya efeknya. Ini lebih pada raibnya determinasi struktural apapun (atau pertarungan ketidakpastian struktural) yang membuat keburaman, kesamaran dan semisalnya.
No responses yet